PAPAN hijau bertuliskan "Pulau Cakrabyuha" berwarna putih itu sudah terlihat dari kejauhan, menyambut perempuan yang tengah menatapnya lekat meski jaraknya masih beberapa menit lagi. Tampak pepohonan yang masih rindang dan bangunan yang berjejer di belakang pantai kecil dekat dermaga.
Aksara menghampiri Utari, membawakan tas dan barang bawaannya dari dalam kapal. "Akhirnya sampai juga, ya." Kata Aksara seraya menggendong tas ransel milik Utari.
"Eh, Aksara... Biar aku saja yang bawa tasnya. Repot sekali kelihatannya bawa-bawa dua tas ransel begitu." Bukannya menanggapi Aksara, Utari justru meminta tasnya yang sudah menempel di punggung Aksara. Laki-laki itu meliriknya penuh makna.
"Terima kasih banyak atas tawaran bantuannya. Tapi, aku bisa bawa sendiri kok. Benar."
Mereka turun dari kapal itu setelah membayar sebesar lima puluh ribu rupiah kepada awak kapal feri. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Besok di waktu yang kira-kira sama, kapal feri baru akan datang lagi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Bahkan, terkadang dalam satu atau dua hari tidak ada kapal yang menepi ke pulau itu. Cakrabyuha bukan lah pulau wisata seperti gugusan Kepulauan Seribu di utara ibu kota. Rumah penduduk terbilang belum terlalu banyak di sana, meskipun tidak bisa juga dibilang sedikit. Luasnya mencapai 121 km2 dan hanya didiami sekitar lima ribu jiwa penduduk.
Tak jauh dari dermaga, keduanya melihat beberapa orang pemuda sedang berkumpul di depan sebuah warung sambil menyeruput kopi hitam di gelas-gelas kecil. Sayup-sayup terdengar mereka berbicara menggunakan bahasa Jawa. Aksara dan Utari menghampiri mereka.
"Permisi, mas. Maaf mengganggu. Apa di sekitar sini kami bisa menemukan penginapan?" Tanya Aksara. "Kami datang dari Jakarta."
Seorang pemuda yang berambut merah karena terlalu sering terpapar sinar matahari menjawab, "Oh, dari Jakarta. Ada, mas. Biasanya kalau ada orang yang mau menginap di sini, tinggal di rumah penduduk sini atau nenda."
"Oh, kalau camping, kami bisa menyewa tenda dimana ya?" Tanya Aksara lagi. Para pemuda itu tidak menjawab, justru saling tatap.
"Mmm... biasanya sih kalau mau nenda ya mereka bawa sendiri, mas. Kalau mau menginap, nanti saya di rumah dia bisa nih mas." Seorang pemuda menunjuk pemuda lainnya.
"sek.. sek... tak takon bapakku disik."
"Terima kasih, mas. Tapi, sebelumnya saya mau bertanya. Apa mas-mas kenal dengan laki-laki, usianya sekitar 30 tahun, matanya sipit, kulitnya putih. Namanya Abima..." Utari berhenti berkata-kata. Ia sendiri tak yakin apakah nama Abimanyu masih sama dan belum diganti apabila mengingat cerita yang disampaikan oleh Mas Robi.
"Abimanyu." Utari memutuskan untuk meneruskannya nama itu belakangan. Pemuda itu menggeleng-geleng, sepertinya mereka tidak yakin pernah mendengar nama itu.
"Wah, kalau ini saya kenal, mbak! Si Sapto ini! Iya, betul ini Sapto sepertinya." Akhirnya, seorang laki-laki bertubuh kurus berkulit cokelat, yang dikepalanya terikat syal batik, memberikan pencerahan.
"Sapto?" Tanya Utari seraya melihat ke arah Aksara. "Mas, tahu rumahnya?"
"Ya, tahu! Orang rumahnya itu di samping rumah saya. Dia biasanya sedang main sama anaknya yang kecil kalau jam segini. Mbak ini mau bertemu dengannya?"
Utari mengangguk.
"Ayo mari, mbak... mas... saya antar."
Ada yang mendesir di dalam dada Utari ketika laki-laki yang berjalan di depannya menyebutkan kalimat Dia biasanya sedang main sama anaknya yang kecil kalau jam segini. Kalimat itu menggema di kepalanya berulang kali, hingga ia merasa pusing dan hampir pingsan. Namun, kakinya tetap berusaha untuk melangkah. Satu demi satu langkahnya bergerak mengikuti laki-laki tadi, sampai syaraf-syaraf di kakinya tiba-tiba melemah, pandangannya tiba-tiba mengabur, dan kata yang tak sanggup ia lawan saat itu adalah tumbang.

KAMU SEDANG MEMBACA
UTARI
Tiểu Thuyết ChungUtari sekali lagi akan dilangkahi adiknya. Setelah Ratri-adik pertamanya-menikah terlebih dahulu, kini giliran Laras-adik keduanya. Ibu Utari yang tidak menyetujui rencana pernikahan Laras, membuat Ratri merasa bersalah dan membebani adiknya. Bagaim...