"Rambi.. Rambi.."
Nada lirih itu memenuhi seluruh atmostfer di ruangan ini. Ukuran ruangan bercat putih itu sekitar 4x4 meter. Di dalamnya ada sebuah lemari, kasur busa ukuran sedang, dan meja lipat kecil. Sejumlah makalah yang ditumpuk asal-asalan bersanding dengan sebuah laptop di atas meja lipat. Buku-buku berserakan di lantai. Beberapa terbuka, sebagian tertumpuk, dan lainnya tampak kering kehitaman terkena tumpahan kopi. Bisa ditebak, ruangan ini adalah sebuah kamar kos-kosan.
Berantakan adalah kata yang tepat melukiskan kamar ini. Begitu banyaknya buku-buku yang berserakan, sampai-sampai orang pun akan merasa kesusahan ketika melangkah di dalamnya tanpa menginjak buku.
Di salah satu sudut ruangan, bersandar gitar berwarna coklat. Beberapa senar putus. Gitar itu tampak usang, kotor, dengan jaring laba-laba menjuntai di beberapa bagian.
Tergantung pakaian dan celana panjang bekas dipakai di belakang pintu. Nyamuk-nyamuk beterbangan dan hinggap di sela-sela pakaian yang tergantung.
Di sudut lain, tertumpuk sepatu beserta kaos kaki kotor yang berbau tak sedap. Tidak jauh dari sepatu dan kaos kaki bau, tumpukan piring dan gelas menunggu untuk dicuci. Bungkus makanan bertebaran di sana-sini.
Namun, ada satu bagian kamar yang menonjol. Dinding kamar itu penuh dengan foto-foto seorang gadis manis dengan berbagai pose. Di sekitarnya, terdapat tempelan kertas-kertas yang berisi tentang kata-kata penyemangat, bait-bait puisi, lirik lagu galau, dan janji hidup.
Dinding tersebut merupakan bagian favorit sang pemilik kamar. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk duduk termangu memandangi foto-foto itu. Pagi ini, seperti biasanya, Galih duduk tepat di depan tembok favoritnya, dengan rokok yang menyala dan kepulan asapnya hampir mengisi seluruh kamar kosnya.
Tepian matanya menghitam dan berkantung, sebagai tanda sang pemilik tubuh ini jarang tidur. Tubuhnya yang kurus, rambut panjang berantakan, kumis dan janggut yang tidak tercukur, menjadi bukti bahwa dia tidak lagi mengurus dirinya sendiri.
"Honey."
Nama itu berkali-kali keluar dari mulutnya sembari sesekali menyesap rokok. Sebutan itu adalah sebutan kesayangan dari Galih untuk sosok manis yang menjadi subyek utama di setiap foto yang terpajang di hadapannya. Matanya menerawang dan terlihat perlahan mulai muncul genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya. Sesekali ia mengusap dengan punggung tangan agar air matanya tidak terjatuh.
Terdengar dering suara ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat duduknya. Dengan pandangan tetap pada tembok yang ada dihadapannya, dia meraba-raba sisi atas meja untuk mencari keberadaan ponselnya. Tanpa melihat nama penelepon, dia mengangkat ponselnya.
"Halo," katanya datar.
"Halo, Lih. Kuliah gak? Ada kelas machine design pagi ini."
Ya, sang pemilik kamar ini adalah Galih. Galih Saputra. Mahasiswa Fakultas Teknik Mesin di salah satu universitas di Kota Pahlawan.
"Hah? He'em, Met," kata Galih datar masih melamun.
Penelepon Galih adalah Slamet Bayu, teman terbaik Galih. Slamet tak bosan-bosannya mengingatkan Galih tentang jadwal kuliah, tugas-tugas, dan ujian dengan sabar.
"Lih, masih tidur? Buruan bangun! Kalau sampai gak ikut kelasnya Pak Haryo hari ini, kamu gak bisa ikut ujian akhir semester. Ingat, jatah absensimu sudah limit. Gak bisa bolos lagi," terdengar nada menyemprot dari telepon.
Gertakan itu berhasil. Galih seketika tersadar dari lamunannya. Matanya mendadak terbelalak. Lamunannya hilang seketika.
"Hah? Apa? Ini sudah batas absensiku, Met? Oke.. Oke.. Sekarang aku ke kampus. Kelasnya Pak Haryo jam berapa, Met?" tanya Galih panik.
YOU ARE READING
BEE
RomanceGalih berada di titik terendah dalam kehidupannya setelah kepergian Rambi. Dengan kondisi kuliah Galih yang berantakan, teman-teman bandnya bubar, dia semakin menjauh dari teman dan keluarganya, membuat Slamet Bayu, teman Galih, prihatin dengan kond...