2. Dia Ada Di Sini

5.7K 319 12
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak🥰

Happy reading and enjoy it❤


Aku memasuki rumah dengan lelah. Cuaca panas hari ini benar-benar membuat tubuhku berkeringat. Padahal tadi pagi terlihat akan turun hujan. Namun perkiraan cuaca salah.

Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu. Ibu memang memiliki suara yang keras, jadi jika beliau berbicara akan terdengar sampai teras rumah.

Sepertinya rumah kami kedatangan tamu. Ah, lagipula tak penting untukku juga.

"Sarah!" seru seseorang yang suaranya sudah aku hafal ketika aku baru saja masuk ke dalam rumah.

Mataku yang semula menatap ubin beralih menatapnya. "Kak Siva." Aku tersenyum simpul.

Kak Siva melangkahkan kakinya menghampiriku dan langsung memelukku dengan erat. Aku pun membalas pelukan itu tak kalah eratnya.

"Kakak kangen banget sama kamu," ucapnya yang aku balas serupa.

Kami yang sedang asyik berpelukan itu terpaksa harus melepaskannya karena Ibu sudah bersuara. Tentu saja dengan nada bicaranya yang menyinggungku.

"Dia baru pulang, tubuhnya pasti kotor banyak kuman. Kamu jangan main peluk saja. Gimana kalau kamu jadi sakit, Siva?"

Yang bisa aku lakukan hanya diam serta menunjukkan senyum manis pura-pura. Lagipula ini sudah biasa untukku. Bukan sekali duakali aku mendengar ucapan menyakitkan Ibu. Hampir selama aku hidup, aku mendengar caciannya.

"Bu..." tegur Kak Siva memperingati yang akhirnya bisa membuat Ibu bungkam. Hanya Kak Siva yang berani membalas ucapan Ibu. Atau protes atas tindakannya padaku.

"Oh iya, Kakak mau kenalkan kamu ke seseorang," ucapnya dengan semangat.

"Siapa, Kak?" tanyaku berusaha tak tahu dan menutupi rasa aneh ketika Kak Siva memang memperkenalkan dia.

"Sarah, kenalkan ini Nazar, calon suami Kakak. Dan Nazar, ini adik aku, Sarah." Kak Siva memperkenalkan kami.

Kak Nazar tersenyum ke arahku seraya menyodorkan tangan sebelah kanannya. Aku menerima sodoran itu lantas menjabatnya. Tangan ini, tangan yang sedari dulu aku mimpikan agar meraihku dari kubangan kehancuran ini. Tangan yang akan memelukku ketika aku menangis karena tak bisa menahan lagi derita ini. Tangan yang ternyata nantinya akan melindungi Kak Siva, bukan aku.

"Sarah buatkan mereka minum. Setelah itu pergi ke kamarmu!" Lagi-lagi suara Ibu selalu menghancurkan suasana.

Tak ingin membuat Ibu marah, aku langsung melaksanakan apa yang tadi beliau katakan. Setelah membuatkan minum untuk Kak Siva dan Kak Nazar, aku langsung masuk ke kamar seperti yang Ibu katakan. Lagipula aku tak ingin lama-lama berada di sana. Aku tak mau melihat orang yang aku sukai sedari dulu itu bercengkerama bersama kakakku.

Seperti biasa, aku membuka buku catatanku sehabis pulang kerja. Di atas kertas bergaris itu aku bubuhkan tinta hitam mengukir setiap cerita yang aku lewati setiap harinya. Kesedihan. Kesakitan. Serta penderitaan.

Dia ada di sini...
Bukan untukku, namun untuknya.

Entah apa yang harus aku lakukan jika dia benar-benar akan menikah dengan Kakakku. Haruskah aku ikhlas? Atau mengatakan yang sebenarnya pada Kakakku, bahwa aku, adiknya sudah mencintai kekasihnya sedari dulu? Akankah Kak Siva merelakan dia untukku? Atau bahkan Kak Siva akan membenciku seperti Ayah dan Ibu?

Aku memang tidak tahu malu. Harusnya aku sadar diri jika selama ini, dia adalah orang yang membelaku. Rasanya akan sangat tidak tahu diri jika aku mengambil miliknya yang jelas-jelas bukan untukku.

Tok...tok...tok

Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu kamarku.

"Sar, ini Kakak," ucapnya di balik pintu itu.

Buru-buru aku membereskan buku catatanku sebelum mengijinkan Kak Siva masuk. Aku tak ingin dia melihat buku catatan itu.

Pintu kamar terbuka dan memperlihatkan Kak Siva yang masih dengan pakaian kerjanya. Walau terlihat lelah, namun ia masih cantik. Apalagi dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

"Ada apa, Kak?" tanyaku setelah Kak Siva ada di hadapanku.

"Kamu baik-baik saja, kan?"

Dahiku mengernyit bingung. "Maksudnya?"

"Ibu..."

"Oh, iya aku baik-baik saja. Kakak tidak perlu khawatir. Lagipula aku sudah terbiasa dengan semua perlakuan Ibu ke aku."

Kak Siva menatapku serius. "Sebaiknya kamu cepat-cepat mencari suami, Sarah. Supaya kamu bisa keluar bebas dari rumah ini. Kamu berhak bahagia."

Aku terkekeh. "Kakak apa-apaan sih? Aku baik-baik saja kok, Kakak nggak perlu khawatir. Lagipula siapa sih yang mau nikah sama aku, aku jelek gini. Susah nyari cowok, Kak. Apalagi Ibu akan menetangnya."

"Tapi, Sar..."

"Aku mau mandi dulu, Kak. Badanku sudah lengket sama keringat," pamitku langsung masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar, meninggalkan Kak Siva.

Bukan tanpa sebab aku mengatakan semua itu pada Kak Siva. Nyatanya semua lelaki yang dekat denganku selalu menanyakan Kak Siva. Bayangkan saja jika kalian berada di posisiku. Mempunyai Kakak perempuan yang cantik dan pintar, lalu lelaki yang dekat dengan kalian akhirnya malah menanyakan kakak kalian. Bagaimana rasanya? Menyesakkan bukan? Itulah yang selama ini aku rasakan. Bahkan teman sekelasku saja menyukai Kak Siva. Dibandingkan Kak Siva, aku memang tak ada apa-apanya. Bahkan dia selalu menang dalam hal apapun. Kecantikan, kepintaran, hingga kasih sayang orang tua kami. Namun semua itu tak membuat aku membencinya.

***

Saat ini aku sedang membantu Bi Ida menyiapkan makan malam. Malam ini kami memasak cukup banyak, karena Ibu menginginkan yang terbaik untuk Kak Nazar. Ya, malam ini lelaki itu ikut makan malam bersama kami. Ah, tidak. Maksudku bersama keluargaku, tanpa aku tentunya.

"Non, sudah biar Bibi saja yang memasak. Non Sarah pasti capek habis kerja. Mending Non istirahat saja," ucap Bi Ida.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Nggak apa-apa, Bi. Lagipula Sarah senang kok bantu Bibi kayak gini. Sarah juga lagi nggak ada kerjaan, jadi bantu Bibi saja."

Bi Ida ikut tersenyum. "Non Sarah baik banget. Semoga Non Sarah dapat jodoh yang baik juga supaya Non cepat-cepat keluar dari rumah ini. Bibi pengen Non Sarah bahagia."

Aku mengaminkan dalam hati. Semoga saja doa Bi Ida didengar oleh Allah. Dan Allah akan segera mengirimkan malaikat pelindungku.

"Bi Ida do'akan saja, ya."

"Bi, sudah siap belum?" Teriakan Ibu terdengar hingga ke dapur. Ibu memang tidak bisa menjaga sikapnya walau pun ada tamu.

"Yuk, Bi sekarang mending kita siapkan makanannya. Ibu sudah teriak, nanti Ibu marahin Bibi lagi."

Akhirnya aku dan Bi Ida langsung menyiapkan masakan yang telah kami masak tadi. Ayah, Ibu, Kak Siva, Kak Nazar, serta Zahra sudah duduk manis di meja makan.

"Kamu mau ke mana, Sar?" tanya Kak Siva ketika aku akan beranjak pergi dari hadapan mereka.

"Aku mau ke..."

"Sebaiknya kamu bergabung dengan kami," ucap Kak Nazar akhirnya buka suara.

Aku menatapnya yang juga kini menatapku. Buru-buru aku mengalihkan tatapanku.

"Sarah sudah makan tadi. Iya kan, Sarah?" Ibu menatapku dengan tajam. Mau tak mau aku mengangguk, mengiyakan ucapan Ibu.

Aku tahu Ibu tak ingin ada aku di antara mereka. Lagipula aku tak ingin merusak kebahagiaan mereka. Maka dari itu aku langsung pergi dari hadapan mereka. Meninggalkan Kak Nazar yang sepertinya menatapku kasihan.

Tbc❤

MLS [4] : Different [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang