HappyReading❤
•
•
Aku memperhatikan Zahra yang tertawa lepas di gendongan Mas Nazar begitu kami sampai. Dia terlihat bahagia sekali bersama Mas Nazar. Tak bisa aku pungkiri, aku merasa bersalah karena telah mengambil sumber kebahagiaan Zahra. Lagi-lagi aku selalu merasa bersalah."Maafkan Zahra, ya? Dia belum bisa memahami kondisi sekarang." Seseorang bersuara dan duduk di sebelahku yang masih menatap Mas Nazar dan Zahra.
Aku menolehkan kepala menatap orang tersebut. "Nggak apa-apa, Kak. Zahra masih kecil. Dia mengharapkan Mas Nazar menjadi sosok Ayah buat dia."
"Secepatnya Kakak akan kasih pengertian untuk Zahra. Kakak ngerasa gak enak sama kamu."
"Aku yang ngerasa nggak enak sama Kakak. Aku sudah ambil kebahagiaan Kakak dan Zahra."
"Enggak, Sar. Kakak yakin Nazar melakukan ini semua bukan karena permintaan Kakak. Dia sayang sama kamu, percaya sama Kakak."
Sayang? Aku tersenyum miris mendengar ucapan Kak Siva. Apa iya Mas Nazar memang sayang sama aku?
"Kakak tahu kamu selalu merasa bersalah sama Zahra. Kakak sudah mengikhlaskan semuanya. Dan kamu pun harus menjalani semua tanpa perasaan bersalah itu. Bahagia kamu, kamu yang ciptakan. Kamu yang menjalani semuanya," ucapnya melihat keterdiamanku.
Tiba-tiba Mas Nazar menghampiri kami berdua --yang sedang duduk-- dengan Zahra yang berada di gandengannya. Tangan kecil itu menggenggam erat tangan Mas Nazar.
"Bunda, ayo kita naik bianglala," ajak Zahra menarik tangan Kak Siva, dengan tangannya yang masih menggandeng tangan Mas Nazar.
Zahra menarik Bundanya hingga berdiri di sampingnya. "Ayo Pa, Bun," rengeknya.
Mas Nazar menatapku. Aku hanya bisa menampilkan senyum ikhlas saja. Walau pun jujur, aku sedikit tak terima. Aku tidak bisa baik-baik saja ketika melihat kebersamaan mereka.
"Zahra, Zahra sama Bunda dulu, ya? Nanti Papa nyusul. Papa ada perlu sama Tante Sarah," ucap Mas Nazar membuatku menatapnya.
Walaupun dengan sedikit paksaan dan bujukan panjang, akhirnya Zahra mau pergi berdua saja dengan sang Bunda.
Mas Nazar berjongkok di hadapanku. Yang membuatku mau tak mau harus menatapnya. Tangannya meraih jemariku yang aku simpan di atas pangkuanku.
"Kenapa nggak ikut main?" tanyanya dengan suara lembut.
"Sarah lagi nggak enak badan saja, Mas."
Wajahnya berubah cemas. "Kenapa nggak bilang? Mau pulang saja?"
Aku menggeleng. "Enggak, Mas. Aku cuma pusing saja, kok. Mas jangan khawatir."
"Suami mana yang nggak khawatir kalau mendengar istrinya sakit?"
Aku tersenyum menimpali. "Lebih baik Mas temani Kak Siva dan Zahra main. Tuh Zahra pengen main sama Mas."
Mas Nazar memandangku dengan datar seraya duduk di sampingku.
"Dengan kamu bersikap seperti ini, seolah-olah kamu memberikan aku ke Siva. Kamu yang memberi jalan agar kami bersatu. Kamu sadar nggak sih, sikap kamu itu seakan merendahkan aku?"
"Mas, bukan gitu maksud Sarah..."
"Apa? Kamu masih merasa bersalah karena aku batal menikah dengan Kakak kamu? Aku bukan barang, Sarah. Yang bisa dengan seenaknya kalian gulir ke sana-ke mari. Kakak kamu yang memberikanku padamu, dan sekarang? Kamu mau memberikan aku pada Siva?"
"Mas..."
"Papa, ayo kita main!!!" jerit Zahra dari jarak yang jauh dari kami.
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Mas Nazar pergi menjauhiku dan mendekati tempat Zahra dan Kak Siva berdiri.
Kak Siva melambaikan tangannya menyuruhku untuk menghampirinya. Aku menurut dan mengikuti langkah Mas Nazar menuju ke tempat Kak Siva dan Zahra berdiri.
"Papa, Zahra mau naik bianglala, ya?" ucapnya yang mengajak Mas Nazar. Mas Nazar hanya mengangguk menuruti.
Akhirnya kami mengantri menunggu giliran. Sekarang giliran kami yang naik. Yang pertama masuk adalah Zahra dan Kak Siva, disusul oleh Mas Nazar. Namun, ketika aku akan ikut masuk, penjaga itu menahanku.
"Maaf, Mbak. Ini maksimal untuk tiga orang," ucapnya.
Aku mengangguk paham. Tak mungkin juga aku memaksa masuk, kan? Bagaimana jika terjadi hal-hal yang buruk ketika berada di atas sana?
"Kamu saja yang ikut, Sar. Aku bisa nunggu, kok."
Aku menggeleng. "Enggak, Kak. Nggak apa-apa, Kakak saja."
Tiba-tiba Mas Nazar keluar dari tempat yang menyerupai sangkar burung itu, namun dengan ukuran yang sangat besar.
"Papa, kok keluar?" tanya Zahra.
"Kamu sama Bunda saja, ya? Papa tiba-tiba kebelet ke kamar kecil," jawab Mas Nazar yang diangguki Zahra.
Setelah Mas Nazar menyuruh penjaga itu untuk menjalankan bianglalanya, barulah aku dan Mas Nazar masuk ke sangkar besi selanjutnya.
"Mas kenapa nggak jadi ikut mereka?" tanyaku setelah kami bianglala itu sudah bergerak pelan.
Mas Nazar menatapku. "Apa kamu ikhlas melihat aku sama Siva? Kakak kamu yang tak lain adalah mantan kekasih suamimu ini?"
"Istri mana yang ikhlas melihat suaminya bersama wanita lain, Mas. Tapi apa hak Sarah?"
"Kamu istri aku, Sarah. Kamu berhak atas aku. Kamu boleh bilang nggak suka kalau aku dekat-dekat Siva, kamu juga boleh marah. Apa pernikahan kita yang sebulan ini masih membuat kamu merasa bersalah?"
"Maaf, Mas."
Mas Nazar memegang tanganku. "Aku ingin kita seperti pasangan yang lainnya. Walau pun mungkin awalnya memang ada terpaksa. Tapi apa kamu mau hidup berada dibayang-bayang Siva? Aku melakukan semuanya memang atas dasar keinginan aku. Bukan karena menuruti keinginan Siva. Kamu, mengerti?"
Aku mengangguk. "Mengerti, Mas. Maafkan sikap Sarah juga."
Mas Nazar mengembangkan senyumannya seraya tangannya memegang kedua sisi wajahku dan menariknya hingga berdekatan dengan wajahnya.
Bibirnya dan bibirku menempel cukup lama tepat ketika bianglala yang kami naiki berada di atas. Tak ada yang menggerakkan bibir. Hanya saling menempel saja.
Orang bilang ketika kita menaiki bianglala dan berciuman tepat di atas. Itu akan membuat hubungannya abadi. Semoga saja benar adanya, dan apa yang kami lakukan sekarang dapat membuat pernikahan kami langgeng. Semoga.
Tbc❤
Terima kasih karena masih berkenan membaca cerita ini😚
Jangan lupa Vote, Comment, dan Share ke temen kalian, ya?😚
KAMU SEDANG MEMBACA
MLS [4] : Different [SUDAH TERBIT]
Romans[Marriage Life Series #4] ||Spin-Off About Sara|| • • Apakah kalian pernah membayangkan menikah dengan lelaki yang seharusnya menjadi kakak ipar kalian? Sama, aku pun tak pernah membayangkannya. Namun Tuhan memberiku takdir seperti itu. Menikah deng...