Hal yang paling malas di lakukan saat akhir pekan adalah saat jadwal manggung Jae kosong dan orangnya tiduran santai di pahanya sambil nyemilin wafer cokelat yang lapisannya ratusan.Bukan apa-apa, remahnya jatuh ke paha Joy jadinya. Dan itu gatal karena Joy cuma pakai celana pendek sepahanya. Berkali-kali gadis dengan rambut hitam panjang itu protes ke Jae. Bahkan sampai mengguncang keras kepala Jae di pahanya. Tapi cowok kurus itu bahkan tidak mendengarkan ocehan adiknya.
"Mas ah! gatel paha gue.... Ih! Di bilangin makan jangan sambil tiduran juga! Istri lo gendut ntar soalnya males gerak!" kata Joy sambil kembali menggerakkan kakinya.
"Iya, kayak lo gitu ya? Gen--- ADUH!!! Sakit bego!"
Cowok itu meringis mengelus dahinya yang kena pukulan Joy pakai remote TV. Joy meleletkan lidah tidak peduli, malah merebut wafer yang Jae makan dari tangannya. "Emang mas bego, baru nyadar?" katanya santai sambil memakan wafer Jae yang barusan dia rebut.
Remahan wafer itu jatuh ke mata Jae yang sedang tidak memakai kacamatanya. Membuat cowok berambut pirang itu kembali meringis sambil mengumpat dan mengucek pelan matanya.
"Adek durhaka, lo bisa kena azab kayak dia," tunjuk Jae kearah televisi yang menayangkan drama keluarga. "Ntar pas mati kuburan lo bisa meledak."katanya.
Joy mendecih. Mengganti saluran televisinya ke saluran lain. Malas kalau Jae sudah berubah begini. Jae bisa tiba-tiba memakai jubah panjang di sertai peci dan sorban.
"Kok lo di rumah sih, dek?"
Joy melirik Jae sekilas, "kok lo di rumah sih, mas?" tanya Joy balik. Membuat Jae menarik ujung rambut Joy yang terjulur di depan wajahnya.
"Kalo orang tua nanya tuh jawab yang bener sih! Minta di azab beneran ya lo?!"
"Ck! Berisik ah!"
Mereka terdiam. Sama-sama menikmati momen hening menonton televisi bersama. Hal yang sangat jarang mereka lakukan mengingat kesibukan masing-masing.
"Dek kalo gue nikah, lo nangis nggak?" tanya Jae tiba-tiba.
"Kenapa, mas mau nikah? Kapan?"
Jae berdecak, kadang Joy memang susah di ajak bicara serius. Persis seperti dirinya. Jae jadi merasakan betapa kesalnya lawan bicaranya kalau mereka ngobrol. "Jawab dulu, sayang!" kata Jae sambil kembali menarik ujung rambut adiknya.
Joy meringis sebentar sebelum kembali terdiam. Matanya menatap televisi dengan kosong. Benar juga, dia menangis tidak ya kalau kakak satu-satunya ini menikah? Masalahnya semenjak ibu mereka meninggal, Jae dan Joy seperti saudara kembar. Mereka tidak bisa di pisahkan.
Ayah mereka yang menjabat sebagai pejabat pemerintahan sejak dulu, membuat Jae juga menjadi pengganti ayah bagi Joy. Meskipun meragukan, tapi nyatanya Jae berhasil menjaga Joy sampai dia berhasil meraih cita-citanya sebagai pramugari.
"Lah kok udah nangis duluan?" tanya Jae panik.
Cowok itu bangkit dari paha Joy dan berganti duduk memeluk adiknya. Joy menangis makin kencang di pelukan sang kakak.
"Kalau adek Joy nangis, nanti mas Jae ikutan nangis. Jadi, jangan nangis ya adek Joy-nya mas Jae...."
Bukannya berhenti, Joy malah menangis makin kencang. Kalimat itu adalah kalimat yang sering Jae ucapkan saat mereka masih kecil. Saat Joy si cengeng yang sering menangis karena ejekan teman-temannya soal dia yang tidak punya ibu.
Jae terkekeh sambil mengelus rambut panjang Joy. "Dulu, lo padahal nggak suka rambut panjang loh, dek. Sekarang udah sepinggang aja ini rambut."
Jae menarik pelan beberapa helai rambut adiknya. Di arahkannya rambut itu ke hidungnya sendiri. Jae menarik nafasnya diantara helaian rambut Joy disana. Mencium rambut wangi adiknya.
"Dulu juga apek.... Jarang keramas." katanya kemudian. Membuat Joy diam-diam menarik senyum mengingat seberapa malasnya dia dulu untuk merawat diri.
"Tau nggak dek? Kadang..... Mas tuh juga bingung, mau nikah apa enggak."
Suara Jae mendadak berubah pelan dengan intonasi rendah dan dalam. Cowok itu sedang dalam mode serius. Membuat Joy jadi tercenung mendengarnya. Sedikit rasa bersalah mendadak masuk ke relung hatinya. Apa niatan untuk tidak menikah itu di sebabkan oleh Joy? Adiknya sendiri?
"Mas terlalu susah buat ninggalin kamu, ngelepasin kamu." kata Jae lagi, masih setia mengelus surai Joy. Cowok itu menghela nafas berat sebelum melanjutkan, "malah kadang..... Mas malah kepikiran buat nikahin kamu kalo boleh!" lanjutnya santai.
Membuat Joy terbangun tiba-tiba. Dan kepalanya membentur dagu Jae dengan keras. Membuat Jae langsung mengerang dan mengumpat keras. Merasa nyeri luar biasa di bagian dalam rongga mulutnya.
Tapi Joy tidak peduli dan malah mengarahkan tangannya kearah perut Jae yang tertutup kaos abu-abunya. Mencubit perut kakaknya berkali-kali. Tentu, bukan main perihnya perut Jae saat ini. Membuatnya menjerit makin keras.
"Tau nggak mas?" Tanya Joy tanpa melepas cubitan bertubinya. "Kadang, juga gue tuh mikir, mas gue tuh lebih pantes jadi pasiennya om Yunho daripada anak band!" Lanjut Joy tanpa peduli teriakan Jae. Dan malah makin mengeraskan cubitannya.
"ARRRGGGHH!! SAKIT DUHILAH JOY! WOY! SAKIT INI!!!"
"Bodo amat! Besok aku mau minta di nikahin kak Taeyong secepetnya. Biar kewarasan mas Jae terjamin!" tutup Joy sebelum menghentakkan kakinya dan melangkah menuju kamar.
Ngomong-ngomong, Yunho itu Psikiater sekaligus pemilik rumah sakit jiwa setempat. Dan Taeyong adalah putra tunggalnya. Psikiater juga, calon penerus yang akan mengelola rumah sakit jiwa milik ayahnya sekaligus menyandang status sebagai tunangan Joy.
hehe jojae-siblings is back, koncos!
btw, ini pernah di post pas project ultah mbak-joyi yaaa, jadi jangan kaget terus nuduh aku tukang plagiat, ok?
btw lagi, updatenya ini dulu ya. sedang dalam zona mager banget sumpah! dasar aku yang amat pemalas!
