UTARI mengenal Aksara sejak masih duduk di bangku kuliah. Mereka hanya sering bertemu di stasiun kereta atau di dalam kereta listrik saat hendak pergi ke kampus. Saat itu, satu kali pun mereka tidak pernah bertegur sapa. Aksara yang sekarang, bagi Utari, terlihat berbeda dengan aksara yang dulu. Perkenalan mereka berdua terjadi secara tidak sengaja. Saat itu Utari berdiri di dalam kereta, menghadap ke jendela. Ia berdiri tepat di depan seorang laki-laki yang sedang tertidur. Selama berada di dalam kereta, Utari berpegangan pada gagang yang menjuntai dari tiang-tiang dekat tempat menaruh barang yang ada di atas bangku.
Sesuatu telah terjadi hari itu dan sejak kereta yang sedang ditumpanginya itu datang di stasiun tempatnya menunggu, Utari menahan rasa sesak. Ia mencoba menahan getaran yang muncul dari dalam dadanya, yang menjalar ke matanya. Pertahanan Utari roboh. Air mata menetes dari matanya dan terjatuh mengenai punggung tangan lelaki yang duduk sambil tertidur, tepat di depannya. Air mata itu membangunkan lelaki yang ternyata adalah Aksara. Saat itulah, untuk pertama kalinya Utari melihat senyuman Aksara. Senyuman yang menenangkan hati.
Ibu, Laras, dan Utami ribut menanyakan siapa laki-laki yang bersamanya selama prosesi pernikahan Seno dan Maya saat perjalanan pulang ke rumah. "Itu sepupunya Maya. Namanya Aksara. Dia dulu teman aku di kampus, bu. Aku nggak menyangka akan ketemu dia di pernikahannya Mas Seno—apalagi, menyangka kalau dia adalah sepupunya Maya. Karena sudah lama tidak mengobrol, ya sudah, kami puas-puasin mengobrol tadi."
"Serius cuma sebatas itu, mbak?" Tanya Larasati.
"Iya, cuma sebatas teman." Jawab Utari santai.
"Mbak yakin? Tapi, sepertinya Mas Aksara itu suka sama mbak. Buktinya, aku perhatikan, dia mengikuti mbak terus selama acara. Seperti ekor anjing yang yang sedang kenyang. Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, nggak akan ngeh." Sela Utami.
"Utami, nggak boleh seperti itu. Masa' orang disamakan dengan ekor anjing." Tegur ibu yang duduk di bangku depan. "Utari, tapi nggak ada salahnya mendengarkan perkataan adikmu itu. Kalau Aksara suka sama kamu, mbok ya dicoba dulu. Jangan selalu menghindar. Ibu ini sudah menyerah rasanya, nduk. Seno, laki-laki, yang seumuran denganmu saja sudah berani menikah. Masa' kamu, perempuan, hari gini belum menikah juga. Untung tadi ada Nak Aksara."
"Wes... Biarkan saja, toh. Kalau Aksara itu jodohnya Utari. Dia juga nggak akan menghindar. Jadi, tenang saja nggak usah terlalu dipikiran begitu, Utari." Mungkin Om Rusli melihat perubahan ekspresi wajah Utari saat mendengar perkataan ibunya dari kaca spion dalam mobilnya.
Utari tidak menjawab. Ia membuang pandangannya ke luar jendela. Langit mulai gelap, namun warnanya tidak jernih. Senja yang berwarna kejinggaan itu sebagian besar tertutup awan kelabu. Semakin kencang mobil itu melaju, semakin pekat gumpalan asap abu-abu yang berada di langit. "Hujan lagi," batin Utari saat tetesan air hujan jatuh di kaca jendela mobil itu.
PERTEMUAN selalu menjanjikan perpisahan, begitu pikir Utari. Aksara, laki-laki yang terakhir ditemuinya di pernikahan Seno dan Maya hampir tiga bulan yang lalu itu menghilang. Seolah awan kelabu yang dilihatnya saat perjalanan pulang dari resepsi pernikahan tempo hari adalah tanda. Utari membayangkan awan kelabu itu menyelubungi lubang terang dari langit. Lubang itu menghisap siapa saja yang diinginkannya—manusia-manusia yang terhisap itu tidak dipilih secara acak, tapi Utari tidak tahu kriteria apa yang membuat mereka bisa terhisap atau terpilih untuk diangkat kelangit dan menghilang selama-lamanya dari muka bumi. Awan kelabu pekat yang serupa dengan yang dilihatnya bertahun-tahun yang lalu, Enam atau tujuh tahun yang lalu. Awan itu memenuhi janji yang diucapkan sebuah pertemuan, mengabulkan perpisahan.
MALAM tahun baru, 31 Desember 2000.
Menjelang pukul tujuh malam itu, ibu dibantu dengan Utari menyiapkan piring, gelas, air minum dan makanan yang dimasak ibu tadi pagi—yang telah dihangatkan—di meja makan. Biasanya Utami yang bertugas membantu ibu. Tapi, Gadis berusia 15 tahun itu baru sampai rumah setengah jam yang lalu dengan wajah ditekuk dan tubuh yang lemas. Ia mengeluarkan sampur jumputnya yang berwarna merah, strapless, kipas, kaos dan legging dari dalam tas, lalu merebahkan tubuhnya diatas sofa di depan TV. Ibu bertanya mengapa wajahnya seperti itu, tapi Utami hanya menjawab, "nggak pa-pa, bu." Tapi, wajahnya malah kelihatan lebih tegang.

KAMU SEDANG MEMBACA
UTARI
Aktuelle LiteraturUtari sekali lagi akan dilangkahi adiknya. Setelah Ratri-adik pertamanya-menikah terlebih dahulu, kini giliran Laras-adik keduanya. Ibu Utari yang tidak menyetujui rencana pernikahan Laras, membuat Ratri merasa bersalah dan membebani adiknya. Bagaim...