11. Ceremony

52 6 1
                                    

Hari Senin, mungkin adalah hari yang paling di benci oleh seluruh siswa mana pun. Begitu pun untuk seluruh penghuni SMA Pelita Bangsa. Teriknya panas mataharilah yang membuat mereka malas untuk melakukan hal yang wajib di lakukan dengan semangat nasionalisme yang tinggi itu, yakni upacara bendera.

Nara beserta kedua sahabatnya, Vita dan April masih berada di kelas walau bel yang bertanda bahwa seluruh siswa diharuskan sudah berada di lapangan utama sudah berbunyi nyaring berkali-kali.

"Dasi gue mana sih?!" Gerutu April sembari memeriksa isi tas punggungnya.

"Cepetan, Pril!" Teriak Nara yang sudah siap dengan perlengkapan seragamnya, kini dia berada di ambang pintu.

Sedangkan Vita yang berada di samping Nara tampak memegang rambutnya, lalu menyadari jika dia belum mengenakan topi. "Eh? Topi gue manaaa!" Panik Vita berjalan cepat ke arah mejanya. Mencari benda yang biasa dipakai di kepala itu di bawah kolong meja, namun nihil.

Nara tampak menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan kedua sahabatnya.

"Yuk!" Ajak April yang sudah menemukan dasinya yang ternyata dia masukkan ke dalam saku roknya.

"Tungguin gue dong, guys!" Seru Vita, tangannya meraih sebuah topi yang dia temukan di lemari dekat meja guru. Entah siapa pemiliknya, Vita tidak peduli. Yang terpenting dia sudah memakai seragam lengkap dan tidak akan mendapatkan hukuman.

Setelah ketiganya siap, mereka langsung meluncur ke lapangan utama untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia.

Berbeda dengan Vita dan April yang memilih berbaris di barisan paling belakang, Nara lebih memilih untuk berbaris di barisan kedua kelas 11 IPS 1 itu dengan wajah yang sudah kembali ceria. Dia berdiri di belakang Sri yang saat itu menempati barisan pertama. Gadis dengan name tag Nara Almeera yang terpampang di sebelah kanan seragamnya itu terlihat cukup bersemangat pagi ini. Bagaimana tidak?

Kalian lupa ya, kalau Nara sudah mempunyai penyemangat baru sejak malam minggu kemarin? Sudah, lupakan.

Kembali ke upacara. Saat ini upacara ternyata masih belum di mulai. Tampaknya para petugas sedang mempersiapkan, juga barisan-barisan yang belum terlihat rapi. Sudah telat, kurang tertib lagi. Suara berisik, teriknya matahari, lengkap sudah membuat penderitaan para siswa yang sudah susah payah merawat kulit mulusnya.

Sri yang berada di barisan depan memutar tubuhnya ke belakang, menghadap Nara. "Ini gimana sih masangin dasinya? Ribet banget punya gue!" Serunya.

Nara mengedikkan bahu acuh.

Sri berdecak. "Coba lihat dasi punya lo," ucap Sri sembari memegang dasi yang melingkar di kerah leher Nara.

"Gimana aja deh bebas, asal nempel." Komentar Nara sedikit sinis. Nara memang memasang dasinya dengan asal. Hanya mengikatnya, dan terkadang dengan sengaja menyampirkan dasi di bahu kanannya.

Tatapan Sri beralih ke barisan laki-laki yang berada di sebelahnya. Kebetulan, Sakti menempati barisan pertama dan otomatis sejajar dengan posisi Sri. "Ayah, ini gimana sih pasangin dasinya? Bunda gak bisa. Coba bunda lihat punya Ayah," ucap Sri manja sembari memegang dasi Sakti.

Sontak Nara membuang muka, memutar bola mata malas. Hatinya sedikit panas dengan adegan lebay yang di buat oleh teman sekelasnya itu.

Memang, sebelum Nara menyukai Sakti, Sri sering kali memanggil Sakti dengan sebutan ayah. Padahal keduanya tidak pernah memiliki hubungan apa-apa. Sri terlihat seperti wanita gatal yang mengejar Sakti, walaupun Sakti sangat cuek dan tak peduli menanggapinya. Dan Nara pikir, itu hanya untuk candaan Sri saja.

Tapi tetap saja. Mau bercanda ataupun tidak, hati Nara tetap panas terbakar api cemburu. Cemburu? Ya, mungkin ini pertama kalinya Nara merasakan cemburu kepada Sakti. Untungnya, Sakti segera menepis tangan Sri saat menyadari Nara yang tiba-tiba menghadap ke arah kiri.

"Ayah ayah nenek lo bohay, Ci!" Seru Rezi yang berada di belakang Sakti.

Sri yang memang sudah biasa di sebut dengan panggilan Cici itu menatap Rezi sinis. "Terserah gue dong mau panggil dia apa!"

Semua murid tampak terdiam, suara berisik kini sudah di ambil alih oleh protokol upacara, tanda bahwa upacara sudah di mulai. Nara kembali berbaris rapi. Walau sebelumnya, diam-diam dia melirik Sakti yang ternyata sedang memperhatikannya. Mereka saling melempar senyum, meski beberapa menit lalu hati Nara terasa ingin membeludak karena ulah Sri yang menggoda Sakti.

Baik Nara maupun Sakti, keduanya sepakat untuk merahasiakan hubungan mereka kecuali dari orang terdekat. Hal itu tentu bertujuan agar hubungan mereka tidak diketahui oleh teman sekelasnya yang lain. Ketika di sekolah, mereka akan bersikap layaknya teman biasa. Backstreet istilah gaulnya.

***

"Lo hutang cerita sama kita, Na. Pokoknya lo harus ceritain secara detail pas Sakti nembak lo itu kayak gimana?!" Tanya April heboh.

Setelah lelahnya kegiatan sekolah di hari Senin ini, persahabatan dengan tiga gadis yang di beri nama MiTangTing itu memilih untuk nongkrong di sebuah cafe pop ice dekat sekolahnya.

Vita menyedot cappuccino miliknya, lantas mengangguk menyetujui ucapan April.

Nara mengambil nafas. "Kepo yaa?"

April memutar bola matanya jengah. "Cepetan cerita!" Perintahnya tak sabar.

"Jadi gini---"

April dan Vita memasang wajah serius untuk mendengarkan cerita Nara yang sengaja di gantungkan itu.

"Tiga lolly milkita setara dengan---"

Plak

"Awww!" Ringis Nara saat dengan sengajanya Vita menepuk pelan pipi tembamnya.

"Yang benar dong, Su'eb! Niat cerita gak sih?!" Sinis Vita.

Nara mengusap lembut pipinya. "Ya maaf."

"Wihh keras lo, Vit!" April ikut menyahut dengan kekehan di akhir kalimatnya.

"Abisnya kesal, udah serius buat dengerin, ehh si Cumi malah bercanda!" Vita mengerucutkan bibirnya.

Nara menyedot pop ice rasa taro yang di dominasi berwarna ungu itu. Bulatan bubble dengan cairan manis bersuhu dingin masuk ke tenggorokannya, menambah rasa segar di siang hari ini.

Nara berdeham sebelum bercerita. "Jadi gini, pas hari Sabtu kemarin kan Rezi bilang kalau Sakti minta nomor WhatsApp gue, terus gue kasih tuh, nomor gue lewat Rezi. Pas malam harinya, gue nunggu chat dari Sakti, bahkan dari sore sampai malam. Tapi apa? Sakti gak kirim chat ke gue satu pun, guys. Otomatis gue kesal dong? Gue kira Rezi cuma mainin gue, bikin gue baper dengan embel-embel pakai nama Sakti. Gue ngerasa di bohongin sama tuh curut, njir!"

"Terus, terus?" Tanya April saat Nara berhenti berbicara.

"Terus pas malam itu gue langsung telepon Rezi, minta pertanggungjawaban. Rezi malah bilang kalau dia emang belum ngasih nomor WhatsApp gue ke Sakti. Disitu gue nambah kesal. Nah, karena gue rada ngambek sama si Rezi, dia langsung kirimin nomor Sakti lewat chat. Gue pikir, ini kok kayak ke balik gitu ya? Kayak gue yang minta-minta nomor Sakti gitu, padahal kan awalnya Sakti yang minta nomor gue."

Vita mengangguk paham. "Terus lo yang chat duluan, gitu?" Tanyanya.

"Iya. Awalnya gue ragu buat chat Sakti atau enggak. Tapi Rezi bilang, kalau cinta perjuangin, kalau enggak? Yaudah gak usah. Kalian tahu sendiri kan kalau gue udah mulai jatuh cinta sama Sakti? Dengan keberanian gue sekuat tenaga, gue kirim chat ke Sakti buat ngebuktiin perjuangan gue. Akhirnya gue ngetik say hai, terus dia balas chat dari gue. Kita biasa chattingan gitu deh, terus lama-lama dia bahas tentang pacar. Dia bilang kalau dia gak punya pacar, terus dia nembak gue buat jadi pacarnya. Intinya gitu deh, disitu gue bahagia banget pokoknya."

Nara menjelaskan secara rinci, tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Membuat kedua sahabatnya beranggut-anggut ketika menyimak ceritanya.

"Jadi, kalian berdua jadian cuma lewat chat?" Tanya Vita memastikan.

Nara mengangguk antusias.

"Gak ada romantis-romantisnya si Uloh, huh!" Komentar April.

"Ya gak papa. Yang penting gue bahagia. Masalah berjuang, kita bisa berjuang ketika mempertahankan hubungan yang kita jalanin sekarang ini." Jelas Nara.

Vita mengusap bahu Nara. "Longlast ya, Na. Usaha gue sama April buat satuin lo sama Sakti gak sia-sia. Kita cuma bisa ngelakuin yang terbaik buat bikin lo bahagia. Dan satu hal lagi, jangan galau-galauan karena kak Aldad lagi, ya?"

Nara terkekeh. "Siap."

"Harusnya lo traktir kita nih!" Canda April.

"Oke, gue traktir. Asal kalian bisa jaga mulut, jangan dulu di bilangin ke publik juga kalau gue baru jadian sama Sakti!"

"Aman, horeeee!" Sorak Vita dan April bahagia sembari mengacungkan jempolnya.

Nara tersenyum. Dia cukup beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Uang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebersamaan dalam sebuah arti persahabatan.

***

Before Us ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang