Nara berjalan di samping Sakti. Langkah mereka beriringan. Kedua jemarinya saling bertautan seperti halnya sepasang kekasih yang tak ingin saling melepaskan. Hati keduanya menghangat, merasa menemukan tempat ternyaman. Genggaman itu terasa pas dari jemari tangan mungil milik Nara.
Diam-diam, Sakti melirik wajah kekasihnya itu. Matanya masih terlihat sembab. Tangannya terulur mengusap rambut Nara dengan sangat lembut. Membuat Nara mendongak dan tersenyum manis seketika. Tujuan Sakti hanya satu, ingin membahagiakan Nara. Dia tidak ingin melihat orang yang sangat dicintainya itu menangis seperti tadi. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Nara, termasuk dirinya sendiri.
Langkah Sakti, Nara, Vita, April, Fikto, dan Rezi terhenti saat mereka sudah berada tepat di depan rumah April. April yang merupakan tuan rumah terlebih dahulu membuka pintu. Mempersilakan sahabat-sahabat karibnya untuk memasuki rumah dan menganggap bahwa mereka seperti berada di rumah sendiri. Tanpa canggung-canggung, kelima sahabatnya itu memasuki rumah dan bergegas untuk bersalaman dengan sang ibunda April yang kebetulan sedang berada di rumah.
Mereka terduduk di hamparan karpet tebal yang sudah disediakan.
"Mau bikin apa?" Tanya April sembari menata rapi kue-kue yang di suguhkan untuk kelima sahabatnya.
"Cilok enak kayaknya." Timpal Vita.
Nara yang terduduk di sebelah Sakti meneguk segelas air putih yang sudah di sediakan April. "Gue mau yang kuah-kuah. Bakso aci aja, gimana?" Usul Nara setelah meneguk minumannya hingga tandas.
"Para cowok mah ngikut aja," ucap Rezi mewakili.
"Bakso aci? Boleh." Setuju April.
Seperti biasa. Perkumpulan sederhana mereka memang seperti itu. Membuat cilok, atau pun bakso aci.
Sudah tahu bakso aci? Bakso yang terbuat dari aci, di dalamnya berisi pecel. Apalagi jika kuahnya sudah memakai cabai, uh nikmatnya.
April dan Vita bangkit untuk membeli bahan-bahan ke warung terdekat. Sedangkan Nara, dia masih sesekali melamun memikirkan nasib ponselnya.
"Ngelamun mulu." Tegur Sakti.
Nara tersentak. "Hmm? Enggak kok."
"Aku tahu. Gak usah ngelak. Ngelamunin apa sih?"
"Handphone aku." Wajah Nara kembali sendu.
Sakti menyelipkan anak rambut yang menutupi pipi bulat Nara. "Kamu do'ain aja supaya kamu dapat handphone yang lebih bagus dari yang hilang itu. Gak usah di pikirin, ya?"
"Kamu enak ngomong gitu. Nanti aku di marahin sama mama aku. Lagian, kalau gak ada handphone, nanti ngabarin kamunya gimana?" Tantang Nara sedikit sewot.
"Kamu gak usah pikirin aku. Gak ada handphone, bukan berarti kita gak bisa komunikasi. Kan kita masih bisa ketemu di sekolah, sayang."
Nara mengangguk samar. Namun tetap, masih terasa ada yang mengganjal di relung hatinya.
"Terus, kalau nanti aku ngerjain tugas gimana? Mana ada tugas TIK lagi, gak bisa calling-calling kalau mau ke warnet. Udah gitu, warnet di kompleks aku jaraknya jauh."
Sakti berdecak. "Gak usah pikirin itu juga. Tugas kamu biar aku aja yang ngerjain."
Mata bulat Nara berbinar. "Benaran?"
Kepala Sakti berangguk tiga kali. Senyuman Nara mengembang. Dia bersyukur, memiliki kekasih yang pengertian seperti Sakti. Fikto dan Rezi yang sedari tadi menyimak sembari memakan camilan yang disediakan April tadi hanya bisa menggeleng melihat adegan manis sepasang kekasih yang baru sekitar dua mingguan ini menjalin asmara itu.
Hingga April dan Vita datang, membawa sekantung keresek hitam berisi bahan yang sudah di beli.
"Na, lo yang bikin adonan gih, capek gue." Keluh Vita, terduduk di samping Fikto.
Nara beranjak, mengambil alih kantung kereseknya lalu bergegas menuju dapur mengikuti langkah April.
"Na, gue ada ide!" Seru April menjentikkan jari.
Kening Nara berkerut. "Apaan?"
"Gimana kalau kita jahilin salah satu dari mereka?" Usul April sedikit mengecilkan volume suaranya.
"Jahilin gimana?" Tanya Nara, masih sedikit bingung.
April menempelkan jari telunjuknya di dagu. "Emm--"
"Aha!"
Nara mengernyit, matanya menyorotkan sebuah pertanyaan.
"Gimana kalau kita masukin cabai ke bakso acinya? Bagus kan ide gue?" Tanya April sedikit terkikik.
Nara mengangguk setuju. "Boleh juga. Tapi buat siapa?"
"Buat Sakti aja."
Mata Nara melotot seketika. "Gak ah enggak! Apaan banget ide lo, mau bikin cowok gue mati karena kepedasan ya?!"
"Yaudah iya. Si Fikto, gimana?"
"Jangan dia juga. Si Vita pasti yang nangis kejer kalau Fikto kena sasaran kita. Si Rezi aja." Nara mengusulkan.
April mengangguk setuju. "Oke, rasian lo, Rezi!"
Mereka mulai membuka plastik dari bahan-bahan yang tadi sudah dibeli April dan Vita untuk membuat adonan. Benar saja. April memasukkan beberapa cabai ke dalam bakso aci yang bulatannya terlihat lebih besar. Mereka sampai terkikik geli membayangkan reaksi Rezi ketika memakan bakso aci hasil dari kejahilan mereka ini.
Sementara itu, di ruang tengah tampaknya Vita, Fikto, dan Rezi bersenda gurau saling melemparkan candaan sembari menunggu bakso aci yang dibuat oleh Nara dan April matang.
"Pacaran udah berapa lama kalian?" Tanya Rezi kepo.
Vita mengingat. "Emm-- dua tahunan ya, sayang?"
Fikto mengangguk sembari mengunyah kue.
"Tips langgeng dong? Itu topik pembicaraannya ngomongin apa aja sih? Heran deh gue."
"Apa aja yang bisa bikin kita nyaman." Jawab Vita seadanya.
"Kok bisa ya, orang-orang punya pacar, terus pacaran langgeng kayak gitu? Gue aja, baru pacaran seminggu langsung putus." Rezi mengeluh dengan nada miris.
Fikto meneguk air putih yang berada di depannya sebelum berbicara. "Lagian, kenapa lo putus sama si Intan yang kelas 11 IPA 5 itu sih?"
Rezi berdecak. "Ah, malas. Si Intan kalau foto kepalanya miring."
Sontak Vita melemparkan camilan yang tak jadi dia masukkan ke dalam mulutnya. "Somplak lo! Lah iya lah, rata-rata cewek kalau foto kepalanya dimiringin. Lo tahu gak kenapa?"
Rezi menggeleng.
"Karena cewek butuh sandaran." Jawab Fikto cepat.
"BUKAN!"
"Terus apa?"
"Ya enak aja, gitu. Sumpah deh, ga bohong."
"Termasuk kamu, kalau foto pasti kepalanya miring. Bibir di manyunin, mata merem melek."
"Halah terserah aku dong!"
"Tapi kan kalau foto gak usah gaya-gaya gak jelas, senyum aja udah cukup. Nanti orang lain kira kamu kesurupan gimana hayoh?"
"Ya biarin. Orang aku tiap foto mau kayak gimana aja tetap cantik kok!"
Rezi tersenyum miring mendengar perdebatan tak jelas sepasang kekasih yang duduk di dekatnya ini. Tidak ada yang tahu, hatinya memanas seketika. Mengapa bukan dia saja yang berada di posisi Fikto? Bercanda maupun berdebat hal yang tidak penting bersama gadis yang sejak lama mengisi hatinya secara diam-diam ini.
Hingga Nara dan April datang menyadarkan lamunan Rezi, dan memberhentikan perdebatan Vita dan Fikto. Mereka membawa mangkuk yang sudah berisi bakso aci dengan asap yang mengepul.
"Wihh udah matang?" Girang Vita dengan mata berbinar.
Vita mengambil alih sendok yang sedang di pegang April. "Ehh ehh ehh? Ini punya gue, lo ambil aja sana, di dapur tuh!" April menjauhkan mangkuk dan sendoknya dari Vita.
Pipi Vita mengembung kesal. "Galak amat sih."
Dengan kaki dihentakkan, akhirnya Vita bergegas menuju dapur untuk mengambil beberapa mangkuk dan sendok. Tak lupa mengisi masing-masing mangkuk dengan bakso aci yang sudah tersedia di panci.
Vita membawanya ke ruang tengah. Sambil bersenda gurau, mereka menikmati bakso aci buatan Nara dan April yang sangat lezat ini.
"Buatan siapa sih, ini?" Tanya Sakti sembari mengunyah.
"Aku dong!" Bangga Nara.
April melotot tak terima. "Eh enak aja! Ini buatan gue. Gue yang bumbuin. Gue yang masakin. Si Nara cuma bantu buat adonan sama jadi asisten gue doang!'
Nara mendelik. "Seenggaknya kan gue juga bantu."
"Halah lo aja gak bisa masak, mana mungkin bisa bikin bakso aci yang enak kayak gini!" Timpal Vita.
"Sayang, aku disudutin terus ihh!" Rengek Nara menatap Sakti dengan manja.
Sakti tak menghiraukan perkataan Nara, lebih memilih fokus memakan bakso aci dengan lahap hingga tersisa hanya kuahnya.
Hal itu membuat April dan Vita terkikik geli. Hingga mulut Vita terbuka lebar saat Fikto mengarahkan sendok dengan bakso aci di atasnya ke arah mulut kekasihnya itu. April yang melihatnya menyengir geli. Tak bisakah, tidak romantis-romantisan di hadapan jomblo?
"Aaaaaaahhh!" Teriak Rezi dengan memegang tenggorokannya yang terasa panas.
Sontak semuanya menoleh dengan kening yang berkerut.
"Anjirrr pedesss sssshhh!" Rezi meraih gelas berisi air putih di hadapannya.
"Eittss. Ini bagian gue! Gue dari tadi belum minum tahu!" Nara segera mengambil gelas itu dan menyimpannya di dekatnya.
"Bangsat! Na, gue kepedasan ini. Pril, minum anjirrr!"
April terbahak, sedetik kemudian Nara pun ikut terbahak tak kalah keras.
HAHAHHAA RASAIN LO!
Rezi beranjak, berlari ke dapur tanpa izin. Wajahnya memerah, matanya berair.
Nara dan April terus menertawakan. Sedangkan Vita, Fikto, dan Sakti mengernyit heran.
"Itu si Rezi kenapa sih?" Tanya Vita yang tak mengerti.
"Gue jahilin pakai cabai." Jawab April disela-sela tawanya.
"Anjir, parah men! Bwahaha!" Sakti ikut terbahak.
Rezi kembali ke ruang tengah dengan membawa teko berisi air. "Siapa yang tega jahilin gue? Siapa? Ngaku lo!" Tanyanya dengan wajah kesal.
April dan Nara tetap tak kuasa menahan tawa.
"Lo ya, Na?" Tuduhnya.
Nara menggeleng cepat. "Bukan! Bukan gue kok. Benaran deh."
"Iya iya. Gue yang jahilin lo, Zi." Jujur April akhirnya.
Rezi berdecak. "Sialan lo. Pulang ke rumah, pasti gue mencret."
Lagi-lagi mereka tertawa. Lebih tepatnya, tertawa di atas penderitaan Rezi.
"Untung bukan gue." Sahut Fikto lega.
"Eh, iya dong. Kalau mereka berani jahilin kamu, bakalan aku kill abis-abisan pokoknya! Gak tahu apa, kalau aku itu titisan Layla Mobile Legend?!"
Fikto terkekeh mendengar pembelaan Vita atas dirinya itu.
Acara makan-makan bakso aci pun selesai. Vita dan Fikto yang bagian membereskan dan mencuci piring. Sedangkan Nara, April, Sakti, dan Rezi bagian istirahat dan berkumpul di ruang tengah. Kenapa Rezi sedari tadi tidak ikut membantu? Ya. Karena mereka kasihan melihat wajah Rezi yang masih memerah. Hari ini, Rezi yang menjadi korban.
"Pengen pisang cokelat ih. Ada gak, Pril?" Tanya Nara yang sedang menonton siaran kartun kesukaannya di televisi April yang berukuran cukup besar.
"Ada. Sini gue beliin."
Nara merogoh saku untuk mengambil selembar uang dua ribu. "Nih."
"Lo mau gak, Loh? Pisang cokelat kesukaan Nara, pokoknya lo harus cobain!"
Sakti yang berada di samping Nara ikut mendongak. "Boleh."
Setelah mengambil uang, April menuju warung dekat rumahnya untuk membeli beberapa pisang cokelat.
Tersisa Nara, Sakti, dan Rezi. Nara dan Sakti tetap fokus menonton televisi, sedangkan Rezi hanya melamun meratapi nasib.
"Yang dua lagi nyuci piring, yang dua lagi nonton Upin-Ipin. Emang gini ya, nasib jomblo." Keluh Rezi menggaruk tengkuk yang tak gatal.
Sakti yang mendengar samar hanya melirik sekilas.
"Ngobrol kek, kalian!" Kesal Rezi. Sedari tadi Sakti dan Nara hanya terdiam memperhatikan televisi yang menayangkan siaran kartun Malaysia itu.
"Ngobrol apaan? Gue lagi fokus nonton." Sahut Nara tak beralih.
Rintik hujan terdengar karena cipratan airnya yang berbenturan dengan kaca. April datang membawa sekantung kresek hitam berisi pisang cokelat.
"Hujan anjir," ucapnya dengan nafas yang memburu.
"Udah tahu hujan." Celetuk Rezi.
Mata Nara berbinar senang ketika melihat pisang cokelat yang di bawa April.
Pisang yang di balut dengan cokelat beku. Lumer. Ditaburi seres berwarna-warni. Suasana hujan pun menambah kedinginan dari sensasi cokelat beku yang digigit Nara.
Nara menyenderkan tubuhnya ke punggung Sakti hingga mereka saling membelakangi. Sakti masih sibuk menonton, Nara sibuk menjilati pisang cokelat kesukaannya.
Mereka semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga yang terdengar hanya suara hujan gerimis di sore hari ini. Mereka teringat pulang, namun menunggu hujan reda.
"Sholat ashar dulu yuk." Ajak Nara.
"Yuk." Sahut semua.
"Ayo, sayang. Kamu juga harus sholat." Tegur Nara kepada Sakti yang masih asyik dengan layar televisi.
Sambil menunggu hujan reda, mereka pun bergegas mengambil air wudlu dan melaksanakan kewajiban secara berjamaah di rumah April.
Setelah hujan reda, beberapa batang pisang cokelat habis, dan selesai melaksanakan kewajiban, barulah mereka bersiap untuk pulang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima. Harusnya mereka sudah berada di rumah, bukan main seperti ini.
Mereka berpamitan kepada April dan orang tuanya. Lalu masing-masing mengambil dan memakai sepatu yang sedikit basah terkena cipratan air hujan.
"Dahhhh, Pril." Nara dan Vita melambaikan tangan tanda perpisahan. April membalas, lalu kembali menutup pintu setelah pandangannya menangkap raga sahabat-sahabatnya mulai menjauh dengan punggung yang mengecil.
Hati Nara merasa tak enak lagi. Dia tahu. Di rumah nanti, pasti dia akan kembali menangis dimarahi orang tua perihal ponselnya yang hilang di sekolah tadi. Nara hanya bisa berharap dalam hati, semoga semua baik-baik saja. Begitupun dengan hubungannya bersama Sakti, semoga tetap terjalin meski tanpa komunikasi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us ✓ [SUDAH TERBIT]
Подростковая литератураNara Almeera, seorang gadis mungil yang sempat mengira bahwa Tuhan tidak pernah benar-benar mengizinkannya untuk jatuh cinta, sebab dia selalu saja terjebak dalam sebuah rasa cinta tanpa balasan. Hingga seorang Sakti Pranaja pun hadir memasuki dunia...