UTARI sudah menunggu di Stasiun Bojong Gede saat kereta ekonomi dari Jakarta Kota yang ditumpangi Aksara sampai ke stasiun itu. Saat itu, jam tepat menunjukkan pukul 8 pagi. Utari melihat Aksara dari kejauhan. Ia turun dari gerbong tujuh—gerbong belakang—kereta itu. Ia berlari tergopoh-gopoh sambil melihat ke sekeliling. Utari berdiri dari tempat duduknya dan melambaikan tangan ke arah Aksara. Perlu beberapa lama melakukan hal itu hingga Aksara benar-benar menyadari keberadaan Utari.
"Aduh. Maaf, Utari. Kamu sudah menunggu lama, ya?" Aksara terengah-engah. Ia mengatur napasnya sambil membungkuk-bungkuk. Keringat laki-laki itu membasahi sekujur tubuh, hingga kaosnya basah. Utari mengernyit melihat pemandangan itu, namun ia hanya terdiam.
"Kenapa harus lari-lari seperti itu sih, Aksara?" Utari selalu kesulitan memenggal nama Aksara. Ia memandang iba.
"Saya takut telat. Tidak disangka, keretanya telat dari jadwal yang diberitahukan petugas stasiunnya. Jadi, estimasi saya sampai di sini setengah jam yang lalu, tidak berguna." Kata Aksara masih dalam keadaan terengah-engah.
Utari tertawa, "Makanya, saya berangkat lebih cepat. Jadwal keberangkatan kereta itu tidak bisa dipercaya. Tapi, kamu tidak terlambat kok, Aksara." Utari menunjukkan jam tangannya. "Tepat jam delapan."
Aksara mengelus dadanya. "Tapi, tetap saja saya sudah membuat kamu menunggu terlalu lama, Utari."
"Loh, janjiannya kan jam 8. Santai saja, Aksara. Nggak perlu merasa bersalah seperti itu." Kata Utari seraya tersenyum kepada Aksara. Laki-laki itu terlihat terdiam sejanak, lalu balas tersenyum.
"Terima kasih, ya." Katanya.
"Sama-sama, Aksara." Utari menepuk lengan Aksara. "Jadi, kita mau kemana sekarang?"
"Oh iya. Saya mau mengajak kamu ke suatu tempat yang ajaib—menurut saya." Mereka berjalan berdampingan keluar stasiun.
"Ajaib?" Tanya Utari keheranan. "Tempat yang kamu sebut 'Rumah Harapan' itu?" Tentu saja Utari mengerti apa yang dimaksud Aksara dengan 'ajaib' itu. Iya, hanya ingin mengetahui pendapat Aksara yang sebenarnya mengenai 'Rumah Harapan'.
"Iya. Ini bukan rumah biasa, Utari. Sudah berdiri selama kurang lebih enam tahun. Tapi, memang tidak banyak yang tahu tentang keberadaannya, sebab Rumah Harapan ini adalah komunitas rahasia."
"Komunitas rahasia?" Utari bertanya lagi.
"Sebenarnya tidak bisa dibilang rahasia juga, tapi di dalam komunitas itu, setiap orang bersepakat untuk menjaga rahasia masing-masing. Mereka mungkin lebih cocok disebut dengan social support group. Anggota mereka juga tidak bertambah sejak pertama kali didirikan, sebab mereka tidak membuka rekrutmen terbuka karena dikhawatirkan akan mengacaukan kegiatan dalam komunitas itu sendiri. Kalaupun ada anggota baru, bertambahnya tidak banyak bisa dihitung dengan jari dalam selang waktu sempat sama lima tahun."
Aksara menyetop sebuah angkot berwarna merah yang hendak melintas di jalan dekat Stasiun Bojong Gede, lalu mempersilakan Utari masuk ke dalam angkot itu duluan. Mereka duduk berhadapan. Angkot tidak terlalu penuh saat itu. Hanya ada dirinya, Aksara dan seorang ibu dengan bayi yang sedang tidur di pangkuannya. Sopir angkot yang kelihatan masih bocah itu menyetel musik dangdut agak lirih.
Utari menunggu Aksara bercerita lagi soal 'Rumah Harapan,' namun lelaki yang duduk di depannya itu memberika tanda pada Utari. Ia menempelkan jari telunjuk kanannnya di bibirnya. "Tidak bisa cerita disini," kata Aksara lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
UTARI
Genel KurguUtari sekali lagi akan dilangkahi adiknya. Setelah Ratri-adik pertamanya-menikah terlebih dahulu, kini giliran Laras-adik keduanya. Ibu Utari yang tidak menyetujui rencana pernikahan Laras, membuat Ratri merasa bersalah dan membebani adiknya. Bagaim...