Hari ini pun tiba.
Kami sudah berada di jembatan merah sesuai dengan yang diinstruksikan. Jembatan tersebut merupakan penghubung antara desa dengan hutan yang akan kami tuju. Jembatan yang dibangun di atas Sungai Belimbing ini terbuat dari kayu berpoles cat merah, warnanya hampir pudar akibat cuaca. Beberapa kayunya juga berlubang---tidak besar, tapi cukup untuk melahap sebelah kakimu.
Ujung Selatan jembatan ini menghadap ke arah pepohonan rindang, itu merupakan tepi hutan. Tidak ada yang aneh di sana, tidak ada kesan horor, maupun angker. Hanya berupa daratan penuh pepohonan lebat. Sedangkan dari sisi Utara terdapat permukiman, jaraknya cukup jauh dari jembatan. Pemukiman itu merupakan desa kami, namanya adalah Desa Rejaya. Warga Rejaya menganggap bahwa Jembatan Merah merupakan pintu masuk menuju hutan itu.
Aku menguap sesekali. Semalam aku benar-benar begadang. Sampai jam dua pagi mataku masih terbuka lebar. Aku benar-benar tidak berani tidur tadi malam. Ketakutan akan mimpi aneh itu masih membayangiku. Aku berniat tidak akan tidur sampai pagi, tetapi rasa kantuk mulai menyerang kesadaranku tanpa aku sadari. Aku tertidur tanpa mimpi. Paginya, aku kembali dibangunkan oleh Rosa, bukan dengan guyuran, melainkan dengan tamparan keras.
Sudah lebih dari sepuluh menit kami berada di jembatan ini. Teman-temanku sudah datang semua, kecuali Farel. Kulihat ketua hanya berjalan mondar-mandir, langkah kakinya menciptakan suara berderit yang khas di atas kayu usang ini.
Aku bersandar pada pembatas jembatan. Saat hendak bergerak, tiba-tiba kayu yang menahanku patah. Keseimbanganku goyah dan gravitasi menarikku ke belakang. Aku akan jatuh ke sungai jika Eva tidak segera meraih tanganku. Refleksnya benar-benar bagus. Aku langsung mengucapkan terima kasih padanya, dia hanya tersenyum.
Kejadian ini membuat yang lain menoleh ke arahku. Kukatakan untuk jangan bersandar pada pembatas, mereka langsung menjauhi pembatas itu. Kayu di sini benar-benar sudah rapuh. Aku menoleh ke bawah, jembatan ini cukup tinggi. Sungai itu tampak dangkal, tetapi penuh bebatuan, arusnya juga lumayan deras. Untung saja aku tidak jadi jatuh.
Dari kejauhan aku melihat beberapa orang berjalan dalam satu gerombol. Datangnya dari arah pemukiman, jumlah mereka sekitar enam orang. Mereka menuju ke arah kami. Apakah itu Bang Rizal dan istrinya? Apa pasangan itu mengajak orang lain?
Gerombolan itu semakin dekat. Kini bisa kulihat wajah mereka. Sayangnya aku tidak menemukan pasangan suami istri itu, hanya sekumpulan anak yang seumuran dengan kami. Lima laki-laki dan satu perempuan. Wajah mereka asing, aku tidak pernah melihat mereka di desa maupun di sekolah.
"Hey, Anak Kampung. Sedang apa kalian di sini?" Salah satu dari mereka berbicara. Dia berlagak seperti pemimpin di gerombolannya.
"Ini desa kami. Di manapun kami berada itu hak kami," ucap ketua. "Lalu apa yang kalian lakukan di sini? Sepertinya kalian bukan berasal dari daerah ini."
"Kami memang bukan dari sini, kami berasal dari Jakarta. Kebetulan liburan kali ini aku berkunjung ke rumah nenek, aku mengajak teman-temanku menginap di sini, sekalian untuk mengerjakan tugas kelompok. Kami datang ke hutan itu untuk membuat video dokumenter tentang alam." Anak berambut keriting menjawab panjang lebar. Mereka anak kota rupanya.
Dari Jakarta, ehh? Rosa, mereka satu habitat denganmu. Aku heran, mengapa sekarang banyak orang mendatangi desa kecil kami yang terselip di tengah-tengah Jawa ini?
"Begitu ya ... lalu ada urusan apa kalian semua datang ke jembatan ini?"
"Kami akan pergi ke hutan itu. Sekarang kami sedang menunggu orang bernama Rizal dan istrinya, apa kalian kenal?"
Ternyata tujuan kami sama. Itu cukup mengejutkan. Apakah Risma yang mengajaknya? Aku tidak tahu bagaimana reaksi Bang Rizal mengenai hal ini.
"Wah, kebetulan sekali. Tujuan kita sama. Kami juga sedang menunggunya," sahut Andra. "Aneh. Apakah Bang Rizal sendiri yang mengijinkan kalian ikut? Kupikir dia akan menolak, seperti yang dia lakukan kepada kami kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another
Mystery / Thriller[15+] Aku tidak menyangka jika liburan yang kukira akan menyenangkan berubah menjadi petaka suram. Ketegangan dimulai saat kami memasuki hutan itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di sana, hal mengerikan yang dapat mengancam nyawa. Tidak kusangka kami...