Bab 1 - Pria ke Sembilan Belas

1.7K 55 3
                                    

JAKARTA pukul lima sore.

Utari menatap kalender yang terletak di atas meja kerjanya. Dua hari lagi, batinnya sambil melihat angka "8" yang ditandai dengan tinta berwarna merah dari spidol marker. Ia masih ingat betul kapan ia menandai tanggal itu, sudah cukup lama sekitar sebulan yang lalu saat ibu meneleponnya dari rumah dan mengabarkan tanggal bahagia itu kepadanya dan mengingatkan dirinya berkali-kali untuk meluangkan waktu di hari itu agar bisa ikut merayakan hari bahagia itu.

"Iya, bu... sudah aku tandai di kalender nih. Nggak akan lupa." Kata Utari seraya menandai kalender dengan spidol merah, membentuk hati—tanda kalau hari itu adalah hari bahagia dan ia tidak boleh melupakannya. Seusai menuntaskan pembicaraannya dengan ibu di telepon, Utari memandangi angka "8" itu setengah menerawang. Tanpa ia sadari, air mukanya berubah. Ia lalu mengambil spidol merah itu lagi dan menambahkan garis bergerigi di tengah hati yang tadi dibuatnya melingkari angka delapan. Entah sejak kapan hal seperti ini dirasakannya, mungkin ini iri, mungkin ini dengki karena ia sama sekali tidak bahagia menyambut tanggal yang disebut ibu sebagai hari bahagia itu.

Azalea membuyarkan lamunannya. Perempuan itu adalah rekan kerja Utari—satu divisi dengannya—yang mejanya tepat berada di sampingnya. Ia telah selesai berkemas. Meja Azalea yang semula berantakan dengan tumpukan berkas-berkas pekerjaannya kini sudah tertata rapi kembali. Tumpukan kertas itu telah dirapikan dan dimasukannya kedalam kabinet yang berada di dinding sebelah kanan ruangan. Terkadang Utari begitu mengagumi ketelatenan Azalea dalam memperlakukan barang-barang yang dimilikinya. Ia tidak pernah melihat Azalea meninggalkan meja kerjanya dalam keadaan berantakan. Menurut Azalea, meja kerjanya haruslah nyaman seperti rumah baginya. Oleh karena itu, ia memajang beberapa foto dirinya dengan Johan, lelaki yang dinikahinya hampir dua tahun yang lalu, di meja kerjanya. Di dalam figura itu, mereka terlihat sangat, sangat bahagia. Begitu yang dipikirkan Utari setiap kali melihat ke arah meja kerja Azalea.

"Nggak pulang, neng? Ngelamunin apa sih?" Tanya Azalea seraya melirik ke arah kalender yang ada di tangan Utari. "Hmm... tanggal putus sama pacar?" Tanya Azalea lagi.

Utari pelan-pelan mengalihkan kepalanya ke tanggal yang ditandainya itu, lalu meletakkan kalender yang ada di tangannya ke tempat semula. Ia tahu Azalea hanya menggodanya. "Kamu pulang duluan saja deh, Za. Aku masih harus mengerjakan laporan yang diminta Pak Haris senin besok. Tanggung." Tangan Utari bergerak menuju tumpukan kertas yang ada di depannya dan berpura-pura membacanya dengan serius.

"Kamu yakin? Hari ini Johan padahal menjemputku. Siapa tahu kamu mau bareng. Nanti Johan aku minta antar sampai ke depan rumahmu. 'Kan lumayan, kamu nggak perlu panas-panasan sambil macet-macetan di dalam kopaja." Ya...Aku tahu suamimu akan melakukan apapun yang kamu minta, Azalea. Batin Utari.

Utari tertawa. "Kamu ini suka repot-repot deh, Za. Tapi, terima kasih ya atas tawarannya. Begitu pekerjaan ini selesai, aku akan segera pulang dan jalanan pasti sudah tidak macet lagi. Lagipula, aku nggak bisa menunda menyelesaikan laporan ini, Za. Soalnya weekend ini aku sibuk." Kata Utari sambil menghela napas panjang. Ia lalu menambahkan dengan senyuman, "salam ya buat suamimu."

"Ya sudah kalau begitu. Sayang sekali, Utari. Jangan kerja terus ah, rileks lah sesekali. Aku kasihan melihat kamu akhir-akhir ini uring-uringan terus." Tanpa disadari Utari, tangan Azalea sudah berada dipundaknya. Ia tidak tahan melihat wajah Azalea lama-lama yang saat itu menunjukkan ekspresi seperti orang iba. Beberapa hari ini, Azalea memang sering melontarkan pertanyaan yang sama setiap hari. Ia menanyakan kepada Utari apakah dirinya sedang menghadapi masalah yang berat. Utari selalu menjawab kalau ia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan keanehan yang ditemukan Azalea atas dirinya akhir-akhir ini mungkin ulah "tamu bulanan". Azalea tidak meneruskan pertanyaannya, sebagian besar perempuan biasanya langsung mengerti. Keesokan harinya, Azalea bertanya lagi kepada Utari dengan pertanyaan yang sama dan Utari menanggapinya dengan jawaban yang sama pula. Namun, kali ini Azalea tidak mengerti kalau Utari memang sedang terpikirkan sesuatu yang sedang tidak ingin dibahas olehnya.

UTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang