"Jisung, Jaemin bilang kamu ditunggu di ruang kelas bawah." Yang diajak mengobrol hanya menoleh, lalu mengangguk. Tidak perlu bercakap, kaki jenjangnya langsung menuju tempat yang tadi disebutkan temannya—Haechan.
"Kenapa kak? Aku gak punya banyak waktu buat ngomongin hal yang gak penting." Jaemin mendongak mendengar suara adiknya. Tangan putihnya mengambil amplop tebal dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada Jisung. Jisung terlihat ragu untuk mengambilnya.
"Itu uang hasil kerja keras Mama. Mama gak mau kamu nolak lagi." Mata Jaemin mulai berkaca-kaca, suaranya lirih dan bergetar. Helaan nafas dari Jisung sudah menjadi jawaban. Lagi lagi Jisung menolaknya. "Kenapa lagi? Mama, bahkan aku, khawatir sama kamu..."
Jisung membalikkan badannya untuk menyembunyikan bahwa dirinya mulai luluh. Tapi bukanlah Jisung kalau tidak keras kepala. "Aku bisa sendiri kak. Biar uang itu buat kakak, kakak lebih butuh. Kakak belum beli obat kan? Aku anter kakak ke rumah sakit sebentar terus—"
Tangisan Jaemin pecah berbarengan dengan suara nafas yang tercekat. Jisung refleks menoleh dan panik melihat kakaknya kambuh. Tanpa pikir panjang, Jisung menggendong kakaknya ke dalam mobilnya dan langsung membawanya ke rumah sakit. Sepanjang jalan, Jisung tak berdoa kecuali untuk keselamatan kakaknya.
-----
"Berada di sekelilingku memang sebuah kesialan. Kutukan macam apa yang terbawa saat aku lahir?"
-----
Disclaimer : Mental issues yang terdapat di cerita ini bukan berdasarkan riset dan fakta. Penulis membuat sendiri bentuk dan proses mental issues tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Good Liar
ContoJisung sudah terbiasa hidup sebagai angin, tak teranggap padahal ada. Jisung itu hidup, namun seperti bolak-balik di depan pintu kematian. Dan ini cerita Jisung sebelum nafas terakhirnya hilang. by. jaeminister