Écarlate RestaurantDistrik Bisnis Sudirman, Jakarta
Kalea melepas standar Thunder, membuka helm. Terpaku pada restoran mewah yang namanya sulit ia lafalkan. Dindingnya marun dengan tiang kayu mengkilap, dihiasi jendela berkusen keemasan. Pria berjas dan wanita bergaun santai lalu lalang masuk restoran.
Parahnya, hanya mobil mewah parkir di depannya. Pria penjaga Vallet berbadan kekar itu datang, menatap kikuk Kalea dan motornya.
"Écarlate," bisiknya. "Itu tak terdengar seperti warung kopi, Ka, harusnya kau sadar."
Dia rapihkan sweter, memastikan kerudung tegap kemudian melirik boots sebetisnya. Dia benci salah kostum, tapi dengan percaya diri ia menyerahkan kunci motor ke pria Vallet. Lalu melangkah lewat pintu putar kaca. Cuek meski beberapa pengunjung memperhatikan.
Gilang menarik kursi untuknya. Dia rapih memakai jas santai, rambutnya klemis seperti biasa. Binar di wajahnya seakan mengalahkan cahaya remang di restoran ini.
Kalea duduk di sebrangnya. "Aku tak percaya kau menjebakku."
"Hanya ini cara mengajakmu kencan."
"Aku memakai sweter." Kalea nyengir tengsin. "Sudah berbulu."
"Tak apa, kau cantik memakai apa pun."
Dia mendengus. "Lelaki yang memuji pasti ada maunya."
Gilang tertawa kecil, tulang pipi menghimpit matanya sampai memejam sedikit. Membuatnya nampak lebih muda, berseri meski menyembunyikan lelah seharian berkerja. Itu membuat Kalea tak tahan untuk tertawa juga.
Setelah tawa berhenti, Kalea berdehem. "Ngomong-ngomong, Pria Vallet di luar dan dua pelayan di arah jam sebelas. Aku kenal aturan berdiri dan cara jalan seperti itu. Mereka mengawasiku. Mereka anggota Paspamres."
Gilang tersenyum. "Kau menyadarinya?"
"Aku Saberion, ingat?" balasnya. "Pak Darma tau kau menemuiku?"
"Tentu saja tau, tak perlu takut."
Untuk pertama kalinya Kalea merasa takut di dekat Gilang. Dia tak pernah membawa pengawal sedekat ini. Kalea pun memalsukan senyuman. Sementara ekor matanya menangkap dua pelayan tadi menyilang tangan ke belakang, tempat sempurna menyembunyikan pistol.
Mereka di sini bukan menjaga Gilang dan Kalea, tapi menjaga Gilang dari Kalea.
Setelah menghabiskan steak, mereka mulai bekerja. Tak ada pengunjung lain dan sebagian lampu mati karena restoran sudah tutup. Suasana yang tepat untuk analisis. Mereka tak diusir karena Écarlat adalah milik sahabatnya dari Harvard dulu dan ia dipinjamkan kuncinya.
Gilang memberi Kalea map hitam tak berlabel. Di dalamnya ada cetak biru sebuah mesin, bentuknya seperti tabung reaktor nuklir. Ditambah, daftar lima puluh nama—atlet, penembak jitu, perampok, pembunuh berantai.
"Tim eksplorasi hanya membawa pulang dua peti besi. Lalu perburuan DNA dimulai dari penjarahan di berbagai Lab dan museum. Mayoritas DNA bersifat kuat, sebagiannya milik kriminal." Dia berdehem. "Perlahan peti besi itu bertambah dari dua menjadi dua puluh."
Kalea berharap Gilang bilang yee canda! Namun, ia tetap diam. "Kloning." Butuh sejenak untuk Kalea memproses. "Membawa dua sampel terbaik untuk diperbanyak di Bumi. Menyempurnakan mereka dengan DNA terpilih. Ya ampun." Dia menggaruk kening. "Kapan peti besi itu mulai bertambah?"
"Enam bulan lalu."
"Kok bisa kloning secepat itu?"
Gilang menunjukkan dokumen lain. Menjelaskan tim Edsel melakukan perjalanan kedua melalui portal intergalaktik. Tim membangun lab di planet Anonimus, di galaksi lain. Di sana menyusun DNA hingga didapat yang sempurna—berbakat kekuatan, ketepatan, ketahanan. Kemudian membiarkannya berkembang di tabung inkubasi selama tujuh belas tahun. Setelah itu, tim menjemput mereka kembali ke Bumi.
Kalea merespons, "Hah?"
Gilang bangkit dari sandaran. "Kau pernah menonton Interstellar?" Dia senang Kalea mengangguk. "Planet Anonimus dan Bumi bergerak di dua ruang waktu berbeda. Umm... ck, kuharap ada Zidan yang bisa menjelaskan ini."
"Enam bulan di Bumi sama dengan tujuh belas tahun di planet Anonimus. Itu yang berusaha kau katakan?"
"Benar sekali." Gilang mengusap stress dari wajah. "Sumberku bilang Prof. Edsel membuat Saberion generasi dua. Pencurian DNA itu detail, dipertimbangkan secara saintifik. Tak mungkin dilakukan non-ilmuwan."
Kalea seketika melamun, berbisik, "Rafa benar. Tanda tangannya dipalsukan."
"Apa katamu?"
"Tidak ada." Dia mengerjap. "Tapi masih ada penjarahan logam dan reaktor. Untuk apa?"
Gilang menunjuk cetak bitu. "Dugaanku senjata nuklir."
Napas Kalea mengencang. Ini melampaui ekspektasinya dan ia tak siap. Pembunuh terlatih masih masuk akal tapi gangster alien kuno dan senjata nuklir? Terdengar seperti Fiksi Sains yang kacau.
Lalu keduanya diam. Gilang memperhatikan Kalea membaca yang serius, mengikuti matanya yang berpendar berkat lilin di meja. "Aku senang kau di sini, Ka."
Kalea mengangguk. "Kau akan lakukan hal yang sama untukku."
"Maaf aku bicara begitu padamu minggu lalu," katanya, seperti tersambar. "Aku hanya tak mengerti kenapa kau menolak ajakanku lagi. Kau selalu terlihat senang di dekatku."
Ekspresi Kalea berubah. "Gi—"
"Tak apa, aku bisa menunggu."
Tatapan Kalea melemah. "Kumohon jangan menungguku seperti itu. Kau teman baikku."
"Kukira... kau menganggapku lebih."
Butuh waktu untuk Kalea mengumpulkan nyawa dan bisa kembali berkata. "Kau lupa ya aku hasil proyek apa? Berada di dekatku membahayakanmu."
"Aku menyayangimu, Ka, semua bahayamu selalu kuterima."
Kali ini Kalea benar-benar tak berkutik. Semua kata hingga fokusnya hilang. Dia tau Gilang menginginkan sesuatu tapi tak disangka sampai sedalam itu. Sejenak mereka hanya bertatap di redupnya ruangan, mengerti teriakan satu sama lain yang tak tersuarakan.
Gilang tersenyum. "Tenang saja, aku mengerti kau tak merasakan yang hal sama dan—"
"Aku tak bilang begitu," tangkis Kalea.
---
Terima kasih sudah baca dan vote!! Jadi kalian Tim R atau Tim G nih? wkwk
Minggu depan aku ada lembur panjang jadi tidak bisa update. Sampai jumpa awal Agustus!! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
GARDA - The Series
Aksi(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi rahasia untuk menangani kasus ini. Seiring ia mendalaminya terkuaklah berbagai fakta dan kejadian di...