4. Makan Bersama

5.2K 289 11
                                    

Komennya di tunggu ya❤

Happy Reading and enjoy it😚


Kami duduk di satu meja makan yang sama. Dengan suasana canggung. Karena ini pertama kalinya aku bertemu Kak Siva setelah pernikahan itu. Aku merasa segan padanya saat ini. Apalagi aku sekarang tak terlalu menyambut Zahra karena keponakanku itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku sudah laper. Ayo semuanya makan." Suara Mas Nazar menginterupsi kami agar keluar dari suasana canggung ini.

Aku tersentak dan buru-buru melaksanakan tugasku. Aku menyendokkan nasi dan beberapa lauk pauk untuk Mas Nazar.

"Segini cukup, Mas?" tanyaku takut porsi yang aku buatkan untuknya terlalu banyak.

Mas Nazar mengangguk seraya mengambil alih piring itu.

"Zahra, kenapa masakan Tante Sarah nggak dimakan, Sayang?" Terdengar suara Kak Siva yang menanyai putrinya.

"Zahra mau disuapi sama Papa Nazar," tegas Zahra.

Aku tahu Zahra memang memanggil Mas Nazar dengan sebutan Papa. Lagipula memang benar juga, Mas Nazar akan menjadi Papanya jika ia tak menikah denganku.

"Zahra, Om Nazar itu bukan Papa Zahra." Kak Siva mencoba memberi pengertian. Mengelus rambut anak itu dengan lembut.

Zahra menggeleng dan menyentak elusan Kak Siva. "Papa Nazar itu Papanya Zahra, Bunda."

"Nggak apa-apa, Kak." Aku bersuara mencoba memahami keadaan ini.

"Papa, Zahra mau disuapi Papa," rengek Zahra menggoyangkan tangan Mas Nazar yang tersimpan di atas meja.

Mas Nazar menatapku meminta persetujuan. Aku hanya menunjukkan senyumanku menanggapinya. Toh Zahra hanya meminta disuapi, kan? Lantas apa masalahnya?

Akhirnya kami makan dengan damai. Walau pun masih ada keributan dengan rewelnya Zahra yang disuapi Mas Nazar.

"Zahra, kalau mau disuapi Papa, kamunya jangan rewel, Sayang."

Terasa berbeda ketika mendengar yang memanggil Mas Nazar dengan sebutan Papa itu keluar dari bibir Kak Siva. Ada rasa yang tidak bisa aku katakan. Namun aku mencoba untuk biasa saja.

"Papa, kenapa Papa nggak nikah sama Bunda?" tanya Zahra dengan suara polosnya yang sontak saja membuatku tersedak.

Mas Nazar menyodorkan segelas air putih. "Kamu nggak apa-apa?" Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Sayang, jangan nanya kayak gitu. Nggak baik," ucap Kak Siva menasehati.

"Zahra kan nanya saja, Bunda," balas Zahra yang memang tak mengerti apa-apa.

"A-aku mau ke kamar, mau istirahat. Aku duluan Mas, Kak," pamitku yang sudah tak tahan lagi berada di sana.

Aku bukannya tak tahan dengan adanya Kak Siva atau bahkan tatapan cinta Mas Nazar yang masih ada untuk Kak Siva. Tapi yang membuatku tak tahan adalah kata-kata yang keluar dari bibir Zahra. Aku terlalu bersalah karena telah mengambil kebahagiaannya.

***

Melihat Sarah yang meninggalkan ruang makan membuat suasana kembali hening. Siva menatap Nazar merasa bersalah.

"Zar, maaf," ucap Siva.

Nazar tersenyum. "Nggak apa-apa, Siv. Zahra masih kecil, Sarah pasti bisa memaklumi."

"Aku pulang dulu ya, Zar. Jaga Sarah, ya. Assalamu'alaikum," pamit Siva seraya mengajak Zahra pulang. Namun bocah itu tetap bersikeras ingin bersama Papanya.

Siva menggendong tubuh Zahra, memaksa agar anaknya itu mau pulang. Bahkan putrinya itu menangis memberontak di gendongan Bundanya.

Setelah kepergian Siva dan Zahra, Nazar masuk ke kamarnya menyusul Sarah.

"Sarah?" panggilnya ketika melihat Sarah sedang duduk di pinggir ranjang dengan tubuh bergetar.

Buru-buru saja Sarah menghapus air matanya ketika suaminya itu berjongkok di hadapannya.

"Kamu kenapa nangis?" tanya Nazar seraya menghapus air mata yang membasahi pipi sang istri.

Sarah mencoba tersenyum. "Aku nggak nangis, Mas."

"Bilang sama aku, kenapa kamu nangis?" Kali ini Nazar mengelus jemari Sarah yang ada di genggamannya. Dan itu akhirnya membuat pertahanan Sarah runtuh.

Sarah menangis di hadapan Nazar. "Aku ngerasa bersalah karena sudah ambil Mas dari Kak Siva. Maafkan Sarah, Mas. Gara-gara Sarah, Mas jadi nggak bisa bersatu sama Kak Siva."

"Stt... Ini sudah takdir, Sarah. Aku ikhlas menikahi kamu dan ini juga keinginan Siva. Dia mau kamu bebas dari rumah itu, kamu sudah cukup menderita di sana."

"Tapi, Mas..."

"Sekarang kamu istirahat saja. Kamu pasti kecapean sudah mengurus rumah dari pagi." Nazar membantu Sarah membaringkan tubuhnya.

"Aku mau bereskan kerjaan dulu," ucap Nazar seraya mengelus lembut kepala Sarah.

Sarah mengangguk. "Have a nice dream." Setelah itu Nazar mencium kening Sarah, menghantarkan istrinya itu ke alam mimpi.

Nazar memperlakukan Sarah dengan sangat baik. Ia tak membenci Sarah yang sudah memisahkan dirinya dengan Siva. Lelaki itu tahu di mana posisinya kini berada. Ia juga merasa kasihan dengan hidup istrinya itu. Diabaikan oleh orang tua sejak dirinya masih kecil. Bahkan tak pernah dianggap anak di dalam rumah itu.

***

"Mas, hari ini aku mau ke rumah Ibu. Boleh, kan?" tanyaku pada Mas Nazar yang sedang mengancingkan kemeja kerjanya.

Mas Nazar yang saat itu sedang menghadap cermin langsung membalikkan tubuhnya menatapku. Aku menghampirinya lantas membantunya memakaikan dasi.

"Aku ada meeting hari ini di kantor. Lain kali saja kamu ke rumah Ibunya," jawab Mas Nazar.

"Tapi aku bisa ke sana sendiri, Mas."

"Aku nggak ijinkan kamu ke sana sendiri, Sarah. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?"

Aku terkekeh dengan sikap khawatirnya. "Aku cuma ke rumah Ibu, Mas. Bukan ke hutan."

Walau pun aku tahu rumahku lebih berbahaya dari huta.

"Iya aku ijinkan, tapi aku yang antar kamu ke sana." Aku mengangguk setuju.

Kadang aku berharap jika Mas Nazar memang benar-benar mengkhawatirkan aku. Tanpa ada karena Kak Siva di belakangnya. Aku ingin Mas Nazar melakukan semuanya karena ia ingin, bukan karena kemauan Kak Siva. Namun sangat tak tahu diri sekali jika aku menuntut semua itu.

TBC ❤

MLS [4] : Different [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang