13. Gate

53 7 4
                                    


Gara-gara Ineu, hubungan percintaan antara Nara dan Sakti yang sebelumnya disembunyikan itu sekarang sudah tersebar luas. Beritanya dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Adik kelas, kakak kelas, hingga tukang citul di kantin pun tahu tentang hubungan yang Nara dan Sakti jalin hingga sudah berusia seminggu lebih ini.

"Wah, yang betul? Si Nara yang kelas 11 IPS 1 itu kan? Yang kecil-kecil mungil?"

"Iya. Ternyata dia pacaran sama si Sakti."

"Sakti yang mana? Gue gak tahu, anjir!"

"Itu loh, yang ikut ekskul futsal."

"Mantannya si Indah?"

"Gak nyangka mereka pacaran, sama teman sekelas lagi!"

"Yaudah lah, gak papa. Kita do'ain aja hubungan mereka supaya mereka langgeng."

"Ahh. Rata-rata yang pacaran sama teman sekelas, pas udah putus bakalan susah move on."

"Betul! Soalnya bakalan banyak banget kenangan indah di setiap sudut sekolah. Setiap harinya pasti ngerjain tugas bareng, pulang bareng, berduaan di kelas, ahh jadi baper sendiri gue!"

Nara cukup menggelengkan kepala saat mendengar desas-desus tentang gosip yang beredar mengenai dirinya itu. Memangnya kenapa jika dia menjalin kasih dengan Sakti? Merugikan merekakah? Tak sedikit teman-temannya yang menanyakan perihal kebenaran hubungan antara Nara dan Sakti secara langsung untuk meminta kepastian. Nara tak ambil pusing. Dia hanya merespons dengan senyuman malu dan anggukan kepala. Sedangkan Sakti? Dia tampak tenang. Tak sedikit pun merasa risih atas gosip yang menyambar bagai kilat itu. Justru Sakti senang jika hubungannya sudah diketahui banyak orang. Karena dengan begitu, semua orang tahu jika Nara Almeera adalah miliknya seorang. Dan tentu, dia tak perlu mengumumkannya lagi kepada dunia.

Saat ini pun, Nara dan Sakti tengah dikurung di dalam gerbang yang memisahkan antara kelas 11 IPS 1 dan 11 IPS 2 secara sengaja oleh teman-temannya. Tujuannya satu. Agar mereka bisa melihat Nara dan Sakti mengobrol berdua dan bermesraan hingga mereka dapat percaya jika keduanya memang benar menjalin kasih. Memang. Yang mereka lihat, Nara dan Sakti terlihat jarang sekali mengobrol atau pun dekat. Keduanya bersifat dingin. Hingga tak heran, teman-teman sekelasnya sulit mempercayai jika hubungan Nara dan Sakti memang benar-benar ada.

Nara mencoba membuka kunci gembok yang jelas-jelas sudah terkunci dari luar. Dengan sekuat tenaga, dia terus saja mencoba agar kuncinya terbuka. Walau tetap, hasilnya nihil. "Bukain dong!" Seru Nara dari dalam.

Yang terdengar dari luar hanyalah suara tawa jahil dari teman-temannya.

"Sakti, bantuin aku juga kek!" Perintah Nara kesal.

Sakti hanya terdiam memperhatikan lekuk wajah Nara yang sudah setengah panik. Dia tersenyum kecil menyadari bahwa sekarang Nara adalah miliknya. Dia tidak peduli jika dikurung dalam gerbang berapa lama pun, asal bersama Nara. Gadis cantik bertubuh mungil itu benar-benar telah mengalihkan dunianya. Sebelumnya, dia tidak pernah sebahagia ini ketika memiliki seorang kekasih.

"Na?"

Menghentikan aktivitasnya membuka kunci, Nara menoleh saat mendengar Sakti memanggilnya.

"Apaan?" Ketus Nara.

"Enggak. Cuma manggil."

Nara mendelik sebal. Dia kembali menggerak-gerakkan kunci gembok yang sulit terbuka. Sialan sekali teman-temannya ini!

"Semenjak kamu hadir di kehidupan aku. Aku gak pernah tertarik kepada perempuan lain selain kamu." Gumam Sakti tersenyum lembut.

Nara meliriknya seketika. Pipinya memerah tersipu malu. Dia ingin cepat-celat keluar dari kurungan gerbang besi atas ulah teman-temannya itu.

Bukan. Bukan karena dia tidak ingin berduaan dengan Sakti. Justru dia memang membutuhkan waktu untuk berdua. Selama berhubungan pun, bahkan mereka tidak pernah berbincang dekat, berdua seperti ini. Tentu bukan karena itu. Hanya saja Nara malu.

Jantungnya sudah berdegup kencang. Darahnya berdesir hebat. Telapak tangannya mendingin. Pipinya bersemu merah. Perasaan salah tingkah menguasai dirinya. Pun raganya yang melemas seperti terbang melayang ketika mendengar kata-kata manis yang dilontarkan oleh kekasihnya. Apakah itu tidak terdengar berlebihan?

"Kamu beda. Kamu spesial. Kamu cuma satu-satunya orang yang bisa buat aku tersenyum bahagia. Aku sayang sama kamu, Na." Sambung Sakti ketika menyadari bahwa reaksi Nara hanyalah diam dan menatapnya sekilas.

Nara terkesiap. "Iya lah, Sakti. Aku emang beda dari perempuan yang lain. Asal kamu tahu ya, spesies orang kayak aku tuh cuma ada satu di dunia. Yaitu aku sendiri!"

Sakti terkekeh. Ingin rasanya dia mencubit pipi gembul Nara yang terkembung karena kesal itu.

Nara mengerucutkan bibirnya. "Dan ini bukan waktunya buat ngegombal. Cepetan, bantuin aku buat bukain kuncinya!"

Sakti menggeser posisi Nara. Tangannya terulur meraih kunci yang sudah di gembok kuat itu.

"Woy! Bukain kuncinya! Pacar gue pengen pulang katanya!" Seru Sakti sedikit berteriak.

Vita dan April yang kelihatan masih berada di luar gerbang besi itu pun akhirnya membuka gembok.

Sesudah kunci gembok itu terbuka, Sakti membukakan gerbang untuk Nara. Layaknya seperti seorang pria yang membukakan pintu mobil untuk gadis pujaan hatinya.

Tak usah tanya keadaan jantung Nara saat ini seperti apa. Pak pik puk geber geber ngek.

Nara keluar terlebih dahulu dengan bernafas lega.

"Lo berdua ngapain aja tadi?" Tanya April tersenyum jahil.

Vita terkikik. "Pasti ngelakuin yang aneh-aneh, kan?"

"Ngawur ya kalian! Kita gak ngelakuin apa-apa kok. Yang ada gue kesal sama kalian. Seenaknya banget ngunciin kita berdua!" Gerutu Nara.

Setelah kembali mengunci gerbang, Sakti ikut berjalan di samping Nara.

"Gak papa. Bagus juga usaha kalian. Thanks ya, gue jadi bisa berduaan sama Nara." Komentar Sakti dengan mengacungi jempol.

April menoyor kepala Sakti pelan. "Huh itu sih maunya lo, Uloh!"

Sakti hanya terkekeh menanggapinya.

Mereka berjalan menuju halte dekat sekolah. Untuk pertama kalinya, Sakti akan mengantar Nara hingga kekasihnya itu mendapatkan angkutan umum.

April sudah dijemput oleh sopir pribadinya setelah mereka sampai di dekat halte. Begitu pun Vita yang sudah pulang di antar Fikto, kekasihnya. Tersisa Sakti dan Nara. Dua insan yang sedang di mabuk cinta itu tampak bahagia di sore hari sepulang sekolah ini. Mereka berjalan lebih jauh dari halte karena tak kunjung menemukan angkutan umum yang lewat. Jikalau ada, angkutan umum itu sudah terisi penuh oleh penumpang yang saling terduduk berdesakan.

"Oh iya, Sak. Gara-gara Ineu, hubungan kita jadi tersebar luas di sekolah. Rencana kita buat backstreet ternyata gagal." Tutur Nara memulai pembicaraan.

Sakti menoleh, tangannya dia tenggelamkan ke dalam saku celana seragamnya. "Gak papa lah, Na. Justru aku senang. Dengan adanya berita itu, mereka pasti banyak ngedo'ain yang terbaik buat hubungan kita ke depannya."

Perlahan Nara mengangguk setuju. Benar juga ucapan kekasihnya itu.

Nara bergumam. "Maaf juga ya, kalau aku banyak ngerepotin kamu," ucap Nara lembut.

Sakti menatap Nara tak kalah lembut. "Kamu gak usah bilang kayak gitu. Kamu gak usah ngerasa kalau kamu ngerepotin aku. Ini udah jadi kewajiban aku, sayang."

Nara tersenyum menahan malu. "Terus nanti kamu pulangnya gimana? Jalan kaki? Rumah kamu kan jauh, sayang." Tanyanya sedikit panik.

"Aku sih gampang." Jawab Sakti seadanya.

Nara mengangguk samar. Matanya berbinar ketika melihat angkutan umum berwarna hijau itu berhenti tepat di hadapannya.

"Aku duluan, ya." Pamit Nara dilengkapi senyuman manisnya.

Sakti ikut tersenyum. "Hati-hati."

Tangannya melambai membalas lambaian Nara yang dia lihat melalui kaca jendela angkutan umum tersebut. Sampai transportasi dengan berwarna hijau itu terlihat mengecil di indra penglihatannya, Sakti kembali melangkahkan kakinya untuk pulang.

Mengantarkan Nara membuat jarak dari posisinya saat ini semakin jauh ke rumah tempat tinggalnya. Tak usah tanya. Jalur rumah Sakti tentu berbeda dengan jalur rumah Nara. Jalur mereka berlawanan arah. Tak apa, asal hati mereka tetap searah untuk membangun cinta yang sempurna. Eaksss.

Satu hal lagi, Sakti memang jarang sekali membawa alat transportasi berupa motor ke sekolah. Terkadang, motornya di pakai oleh ayahnya untuk berangkat bekerja. Jadi tak bebas untuk memakainya kapan saja. Terpaksa Sakti harus berjalan kaki untuk bisa sampai. Dia tidak merasa tertekan. Justru dia sangat santai walau pun jaraknya cukup jauh.

Mengingat kebersamaannya bersama Nara tadi, bibirnya melengkungkan segurat senyuman berbentuk bulan sabit. Di sepanjang langkah pun, rasanya Sakti ingin terus tersenyum bahagia. Namun sadar tempat, dia tak ingin jika orang-orang sekitar melihat dan menganggapnya gila.

Benar, dia gila. Gila karena seorang gadis mungil bernama Nara Almeera.

***

Before Us ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang