Pak Ridwan, yang merupakan guru Seni Budaya sekaligus pembina ekstra kulikuler musik dan vocal itu memasuki ruangan kelas 11 IPS 1 yang sebelum kedatangannya tengah bergemuruh ramai layaknya pasar. Jali yang saat itu sedang bernyanyi di depan kelas, sontak melempar sapu yang sebelumnya dia jadikan sebagai microphone untuknya bernyanyi. Sedangkan yang lainnya, mereka memasang wajah datar tak berdosa. Padahal jelas sekali, keadaan kelas terlihat sangat kacau dengan posisi meja yang acak-acakan dan terdapat sampah plastik dimana-mana.
Pak Ridwan berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan kelakuan murid di kelas sosial ini. "Ini kelas atau kandang kambing? Sebelum memulai pelajaran, pokoknya Bapak ingin melihat kelas ini bersih terlebih dahulu!" Perintah pak Ridwan dengan tegas.
Sakti yang merasa kebagian jadwal piket pada hari Rabu ini bergegas untuk bangkit dan mengambil sapu bekas Jali yang tergeletak begitu saja di depan kelas. Dia bersiap untuk menyapu kelas dengan temannya yang lain, yang belum melaksanakan piket tentunya.
Hingga saat di dekat meja Nara, entah kenapa gerakan menyapu Sakti sedikit kaku. Dia menyapu bawah meja Nara yang saat itu duduk bersama Vita.
"Nah gitu dong, rajin." Nara memuji dengan disertai kekehannya.
Sakti hanya tersenyum simpul sembari masih menggerakkan tangannya untuk menyapu. Nara mengangkat kakinya ketika Sakti ingin menyapu bagian bawah kursinya.
"Yang bersih dong nyapunya. Masa ini ada yang masih kotor sih? Itu juga tuh masih kotor! Itu tuh! Ini! Itu!" Perintah Nara dengan nada bercanda sembari menunjuk lantai yang kelihatan kotor dengan telunjuk tangannya bagai majikan.
Sakti berdecak. "Iya siap, Nyonya!" Tanggapnya.
Nara terkekeh geli melihat ekspresi kesal Sakti. Sedangkan Vita yang berada di sebelahnya hanya memandang mereka berdua dengan tatapan mengintimidasi. Dia menerka-nerka, sepertinya keduanya memiliki perasaan spesial di dasar hatinya walaupun mereka belum sama-sama menyadari.
Setelah kelas terlihat bersih, pak Ridwan memulai pembelajarannya di kelas 11 IPS 1 yang sudah mulai tertib ini. Hari ini, beliau menyuruh semua murid untuk mencatat sebuah lagu barat dengan judul Hold On yang sebelumnya sudah dia catat di papan tulis.
Nara memeriksa tas yang dia simpan di belakang kursinya, lalu beralih ke kolong meja berharap bolpoinnya dapat dia temukan. Kebiasaan. Dia memang terbilang cukup sering kehilangan bolpoinnya. Padahal, bolpoin dengan tinta hitam itu baru saja dia beli saat tadi pagi di koperasi sekolah. Tapi selalu begitu, bolpoinnya tak lama akan menghilang tanpa jejak. Entah karena kelakuan teman-temannya yang jahil hingga dengan sengaja menyembunyikan, atau karena dia sendiri yang mudah lupa.
"Lo lihat pulpen gue gak, Vit?" Tanya Nara.
"Enggak." Jawab Vita singkat sembari mencatat. Matanya fokus melihat ke papan tulis dengan serius.
Nara berdecak. "Ilang mulu deh perasaan. Curiga kelas ini banyak tuyulnya!" Gerutu Nara.
Vita masih fokus mencatat. "Lo taro dimana tadi?"
"Disini kok. Ahh, lain kali kayaknya gue harus ngejaga pulpen gue baik-baik. Kalau perlu, gue tulisin Allah Maha Melihat, biar dia langsung ke ingat dosa karena udah nyuri pulpen gue!"
"Halah pulpen harga seribu aja lo cariin. Ikhlasin aja kek!"
Seketika Nara melotot. "Enak aja ya lo. Walaupun harga seribu, tapi pulpen gue itu berharga banget buat gue, Vit. Nih lo harus inget ya kata guru ngaji gue pas waktu SD, kalau misalnya ada orang yang nyuri pulpen, berarti dia sudah resmi di cap sebagai pencuri. Di tambah, tulisan yang dia tulis gak bakalan barokah. Nah kalau tulisannya gak barokah, bisa dikatakan dia gak bakalan dapat ilmu karena ilmunya gak bermanfaat. Terus kalau gak dapat ilmu, dia gak bakalan masuk surga. Jadi intinya, yang nyuri pulpen pasti gak bakalan masuk surga!" Jelas Nara panjang lebar.
Vita yang mendengarnya hanya bisa menguap lebar. Sedangkan Pak Ridwan, beliau menatap Nara seakan memerintahkannya untuk segera mencatat.
Nara tersenyum kikuk.
"Dear, pulpen gue. Kemana sih lo? Kalau bosan bilang, jangan ngilang!"
Dia memutar tubuhnya ke belakang. Matanya berbinar. Tangannya terulur meraih sebuah bolpoin yang dia temukan tengah tergeletak tak berdosa di atas meja, entah siapa pemiliknya. Dia mulai mencatat tulisan yang sudah tertera di papan tulis. Tetapi saat dia memulai dengan menulis satu kata, tintanya ternyata sudah habis.
"Hahaha." Vita yang melihatnya spontan terbahak puas. Nara menautkan kedua alisnya, dimana letak kelucuannya?
Dengan kesal, Nara menyimpan kembali ke meja belakang yang merupakan tempat asal bolpoin yang dia temukan itu. Tak hanya Vita, ternyata ada Sakti dan Rezi yang juga ikut mentertawakannya. Mereka yang tadinya duduk di meja barisan paling kanan berpindah menjadi duduk di belakang meja Nara dan Vita.
"Kasihan deh, Na. Lo kena tipu!" Seru Rezi.
"Sialan!" Umpat Nara kesal.
"Ini pulpen gue, udah habis malah lo pakai!" Sakti ikut menimbrung.
Nara mendelik. "Gue kira masih ada isinya. Pantesan pas gue pakai, kok tulisan gue malah gak ada anjir!"
Vita, Rezi, dan Sakti hanya bisa terbahak melihat kekesalan yang dirasakan Nara.
Vita menyodorkan bolpoin yang tadi dipakai olehnya. "Nih, pakai aja punya gue. Gue udah selesai nulis kok."
Nara mengambilnya, lantas menulis tanpa minat. Moodnya untuk menulis sudah tercoreng buruk kali ini. Beruntung, pak Ridwan sedang keluar kelas karena ada panggilan mendadak dari kepala sekolah yang sebelumnya terdengar menelepon untuk memerintahkan beliau agar segera menghadapnya.
"What?! Tuh kan gue bilang juga apa! Kalian berdua tuh cocok tahu!"
"Eh amit-amit ya masa lo sama gue cocok, Zi? Gue kan udah punya Fikto seorang!"
"Yey biarin lah. Kalau takdir menyatukan kita, apa sih yang enggak? Hayooo!"
Setelah selesai mencatat, sontak tubuh Nara langsung berputar ke belakang saat mendengar Vita dan Rezi terlihat ribut, entah memperdebatkan apa. Disana juga terdapat Sakti dan April yang ikut bergabung, melingkari sebuah buku.
"Lagi pada ngapain sih?" Tanya Nara penasaran.
Vita menggeser buku ramalannya. "Ini nih, gue bawa buku ramalan. Pokoknya lo juga harus coba, Na!"
"Lo mau di ramal sama siapa?" Lanjut Vita bertanya, tangannya sudah sigap memegang bolpoin untuk mencatat.
Nara menyengir. "Kak Aldad."
Bola mata Vita berputar jengah.
"Kak Aldad mulu. Gak ada yang lain apa?!" Komentar April.
Sedangkan Rezi dan Sakti hanya saling pandang, lalu mengedikkan bahu.
Vita mulai mencatat nama Nara Almeera dan Aldad Husna Alfarendra. Dia semacam menuliskan kode berupa angka. Entahlah, diantara mereka hanya dia yang paling mengerti.
"Gak cocok! B sama S. Artinya, kak Aldad benci sama lo, sedangkan lo sayang sama dia." Jelas Vita.
"Yaahhhh." Nara menghembuskan nafas kecewa.
"Tuh kan! Udah ah next aja Vit, jangan bahas kak Aldad lagi. Gue gak mau ya kalau sahabat gue yang paling mungil ini galau-galauan lagi karena dia." Sahut April sewot.
Vita mengangguk setuju.
"Nah sekarang giliran Sakti nih, Vit." Usul Rezi setelah menyimak perbincangan ketiga perempuan yang sudah bersahabat selama dua tahun itu.
Lagi-lagi Vita mengangguk. "Oke, jadi lo mau sama siapa, Sak?"
Tepat saat Sakti ingin membuka mulutnya, Rezi segera memukul lengan Sakti pelan, memberi isyarat agar dia tidak perlu bersuara. Terpaksa Sakti harus menutup mulutnya kembali. Sedangkan Rezi, dengan misteriusnya dia mendekatkan bibirnya ke dekat telinga Vita, seperti tengah membisikkan sesuatu.
Vita tersenyum penuh arti. Lantas dia mulai menuliskan beberapa deretan angka. Dengan penasaran, Nara berusaha melihat angka-angka yang di tulis Vita.
"Loh? Kok kode angkanya mirip kayak nama gue?" Tanya Nara dalam hati.
Sekali lagi, Nara ingin melihat dengan jelas angka-angka yang dituliskan Vita. Namun dengan sigap Vita langsung menutup bukunya agar tidak terbaca oleh Nara.
Nara berdecak. "Gue juga mau lihat dong!" Protes Nara.
"Oooh tidak bisssaaaa!" Larang Vita tersenyum jahil.
Nara sangat penasaran, dengan siapa Sakti di ramal perasaannya oleh Vita? Tadi dia hanya sempat melihat kode angka yang jika diartikan bertuliskan nama Nara. Tapi Nara tak tahu, entah Nara Almeera atau bukan karena dia tidak melihat dengan jelas angka-angka selanjutnya yang dituliskan Vita hingga nama lengkapnya.
"AAAAAAAAAAAAA!" Teriak Vita dan April heboh.
Nara mengernyitkan keningnya. "Apaan sih? Hasilnya gimana nih gimana?" Tanyanya penasaran.
"Ehh cie kok kepo? Ini kan punya Sakti. Jangan-jangan ada gajah di balik batu nih yeee!" Goda April.
Pipi Nara bersemu merah. April benar, mengapa juga dia harus penasaran dengan hasil ramalannya Sakti?
"Yaudah, jadi gimana hasilnya?" Tanya Sakti yang sedari tadi hanya terdiam menyimak.
Vita mengambil nafas sejenak. "Hasilnya S sama C. Artinya, lo sayang sama dia, dan dia juga cinta sama lo. So, kalian berdua C-O-C-O-K, horeee!" Girangnya.
Sakti tersenyum lega. "Semoga aja emang benar," ucapnya pelan.
Nara membalikkan tubuhnya ke depan. Hatinya terasa panas saat Vita menyebutkan hasil ramalan Sakti. Memang, itu hanyalah sebuah ramalan. Dia tidak terlalu percaya, hanya sewajarnya saja. Karena dia pun tahu, itu belum tentu benar. Namun tetap saja, hatinya terasa memanas bagai api yang menyambar.
Hancur sudah harapan Nara. Mengapa selalu begini? Saat Nara mencintai seseorang, seseorang itu selalu saja tidak membalas cintanya. Tidak Aldad, tidak Sakti. Semua sama saja.
Nara pun jadi merasa ragu untuk mencintai siapa pun, termasuk Sakti. Mungkin saat ini Sakti sudah mempunyai perempuan spesial di hatinya. Perempuan yang Vita tuliskan di ramalannya. Perempuan bernama serupa dengannya, Nara.
"Eh kok gue jadi ngerasa cemburu gini sih? Apa benar gue mulai jatuh cinta sama Sakti? Ahh enggak! Gak boleh, Nara. Dia udah punya pacar! Nanti lo sakit hati lagi kayak pas cinta sama kak Aldad!" Gerutunya dalam hati.
Tunggu, apakah yang hatinya bilang bahwa dia mulai mencintai seorang Sakti Pranaja itu benar? Tidak tahu. Yang jelas, Nara selalu merasa bahagia saat berada di dekat Sakti. Jantungnya selalu berdetak kencang kala retina mereka bertemu. Tangannya terasa dingin jika berkontak fisik sedikit saja dengan Sakti.
Apa itu kurang cukup? Mungkin, iya. Nara mulai jatuh cinta kepada Sakti, walau pun terkadang dia masih merasakan sedikit ragu.
Dan untuk kedua kalinya, dia sangat yakin jika cintanya kali ini juga tidak akan mendapat balas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us ✓ [SUDAH TERBIT]
Teen FictionNara Almeera, seorang gadis mungil yang sempat mengira bahwa Tuhan tidak pernah benar-benar mengizinkannya untuk jatuh cinta, sebab dia selalu saja terjebak dalam sebuah rasa cinta tanpa balasan. Hingga seorang Sakti Pranaja pun hadir memasuki dunia...