Pengakuan Kemal

8.8K 464 4
                                    

Sudah jam 5 Subuh dan Kemal belum tidur karena menyiapkan sesuatu yang spesial di ruang kerjanya. Kuas dan cat menemaninya semalaman ini hingga rasa kantuk itu tidak mampu mengganggunya. Setelah sapuan terakhir, bibirnya tersenyum menatap sebidang kanvas dihadapannya. Disana, dua wajah orang yang sangat dicintainya sedang tertawa bahagia di bawah pohon yang rimbun. Dia berharap suatu saat nanti Kemal bisa menambahkan lukisan dirinya diantara mereka.Usai mandi dan shalat subuh, Kemal menelepon mamanya. Dia harus menceritakan ini semua kepada mamanya karena dia tidak ingin mamanya tahu hal ini dari orang lain.

“Halo.Assalamualaikum ma!” Salam Kemal.

“Walaikumsalam Kemal! Apa kabar kamu nak?” Tanya ibunya dengan lembut. “Kapan kamu pulang ke rumah?”

“Alhamdulillah, aku sehat-sehat disini ma, urusan restoran juga lancar. Maaf ma, aku nggak akan pulang lagi ke rumah karena aku sudah punya rumah disini. Tapi aku janji akan sering menengok mama kalau semuanya sudah stabil. Mengapa suara mama berat? Mama sakit?”

“Tidak Kemal..” Jawab mama nya sambil menahan airmatanya.

“Mama, aku ingin mengakui sesuatu. Aku yakin, setelah mendengar semua ini, mama akan sangat kecewa dan malu tapi aku harus mengatakannya apapun yang akan terjadi.

“Maksudmu apa Mal? Mengakui apa? Kamu tidak melalukan penggelapan uang atau semacamnya kan?”

“Bukan ma. Tapi ini adalah aib yang sudah kututupi selama 7 tahun. Dan seseorang harus menanggung penderitaan selama itu karena kesalahan yang ku perbuat.”

Mama nya menarik nafas, menyiapkan dirinya untuk mendengar hal terburuk yang akan didengarnya sebentar lagi.

***

Di kios hanya ada Dini yang sedang sibuk dengan gamis setengah jadi di atas mesin jahitnya. Karyawan yang lain sudah dipulangkan karena dia ingin menutup kios lebih awal. Dini takut tidak sempat memasak makanan untuk nanti malam.

Kemal seperti menghilang dan tidak ada kabar sejak terakhir mereka bicara di telpon tadi malam. Sewaktu hendak berangkat ke kios, Dini juga mendapati pagar rumah Kemal digembok dari luar. Sempat terfikir olehnya kalau Kemal melarikan diri dan mencoba kabur setelah berubah fikiran tapi segera ditepisnya hal-hal yang aneh itu dari kepalanya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Dini buru-buru bergegas pulang kerumah. Hati kecilnya berharap Kemal sudah kembali kerumahnya.

***

“Masih bergembok?” Batin Dini sambil melirik gerbang rumah Kemal yang masih terkunci.

“Gak, gak mungkin Dini... jangan suudzon dulu. Bisa jadi Kemal ada urusan di restorannya.” Dini meracau sendiri dan berusaha meyakinkan hatinya untuk mempercayai Kemal.

“Mama!!!” Teriak Putra memanggilnya ketika Dini sudah masuk kedalam rumah. Wajah Putra tampak girang seolah-olah dia baru saja mendapat hadiah.

Dini membungkuk lalu mencium kedua pipi anaknya yang menggemaskan lalu mengelus rambutnya. “Ada apa ini? Anak mama kok kayaknya senang banget?”

“Hmmmm... Kata o om, Papa mau tinggal bareng kita yah ma?”

Dini memelototi Angga namun adiknya itu hanya acuh dan berlalu ke luar seolah tak terjadi apa-apa.

“Mudah-mudahan ya sayang.. kan Putra tau sendiri Papa itu orangnya sibuuuukkkk banget.”

Putra terlihat kecewa mendengar jawaban yang tidak pasti darinya. Dini sadar namun dia tidak bisa memberi harapan yang besar kepada Putra karena dia sendiri pun tidak berani untuk berharap.

“Pokoknya harus. Putra mau papa tinggal disini.” Rengek Putra sambil mendekap pinggangnya erat. Dini hanya mengelus kepala anaknya untuk menenangkan perasaannya.

“Kaaakk!!! Ponsel kakak mati yah?” Teriak Angga dari luar rumah.

Dini memeriksa ponselnya dan benar HP nya sudah lowbat entah sejak kapan. “Kenapa Ga??”

Angga kembali ke dalam kemudian menunjukkan pesan dari Kemal yang mengatakan kalau dia mungkin tak bisa datang malam ini karena tadi pagi ayahnya mendadak masuk rumah sakit. Diakhir pesannya Kemal mewakili sang ayah untuk meminta maaf jika dulu Dini pernah mendapat perlakuan tidak baik darinya.

Dini mengembalikan ponsel Angga tanpa berkata sepatah katapun. Dia duduk di sofa untuk menenangkan fikirannya sambil menatap keluar melalui jendela. Laki-laki itu, dia sangat angkuh. Begitu kata hati Dini saat mengingat ucapan ayah Kemal dulu padanya. Tapi bukankah orang yang berduit suka memandang rendah orang lain? Mereka selalu mengelompakkan manusia pada dua golongan, yaitu yang pantas dan yang tidak pantas. Walau sakit hati, Dini berusaha melupakan hari itu dan tak ingin memikirkannya lagi. Jika dipendam terus, hanya akan menjadi penyakit baginya. Dia tidak mau berdosa karena mendendam.

Setelah makan malam, Dini mengurung diri dikamarnya dan terus menatap jendela kamar Kemal diseberang sana. Lampunya mati karena Kemal belum pulang. Bagaimana keadaaan disana sekarang, apakah kondisi ayahnya Kemal sudah membaik? Dini tanpa sadar berharap Kemal menghubunginya sekali saja. Tidak, lebih besar dari itu. Dia sangat ingin menemani Kemal disaat-saat seperti ini. Tapi laki-laki itu bahkan pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu dan jujur saja dia kecewa.

Samar-samar Dini mendengar Angga dan Putra berbicara dengan seseorang yang suaranya Dini kenal. Kemal? Sontak Dini berlari membuka pintu kamarnya dan keluar untuk memastikannya sendiri. Di ruang tamu Kemal tidak menjumpai siapapun, hanya ada Angga dan anaknya yang sedang mengobrol dengan seseorang melalui video call. Bukan suara Kemal yang bicara, namun suara wanita. Dini penasaran mereka bicara dengan siapa.

“Ya Allah.. wajahnya mirip sekali dengan mu nak!” Ucap wanita itu dengan suara yang terisak-isak. Sepertinya dia sedang menangis.

Dari ucapan wanita itu Dini bisa tahu kalau mereka sedang berbicara dengan ibunya Kemal.

“Nenek kenapa menangis?” tanya Putra dengan wajah polosnya. Dini hanya melihat mereka dari jauh dan tidak mau bergabung namun dia juga tak melarang mereka.

“Nggakk.. Nenek nggak menangis sayang.” Jawabnya lembut. “Kamu udah kelas berapa?”

Dini pergi dari sana karena dia tidak ingin mendengar percakapan mereka lebih lanjut. Dia tidak bisa menahan kesedihannya setiap melihat pancaran bahagia dari mata anaknya saat dia mengenali keluarga yang tidak pernah dia lihat selama ini.Seandainya Dini tidak lari dan memberi tahu kehamilannya kepada Kemal apakah ceritanya akan lain?

“Kak, bang Kemal mau bicara!” Ucap Angga yang sudah menghampirinya di halaman belakang. Dini menghapus airmatanya sebelum meraih ponsel itu dari tangan Angga. Dini memberi isyarat agar Angga pergi karena dia ingin privasi.

Setengah jam lebih Angga menunggu percakapan itu selesai dengan rasa penasaran karena dia bisa melihat dari kejauhan kakaknya sedang menangis. Apa yang mereka bicarakan?

***

Unmarried MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang