Sembari menunggu, Kalea berkeliling sampai lupa waktu.Terperangah saat melewati akuarium raksasa berisi ubur-ubur kemerahan. Dia pun masuk ke perpustakaan di antara akuariumnya. Tersenyum karena ruangan ini sewangi pemiliknya. Matanya langsung dicuri rak buku di keempat sisi ruangan, penuh oleh buku dari berbagai zaman. Ia menyapukan tangan di barisan buku—Fisika, Filsafat, Psikologi, semua ada.
Sempat menemukan pistol-pistol antik dipajang di antara barisan buku. Dia ambil satu dari hangar, revolver hitam seperti milik koboi. Terukir Rajasa, 1961.
Namun, yang lebih menarik di sini adalah grand piano di tengah ruangan. Hitam berkilap oleh cahaya lampu kristal di atasnya. Kalea pun mendekat, coba menekan beberapa nada. Di Akademi ia sering mencoba belajar piano tapi jemarinya kesulitan berkoordinasi pada rangkaian nada.
Dika bilang jemarinya tercipta hanya untuk bertarung.
"Dor."
Kalea mengejang. Ingin marah tapi malah terpaku pada wajah bertulang pipi tegas itu, seakan menyala meski di ruangan redup. Rambutnya yang agak basah dan auranya membuat lutut Kalea lemas. Sensasi yang aneh baginya. Dia segera memalingkan mata ke kotak P3K di tangan Rafa.
"Duduklah," kata Rafa. "Lukamu perlu ditutup."
"Tak usah—"
"Protes hanya akan membuatmu lebih lama di sini bersamaku." Dia nyengir saat Kalea duduk di kursi piano sambil merengut. Lalu ia membuka kotak P3K dan berlutut.
Rafa membalik ruas lengan Kalea. Mengusap alkohol ke luka berdarah perak itu lalu menepuknya pelan dengan kapas iodine. Dia tak kesakitan sama sekali. Setelahnya Rafa melilitkan perban ke lengannya sambil memperhatikannya yang termenung ke barisan tuts piano.
"Kau suka lagu apa?" tanya Rafa.
Kalea melamun karena ratusan lagu berputar di kepalanya. Lalu mengejang sadar oleh sentuhan kasa lembab di pipinya. Merinding karena jemari hangat itu hampir menyentuhnya. Pikirannya semakin kacau, apalagi membayangkan Rafa memainkan lagu manis di piano. Itu tak boleh terjadi.
"Aku suka... umm... tidak ada."
Rafa tertawa kesal. "Bohong."
Dia duduk di kursi piano. Sangat dekat dengan Kalea bahkan pundak mereka hampir bersentuhan. Kalea setengah mati mengatur degup jantung ketika Rafa menegapkan badan, menatap tenang, merubah atmosfir ruangan ini dengan ketenangannya. Meski wajah Kalea tak menunjukan apapun, tapi ada sesuatu meriah di balik rusuknya.
"Ayahku suka lagu-lagu instrumental, terutama piano dan harpa. Jadi, ibuku belajar beberapa lagu untuknya." Rafa tersenyum tipis. "Ibuku berusaha membahagiakan orang yang tak mau bahagia."
Sejenak Rafa menatap tenang barisan tuts piano. Kemudian dengan lembut River Flows In You mulai mengalun dari jemari lihainya. Jiwa raga Kalea seketika dibawa rasa nostalgia, seperti mengenang memori indah yang ia tak tau apa. Ikut terenyuh saat Rafa memainkan bagian refrain sambil memejam. Dia tak hanya memainkan lagu ini, tapi memberi nyawa padanya melalui aura yang ia pancarkan disetiap nada. Kalea tak percaya ada kelembutan di balik sosok penentang dan rumit ini.
Hingga kemudian lagu selesai.
Kalea menghela napas, mengembalikan fokusnya. "Kau menyebalkan."
"Lihatlah, Saberion ini terpesona." Rafa tersenyum meledek.
Kalea hendak melawan tapi ding! Nama Chief muncul di layar jam tangannya. Sontak ia menjauh ke pojok ruangan, memunggungi Rafa yang menatap curiga. Dia tekan tombolnya, hologram Chief pun muncul, hanya sekepala dan ia berusaha menghalangi Rafa di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARDA - The Series
Action(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi rahasia untuk menangani kasus ini. Seiring ia mendalaminya terkuaklah berbagai fakta dan kejadian di...