BAB 1 : Klise.

297 17 2
                                    

"BINAR!!!"

Binar terbangun dengan kaget ketika namanya dipanggil keras. Ia mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kelas. Tidur siangnya yang damai kini terusik, dan begitu ia berusaha duduk tegak, Aurora, sahabatnya yang usil, menggertak meja tepat di depannya.

"Astaga, kenapa sih?" Ujarnya dengan nada kesal, ia tau itu adalah ulah temannya, Aurora.

"Ngidol yuk hehe." Jawab Aurora dengan tawa kecil, mengajak dengan santainya. Namun, respon yang ia terima jauh dari yang diharapkan. Sebuah jitakan mendarat di kepalanya.

Binar mendengus sinis. "Engga ah, kamu aja. Aku gamau." Dengan tegas Binar menolak ajakan temannya itu.

"Ihhh Binar!! Kamu tau sendiri kan suami aku tuh ganteng-ganteng, nanti kalau aku kejang-kejang gimana??" Aurora masih bersikukuh ingin mengajak Binar menemaninya.

"Yaudah kejang - kejang aja sana, aku ngga perduli." 

Lalu, Binar kembali merebahkan kepalanya di atas lipatan tangannya sendiri.

Ia mendengar Aurora mendengus keras, lalu terdengar langkah kaki Aurora menjauh darinya. Akhirnya, ia bisa tidur dengan tenang.

Ohh...

Tapi, tidak segampang itu.

Baru saja Binar menemukan kenyamanan dalam tidur siang singkatnya, tiba-tiba terdengar teriakan Aurora yang memecah keheningan ruangan. Suara melengking itu membuat gendang telinga Binar terasa seperti hendak pecah, seolah seluruh dunia memutuskan untuk berkonspirasi melawan ketenangannya. 

Bahkan, anak-anak lain di sekitar mereka menutup telinga mereka, berusaha melindungi diri dari kebisingan yang tiba-tiba muncul. Aurora, dengan segala energinya yang tak pernah habis, kembali mengganggu tidur siang Binar tanpa rasa bersalah.

"Binar, bangun dulu!" Seru Aurora sambil mengguncangkan tubuh sahabtnya dengan antusias. 

Binar, yang setengah terjaga dan setengah masih dalam dunia mimpinya, perlahan membuka mata. Ia menatap Aurora dengan ekspresi malas, bibirnya mengerucut tanda ketidaksukaannya diganggu. Binar membuka matanya dengan sangat terpaksa, "apa lagi sih, Aurora Shaqueena??" gumamnya, suaranya penuh dengan kelelahan dan rasa jengkel yang mulai mengendap di ujung kesabarannya. 

Dengan mata berbinar dan penuh semangat, Aurora seolah tak memperhatikan ketidaktertarikan Binar. "Ada guru baru, demi apapun ganteng banget!" serunya, seolah itu adalah hal paling penting yang harus diketahui Binar saat itu juga.

Binar menghela nafas panjang, matanya yang masih setengah terpejam sama sekali tidak berubah. Ia tidak menunjukan minat sedikitpun pada berita yang Aurora sampaikan. Tidak mendapatkan respon yang bagus dari Binar, ia kembali mengguncang badan sahabatnya itu. Memastikan sahabatnya mendengar apa yang ia katakan.

"Seriusan Binar, aku yakin kamu pasti naksir!" Ucap Aurora dengan yakinnya.

Binar yang sudah muak dengan perkataan sahabatnya itu langsung membetulkan posisinya, ia duduk dengan tegap setelah melakukan peregangan kecil. Lalu, ia memfokuskan tatapannya pada Aurora,  menatap Aurora dengan tatapan tajamnya.

"Aurora, aku udah bilang berulang kali sama kamu. Aku ngga akan naksir sama cowo lagi Ra, mungkin bisa, tapi engga sekarang. There's a lot things yang harus aku selesaikan di dalam sini." Binar menunjuk dadanya sendiri, perkataan Binar membuat Aurora tak sanggup mengeluarkan sepatah katapun. Benar juga, selama ini ia tidak pernah mendengarkan omongan Binar. 

"Ra..." suara Binar begitu lembut di telinga Aurora, hingga mulai menimbulkan perasaan bersalah di pundak Aurora.

"Hm??" Aurora menunduk, ia tidak berani menatap wajah sahabatnya itu.

AFTER RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang