Hari Senin. Hari keramat yang amat dibenci para siswa. Hari dimana mereka harus rela berpanas-panasan lebih lama di lapangan sekolah karena upacara bendera.
Seperti saat ini. Kurang lebih sudah satu setengah jam, kepala sekolah terus berkoar-koar memberikan nasehat kepada ratusan siswa yang mengikuti upacara. Hal itu membuat sebagian siswa tak terkecuali Alevia dan dua sahabatnya, terus bergerak-gerak seperti cacing kepanasan.
"Haiss, lama banget sih ceramahnya." Nala mengipas-ngipaskan topi ke wajahnya yang sudah bermandikan keringat. "Gak kasian apa sama muridnya. Udah pada bau keringat nih." Cerocos Nala.
"Hu'um. Mana urat kaki juga udah pada tegang. Bisa-bisa kesemutan nih." Eca menambahkan.
Sedangkan Alevia hanya tertawa kecil sambil sesekali mengelap dahinya yang berkeringat. Tak sengaja mengedarkan pandangannya, mata coklat Alevia sempat bersitatap dengan mata hitam milik Kenan. Namun, Alevia buru-buru mengalihkan pandangannya kedepan.
Entah mengapa setelah insiden dirumahnya, Alevia merasa canggung saat melihat pria itu. Sifat Kenan yang bertolak belakang saat berada didalam dan diluar sekolah yang membuat pria itu sedikit terlihat aneh dimata Alevia.
Menarik napas panjang, Alevia berdecak saat merasakan sebuah cairan mengalir dari hidungnya. Buru-buru ia merogoh saku dan mengambil tissue untuk mengelap hidungnya. Untunglah kepala sekolah segera mengakhiri ceramah dan membubarkan para siswa.
Alevia berjalan tergesa menuju toilet dan meninggalkan dua sahabatnya yang terus heboh meneriaki namanya. Setelah memastikan toilet sepi, ia segera masuk dan mencuci tangannya yang sudah berubah warna menjadi merah. Alevia membersihkan sisa-sisa darah yang ada dihidungnya. Merasa cukup, gadis itu pun keluar dari toilet berniat kembali ke kelas.
Namun baru beberapa langkah ia meninggalkan toilet, sebuah suara berhasil menghentikan langkahnya.
"Ckck. Makanya kalo pagi tuh sarapan. Biar gak mimisan pas upacara."
Berbalik, Alevia menatap lawan bicaranya dengan sebelah alis yang terangkat. "Kamu ngikutin aku?"
Pria dihadapannya hanya mengangguk lalu kemudian menyodorkan sebuah kantung plastik didepan Alevia.
"Nih."
"Apaan?" Tanya Alevia.
"Racun tikus. Ya roti sama air lah jaenab."
"Buat apa?" Otak Alevia yang terlampau polos dan lalod belum bisa menangkap maksud pria dihadapannya.
Pria itu berdecak sebal. "Ck, lo cantik, lo pintar dalam pelajaran, tapi kok otak lo lelet banget. Heran gue!"
Kening Alevia bertaut menandakan kebingungan. Belum sempat ia menyuarakan kebingungannya, pria itu sudah lebih dulu menarik pergelangan tangannya untuk berjalan menjauh dari toilet dan berhenti pada sebuah bangku didepan ruang laboratorium.
"Duduk." Titahnya.
Seperti terhipnotis, Alevia spontan segera menurut. Pria itu ikut duduk disampingnya, mengeluarkan botol air mineral yang sudah ia buka terlebih dahulu, lalu disodorkan kepada Alevia.
"Minum dulu. Lo pasti capek dari tadi kelamaan berdiri."
Alevia menerima botol dari tangan pria itu dan segera meneguknya. Selesai minum, Alevia kembali melemparkan tatapan menyelidik pada pria disampingnya.
"Kok kamu tau aku mimisan?"
Pria disampingnya menoleh. Ia menghentikan kegiatan membuka bungkus roti. "Gak sengaja sih. Tadi waktu dibarisan gue ngeliat lo lagi bersihin hidung pake tissue. Awalnya gue kira lo lagi ngupil, eh gak taunya lo mimisan." Ucap pria memberi penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEVIA
Teen FictionKeberadaan dua murid baru yang secara tidak langsung telah mengusik ketenangan hidup Alevia dan mengantarkannya pada sebuah masalah yang tidak pernah diinginkannya sama sekali.