"A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself." - Joseph Campbell
Bandung
11 Februari 2028Wanita itu menjerit ketakutan.
Air mata membasahi wajah saat pria bertopeng Scream menodongkan pisau, meminta tas selempang yang ia bawa. Tak ada orang lain dan gelap. Gang sempit ini diapit dua gedung tinggi, penerangan hanya dari lampu redup di dinding.
"Kumohon, biarkan aku pergi." Dia merunduk, menyerahkan tasnya.
Pria itu menumpahkan isi tas. Dompet koin, parfum dan buku. Dia menodong pisau lagi, membuat wanita itu tertekan ke dinding. "Mana handphone?!"
Wush! Seseorang meluncur turun dari atap gedung lima lantai di belakang. Dug! Mendarat di kap bak sampah, membuat si Scream berbalik. Nampak seseorang gadis berpakaian serba hitam dilapis mantel kulit. Wajah heart-shaped dibingkai kerudung abu-abu yang diikat rapih ke belakang.
"Kau perlu belajar sopan santun," katanya, tenang. Dia melompat turun. "Buang pisaunya, Scream."
Pria itu malah tertawa. "Bisa apa kau?"
Dug! Gadis itu menendang tangan Scream, pisaunya jatuh. Scream menonjok, dia menghindar ke samping meninju perut Scream, membuatnya mundur, mengerang. Hampir ditinju tapi dia menangkap lengan kurus itu, memelintirnya sementara satu kaki menahan tangan lain Scream ke dinding.
"Kembalikan tas ibu itu," katanya, tenang. "Dan salim minta maaf."
"Siapa kau—"
Dia memelintir lagi. "Aku bilang apa tadi?"
"Iya! Iya, ampun!"
Dia melepas Scream. Pria itu membereskan tas dengan tangan gemetar, mengembalikannya ke wanita itu yang terdiam syok karena pria bertopeng Scream berlutut, salim padanya, memohon maaf. Kemudian ia kabur, tergopoh-gopoh.
Gadis berkerudung itu menarik bulatan besi hitam dari saku mantel. Melemparnya ke depan, lampu merah kecilnya berkedip. Dengan cepat bulatannya membuka jadi sebuah gelang. Mengikat satu tangan Scream dan menariknya sampai tangan menempel ke dinding gang. Scream berusaha melepas tangan, tapi gelang besi menempel kuat di dinding.
"Nikmati quality time-mu dengan dinding!" Lalu ia menghampiri ibu tadi, menenangkannya yang syok. "Ada yang bisa kuhubungi untuk menjemput?"
"Tak apa, rumah ibu dekat sini." Dia memeluk gadis itu. "Terima kasih ya. Kau seperti malaikat."
Sebagai Saberion, rasanya gila disebut malaikat. Gadis itu mengangguk, memperhatikan si ibu sampai berbelok di ujung gang. Kemudian menelfon polisi untuk menjemput Scream yang sekarang menangis minta dilepaskan.
Ding! Jam tangannya menujukkan pukul 21:00. Dia melotot. "Aku terlambat!"
Seketika ia berlari. Ada tugas mulia menanti.
***
Ding! Bel di atas pintu berbunyi.
Gadis berkerudung itu memasuki kedai sewangi kopi yang didominasi furnitur kayu dan musik jazz. Sangat sepi, hanya ada pria berjaket kulit duduk di coffee bar membaca koran.
Dia melepas mantel, menaruhnya di rak coffee bar. Menampakkan kemeja biru bergaris dengan name tag kecil bertuliskan Karina – Barista. Dia menghampiri si pelanggan.
"Selamat datang di Repertoire Coffee," katanya, ceria. "Anda sudah memesan?"
Pria itu menaruh korannya. "Hallo, Kalea."
KAMU SEDANG MEMBACA
GARDA - The Series
Aksi(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi rahasia untuk menangani kasus ini. Seiring ia mendalaminya terkuaklah berbagai fakta dan kejadian di...