Part 6

128 31 131
                                    

Kami sudah tiba di tujuan. Suara terjunnya air terdengar lebih berisik di tengah sunyinya alam sekitar. Suasananya masih tampak alami, seakan belum pernah dijamah oleh manusia. Air terjun itu memiliki tinggi sekitar enam meter, tidak terlalu tinggi menurutku. Aku berjalan mendekati sumber air. Tidak kusangka airnya sejernih ini. Benar-benar bening. Dasar kolam ini dialasi bebatuan kecil berlumut dan beberapa tanaman air. Kubasuh wajahku. Rasanya begitu dingin, tetapi menyegarkan. Aku merasakan tenagaku berangsur pulih.

Anak lain melakukan hal yang sama, merasakan kesegaran air tersebut. Bocah berkacamata melepas sepatunya. Dia menggulung celananya sampai lutut, lalu mencelupkan kakinya ke kolam. Wajahnya mengernyit saat merasakan sensasi dingin itu.

Kuambil botol air dari ranselku. Dalam perjalanan ini aku tidak terlalu banyak membawa barang. Hanya dua botol air minum, senter, korek, powerbank, mi instan, roti isi cokelat dan keju, serta beberapa makanan ringan. Untuk urusan tenda, ketua dan Andra sudah mengambil alih. Kami hanya menyediakan dua tenda. Satu untuk mereka, dan sisanya untuk kami berempat.

Kususuri tempat ini. Di tepi kolam air terjun terdapat bebatuan besar, sedikit lembab akibat percikan air. Pada tebing air terjun terdapat beberapa tanaman rambat---entah apa namanya, aku tidak tahu. Tanganku meraba tebing itu. Tanpa sadar aku menemukan goresan. Penasaran, segera kusingkirkan tanaman rambat yang menutupinya.

Pfftt ....

Aku membelalakkan mata melihat tulisan yang terpatri di sana.

Kharisma love Farizal.

Tulisan tersebut diukir cukup dalam. Goresannya tampak kasar. Sepertinya itu sudah lama dibuat. Aku benar-benar tidak menduga akan menemukan hal semacam itu. Ternyata pasangan tersebut pernah mengukir nama mereka di sini. Aku sangat yakin, pasti Risma yang membuatnya.

"Ray, sedang apa kau di situ?" Eva memanggilku.

"Tidak ada," timpalku.

Baru kusadari ternyata Risma melihat ke arahku. Saat aku balik memandangnya, dia malah membuang muka, menghindari tatapanku. Sepertinya dia malu ketika rahasia kecilnya ditemukan oleh orang lain. Maaf, Risma. Aku tidak bermaksud.

Aku pun segera kembali menuju ke tempat teman-temanku berkumpul. Mereka duduk di bebatuan tepi kolam sambil membincangkan suatu hal. Rosa tidak ada di sana bersama mereka, dia sedang keluyuran mencari spot foto.

Para anak kota itu sibuk dengan tugas sekolah mereka. Si bocah blasteran dan si keriting sedang merekam. Mereka dikomando oleh bocah berkacamata, yang mengatur kemana kamera itu harus diarahkan. Si kacamata itu terdengar sangat cerewet, kedua bocah di sampingnya hanya mengangguk-angguk dengan muka sebal. Di lain tempat, satu-satunya perempuan dalam komplotan itu tengah mencorat-coret sesuatu di buku tebalnya, entah apa yang ditulisnya.

Dua anak lainnya tampak berleha-leha di bawah pohon. Mereka adalah bocah bertopi merah dan si songong yang menyebut kami 'anak kampung'. Si topi merah tengah asik bermain game di ponselnya, suara berisik dari benda itu terdengar sampai ke tempatku. Bocah di sebelahnya hanya duduk santai, bersandar pada batang pohon sambil menggoyangkan kakinya. Kenapa mereka tidak bergabung mengerjakan tugas dengan anak lain? Yah, itu urusan mereka.

"Umm, anak-anak ...." Risma membuka suara. Namun, sepertinya ragu untuk mengeluarkan kata.

Kami semua menoleh ke arahnya. Kecuali si topi merah, dia masih sibuk dengan dunianya.

"Aku dan Rizal ada sedikit urusan, jadi kami akan pergi untuk sesaat. Maaf harus meninggalkan kalian di sini. Tapi tenang, kami akan kembali," tuturnya.

"Kalian akan pergi? Ada urusan? Urusan apa?" sahut bocah songong di bawah pohon. Aku tidak tahu siapa namanya. Sementara kuberi julukan itu, sesuai dengan tingkah dan sifatnya.

Another Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang