Part 8

79 20 77
                                    

Mataku mengerjap beberapa kali. Matahari belum muncul sepenuhnya. Udara lembab di pagi hari begitu kental terasa. Kuregangkan otot-ototku, suara gemeletak tulang pun terdengar. Semalam tidurku benar-benar nyenyak, walaupun hanya berbaring di atas tanah berumput liar, dan berbantalkan dahan tumbang. Sayangnya, saat bangun badanku sakit semua, tentu saja. Terutama leher belakangku. Dahan itu terlalu tinggi untuk dijadikan bantal, terasa keras meski kutaruh ranselku di atasnya.

Kejadian semalam rasanya seperti mimpi, meskipun aku tahu itu nyata. Paling tidak, kami semua berhasil melewatinya. Hutan ini memang berbahaya. Makhluk macam apa itu? Hantu? Memang ada yang menyebutkan hutan ini angker, tetapi aku tidak pernah melihat hantu seperti itu. Aneh memang. Dan mungkin kami akan menemukan hal yang lebih aneh lagi.

Beberapa anak sudah bangkit dari tidurnya. Rosa masih terbaring miring di sampingku. Tubuhnya menghadap kiri. Lalu kugoncang bahunya.

"Ros? bangunlah."

Dia berbalik menghadap kepadaku. Tatapannya sayu. "Asal kau tahu, aku sudah terbangun sejak kemarin pagi," ucapnya lemah. Ada rasa getir dalam suaranya.

Aku terdiam sesaat. Jadi semalaman Rosa tidak tidur? Kurasa dia tidak berbohong. Itu sudah tergambar jelas di wajahnya. Dia terlihat lelah. Area di sekitar matanya tampak hitam, tidak terlalu pekat, tetapi cukup menandakan bahwa dia kurang istirahat.

"Kau terjaga sepanjang malam? Apa tidak mengantuk?" tanyaku.

"Bagaimana mungkin aku tidur di tempat dan situasi semacam ini? Aku tidak bisa tertidur saat mengetahui ada makhluk aneh berkeliaran di tempat yang kusinggahi. Bayangkan jika monster itu menyerangmu ketika kau terlelap. Itu mengerikan." Rosa merapatkan jaketnya.

"Ya, aku paham yang kaukatakan. Jangan khawatir, kita akan pulang hari ini juga," ucapku, mencoba menenangkan.

Sang surya semakin meninggi. Kulirik jam tanganku, hampir pukul tujuh pagi. Randi masih menikmati tidur nyenyaknya, masih bersandar pada pohon yang menyangga dirinya. Tubuhnya agak merosot, kacamatanya sudah melorot. Rasa heran terbesit dalam benakku. Entah apa yang membuatnya terlihat nyaman dalam posisi yang tampak tidak mengenakkan itu.

"Woi, Ketua. Kapan kita pergi?" tanya Andra.

"Lebih cepat lebih baik. Kita berangkat sekarang." Si ketua mengambil tas miliknya. "Hei, err ... Dirga? Bangunkan temanmu itu," ucapnya sambil melirik ke arah Randi.

"Hanya karena temanmu memanggilmu 'Ketua', jadi kau merasa berhak memerintahku? Sayangnya aku bukan anak buahmu, Ke-tu-a," balas Dirga sambil melipat lengannya, nada meremehkan terdengar jelas. Dapat disimpulkan bahwa dia bukan tipe orang yang suka diperintah.

Si ketua tidak menimpali. Tapi aku tahu dia cukup terganggu dengan ucapan Dirga. Sebutan 'ketua' memang hanya sekedar sebutan. Dia tidak merasa mengetuai apa pun--kecuali kelas. Di luar itu, kami semua setara. Awalnya dia menolak panggilan tersebut, itu membuatnya tak nyaman, katanya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia tidak terlalu mempermasalahkan sebutan itu. Terkadang kami memang menyerahkan beberapa keputusan kepadanya, meskipun tidak jarang juga dia hanya membalas "terserah kalian".

Eva berbisik kepadaku, "Kau lihat tingkah bocah itu? Dasar. Apa susahnya dimintai tolong? Bukankah si tukang molor itu temannya?" Matanya menatap tidak suka ke arah Dirga.

Aku hanya mengangkat bahu. Namun, aku setuju dengannya.

Tidak lama kemudian, Febrian menghampiri Randi. Akhirnya ada yang peka juga. Dia menendang pelan betis si kacamata, sambil memanggil namanya. Bukannya bangun, anak itu malah melantur tidak jelas. Febrian yang terlihat kesal langsung menendang kakinya lebih keras. Alhasil, bocah berkacamata itu tersentak kaget.

Another Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang