20. Simple

38 4 2
                                    

Setelah seminggu penuh berkutat dengan tugas sekolah, tampaknya Nara dan Sakti berencana untuk bermain ke Car Free Day yang berada di alun-alun kota. Mereka sudah bersiap pagi ini. Tentunya hanya untuk merefresh otak mereka dan bersenang-senang seperti sepasang kekasih pada umumnya. Nara dengan pakaian lengan pendek berwarna merah, rambut sebahu yang terurai ditambah hiasan topi yang bertengger manis di kepalanya. Sedangkan Sakti, dia hanya memakai pakaian sederhana, kaus putih polos di balut dengan jaket berpolet biru donker yang sudah sering dia pakai ke mana-mana.

Sakti memberhentikan motor maticnya di parkiran yang sudah lumayan penuh itu. Hari minggu memang hari yang paling ramai pengunjung di alun-alun kota. Banyak orang yang bersuka ria ataupun hanya untuk sekedar meregangkan otak mereka. Udara disini sejuk, karena banyak pepohonan yang rindang. Sepanjang jalan pun banyak para pedagang yang sedang berusaha mencari uang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi.

Langkah mereka beriringan. Sakti menggenggam tangan mungil Nara dengan erat, takut-takut jika Nara hilang di kerumunan. Diam-diam Nara tersenyum mengingat perhatian Sakti sedetail itu. Sesekali matanya memperhatikan baju-baju atau aksesoris yang menyita perhatiannya dari sepanjang jalan dia menjejakkan kaki. Entahlah, dia tak tahu Sakti akan membawa langkahnya ke arah mana. Yang jelas, dia hanya ingin tetap berjalan di samping Sakti dengan tangan yang saling bertautan seperti ini.

Rupanya, Sakti membawa Nara masuk ke dalam area alun-alun kota yang cukup luas ini. Mereka terduduk di sebuah kursi besi di taman yang berada disana. Nara terduduk di samping Sakti, dan menyenderkan kepalanya ke pundak Sakti dengan nyaman.

"Capek gak?" Tanya Sakti.

Nara mendongak, lantas menggeleng.

"Benaran?" Sakti kembali bertanya meyakinkan.

"Iya. Kalau sama kamu, mau jalan sejauh apa pun juga aku gak bakalan cape kok." Jawab Nara sedikit terkekeh.

Sakti mengelus rambut Nara dengan lembut. "Kamu malu gak sih, pacaran sama orang yang gak punya kayak aku?"

"Maksudnya?" Nara mengernyit hingga membuat beberapa lapisan di keningnya.

Sakti terdiam. Memandang wajah Nara hingga menyelusup ke dalam matanya dengan tatapan yang begitu dalam.

Nara meraih tangan Sakti, menggenggamnya. "Hey, dengerin aku ya. Aku tuh gak pernah malu buat pacaran sama kamu, main sama kamu, jalan sama kamu kayak gini. Kamu kenapa sih tiba-tiba ngomong kayak gitu?"

"Aku takut kalau ternyata kamu malu punya pacar kayak aku. Duit gak punya, motornya matic lagi." Sakti tersenyum miring.

"Kamu gak usah khawatir, apalagi mikir kalau aku malu punya kamu. Mau motor kamu matic, supra, ninja, atau vespa pun aku gak peduli. Gak harus juga kan kalau kamu bawa aku keluar cuma mau bikin aku bangga punya do'i yang mewah dan segalanya?"

"Tapi seharusnya aku gak pantas dapatin kamu, Na. Kamu terlalu istimewa buat aku yang miskin--"

Telunjuk Nara tersimpan di bibir Sakti hingga membuat Sakti terbungkam hebat.

"Aku gak suka ya kalau kamu ngomong kayak gitu!" Nara berdecak kesal dan mengambil nafas sebelum kembali melanjutkan perkataannya.

"Kita pacaran yang sederhana-sederhana aja, Sak. Ada duit jajan, gak ada duit ya gak usah jajan. Dan kamu gak usah malu kalau misal gak punya duit. Gini deh, kita gantian. Kalau aku punya duit pakai duit aku, kalau kamu punya duit ya pakai duit kamu. Kalau sama-sama gak ada ya kita harus susah bareng-bareng. Asal cukup, gak perlu berlebihan dan gak perlu mewah. Aku ngerti keadaan kamu, aku terima keadaan kamu. Gak usah sungkan, aku mau kok di ajak susah bareng biar pas kita lagi senang-senangnya kita bahagia dan gak lupa juga pas kita lagi susah-susahnya. Yang penting kamu bisa ngehargain aku kayak aku ngehargain kamu. Kita mulai dari nol sampai sukses, dari bawah sampai atas bareng-bareng. Asal kamu harus janji juga buat gak bakalan berpaling pas kamu udah sampai puncak bareng aku nanti. So, aku gak mandang kamu punya segalanya, mau kata kamu gak punya duit kek, cuma punya motor matic kek, asal kamu setia, aku pasti bahagia."

Sakti tertegun mendengar penuturan setiap kata dari kekasihnya itu. Ingin rasanya dia meneteskan air mata haru. Suara Nara yang lembut dan terdengar tulus, menyentuh hatinya bahkan sampai dasar hati yang paling dalam. Dia bungkam, tak bisa mengeluarkan kata barang sepatah pun.

Tangan Nara terangkat mengelus pipi tirus Sakti dengan tersenyum manis menenangkan. "Udah ya, kamu gak usah lagi mikir yang aneh-aneh. Mendingan sekarang kamu temanin aku belanja yuk? Tadi aku lihat ada banyak baju bagus yang menarik perhatian aku."

Sakti mengangguk samar. Dengan gemas, Nara menarik lengan Sakti dan membawanya ke arah pedagang baju yang tadi sempat dia minati.

Nara mulai memilih baju hingga terlihat kebingungan. Dia mengambil dua buah baju yang masih tergantung dan menimbang-nimbang.

"Bagusan merah apa biru ya?" Tanya Nara kepada Sakti yang hanya menyimak Nara berbelanja.

Sakti mengerjap. "Hah? M-merah." Jawabnya gugup.

Mata Nara berbinar ketika melihat salah satu baju lagi yang menarik perhatiannya. "Wahhh! Tapi ini yang ungu lucu."

"Ya udah, ungu aja." Tanggap Sakti acuh.

Seketika Nara berdecak. "Tapi kalau ungu warna jomblo. Nara kan gak jomblo, Nara udah punya Sakti."

Sakti terbelakak dengan mulut yang sedikit terbuka. "Yaudah, gak usah beli. Ribet amat deh."

"Tapi aku mau." Rengek Nara.

"Yaudah, beli!" Ketus Sakti yang terlampau kesal.

"Kok kamu malah marah-marah sih? Kalau gak ikhlas nemenin aku belanja ya bilang dong gak usah marah-marah!"

Sakti tercengang, lantas menepuk mulutnya pelan. "Ya-- ya maksud aku bukan gitu. Kamu kalau mau yang ungu, ambil aja. Tapi kalau saran aku sih kamu pilih yang merah. Eh-- tapi kayaknya kamu udah keseringan deh pakai baju merah. Gimana kalau kamu pilih warna biru aja? Biar kayak langit aja gitu, biru-biru membentang luas di hatiku eakkkss. Tapi terserah kamu juga sih, kamu kalau pakai baju warna apa aja tetap cocok kok." Jelas Sakti panjang lebar. Nara yang mendengarnya hanya mendelik sebal.

Penuturan Sakti yang teramat panjang pun cukup untuk Nara menentukan baju mana yang akan dia beli. Sekarang pun, dia sudah menenteng keresek belanjaannya dengan kembali tersenyum riang. Entah kenapa, Sakti merasa gemas kepada kekasih hatinya itu. Tadi saja Nara terlihat menyebalkan, namun setelah mendapatkan belanjaan yang dia inginkan, bibirnya sudah kembali tersenyum lebar. Mungkin memang benar, salah satu mood perempuan adalah berbelanja.

Tak kuasa menahan kegemasannya, tangan Sakti terulur mencubit pipi gembul Nara. Sontak Nara melihat ke arahnya dengan alis yang mengernyit.

"Gemeeezzzzz."

"Apaan sih?"

"Aku gemas sama kamu. Giliran tadi aja pas milih baju cemberut gitu, sekarang udah sumringah lagi."

"Lagian aku tuh heran sama cowok. Kenapa sih cowok kalau gemas sama cewek suka nyubit pipi lah, nyubit hidung lah, ngelus kepala lah, ngacak rambut lah! Ada gak sih cowok yang gemas sama cewek ngasih duit lima juta gitu? Kan lumayan bisa buat shopping!"

Sakti mengacak rambut Nara. "Itu sih maunya kamu!"

Nara hanya terkikik pelan dengan mata yang menyusuri tempat sekitar.

"Aaaaaa pengen itu deh!" Girang Nara ketika melihat stand penjual pisang cokelat di pinggir trotoar.

"Kamu mau?" Tanya Sakti seraya mengacak gemas rambut tipisnya.

"Iyaa, itu salah satu makanan kesukaan aku tahu!" Nara segera menarik lengan Sakti. Membawanya ke arah stand penjual pisang cokelat lumer kesukaannya itu.

Setelah mendapat dua buah pisang cokelat, Sakti mengeluarkan selembar sepuluh ribuan untuk membayar. Baginya, uang tidak sebanding dengan kebahagiaan yang telah Nara berikan untuknya.

"Aaaahhh makasih ya sayang," ucap Nara dengan segera menjilati cokelat lumer hingga meleset ke pipinya.

Sakti tersenyum melihat kekasihnya bahagia seperti itu. Lagi-lagi, dengan sengaja dia mengacak rambut Nara gemas. "Yaudah, mendingan sekarang kita cari tempat makan, yuk. Cacing udah pada demo."

Nara berdecak. "Bentar dong, abisin dulu pisang cokelatnya."

"Iya, abis ini kita makan ya. Kamu juga jangan makan es mulu. Itu gak baik sayang."

"Biarin."

"Di bilangin malah ngeyel."

Nara tak mengindahkan ucapan Sakti. Dia asyik menikmati pisang cokelat yang sekejap lagi akan habis. Lalu menjilati tangannya yang terdapat lelehan cokelat dan mengusap sekitar pipinya.

Sakti menjadi gemas sendiri melihat kelakuan kekasih kesayangannya itu. "Jadi sekarang kita mau makan apa?"

"Aku lagi pengen makan bakso beranak, yang pedas kayaknya segar deh sayang," ucap Nara dengan manja.

"Mie ayam aja, gimana?" Tanya Sakti dengan melingkarkan tangan kekarnya di leher Nara.

"Gak sukaaa!"

"Terus sukanya apa?"

"Sukanya kamu."

Keduanya kembali tertawa. Terbukti, kebahagiaan itu ternyata memang sederhana.

***

Before Us ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang