BAB 4 : Sebuah Ajakan.

75 10 0
                                    

Baru saja Aurora hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang memiliki bau obat-obatan itu, langkahnya tertahan karena genggaman tangan Maha di tangannya. Ia menoleh, menatap Maha dengan tatapan bingung. 

"Biar saya saja, saya sudah bilang ke petugas UKS bakal nganterin Binar pulang. Kamu tolong bilangin ke anak - anak buat tetep belajar, ya?" Ujar Maha, dengan tatapan memelasnya itu. 

Aurora tersenyum tipis, tidak suka darimana... 

Berakhir ia mengangguk, mengalah pada lelaki jangkung di hadapannya itu. "Baik pak, tolong jaga Binar." 

Mendengar itu membuat Maha tersenyum, kemudian ia masuk ke dalam ruangan sesaat setelah Aurora pergi kembali berjalan ke kelasnya. Pikirannya penuh beberapa pertanyaan yang rasanya ingin ia tanyakan langsung pada Binar. Ia menutup pintu ruangan UKS dengan pelan, takut apabila Binar akan terbangun dari tidurnya.

Binar tersentak saat melihat Maha sedang duduk disebelah kasurnya dan sedang menatap dirinya dengan tatapan yang entah, Binar pun tidak paham. Kepalanya masih sedikit pusing, tubuhnya terasa lemas seakan-akan tubuhnya memiliki magnet yang terus menariknya ke inti bumi. Melihat Maha menatapnya seperti itu membuat dirinya sedikit takut, ia menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi setengah wajahnya.

"Masih pusing??" Tanya Maha dengan lembut, sirat matanya terlihat sangat khawatir.

"S ㅡ sedikit." Binar terlihat gugup, ia tidak berani membalas tatapan Maha.

Maha berdiri, kemudian mengulurkan tangannya. "Saya antar pulang ya, kamu istirahat saja di rumah." 

"Saya sudah baikan kok pak, saya mau balik ke kelas aja." Jawab Binar sedikit kaku, ia bangkit dari tempat tidurnya berusaha untuk kabur dari sana. Rencananya ia ingin langsung kembali ke kelasnya, namun apalah daya, tubuhnya tidak bisa berbohong. Tubuhnya lemas, ia hampir kembali terjatuh mencium lantai. 

Untungnya, Maha dengan sigap menahan tubuhnya. 

"Lihat, baikan darimana? Tolong Binar, dengarkan saya sebagai guru kamu. Kamu harus pulang." Tegas Maha dan Binar yang bahkan kakinya tidak mampu menumpu tubuhnya dengan baik itu hanya mengangguk.

Maha merasa bersalah saat melihat ekspresi Binar yang terlihat ketakutan. "Maafin saya, kamu harus pulang." Maha menarik nafas pelan, "saya ngga bisa lihat kamu sakit." 

Binar hanya menurut, ia mengikuti langkah sang guru dengan pertanyaan yang berkecamuk di hatinya, bolehkah ia memegang tangan guru itu?? Bolehkah ia pulang bersama seorang guru?? ia sudah lama tidak seperti ini dengan lelaki, anehnya ia merasa sangat hangat. Walaupun, berbagai ketakutan menyelimuti hatinya sejak tadi.

Maha merangkul Binar, ia berjalan perlahan agar Binar dapat mengikuti langkahnya. Dengan gelagat yang tidak bisa Binar jelaskan ia kembali menunduk. Maha menuntunnya perlahan keluar dari ruang UKS, Binarberdoa dalam hati semoga saja tidak ada yang melihatnya. Yah, walaupun itu tidak mungkin karena ini masih jam sekolah, setidaknya tidak ada yang menyadari kalau guru barunya itu sedang merangkul tubuhnya dengan sangat erat.

Sesampainya di parkiran belakang, Maha menghela nafas panjang saat melihat motornya ada di ujung sekali. Sudah pasti ia tidak bisa mengeluarkan motornya sendiri, ia menoleh pada Binar yang masih menunduk. Surai coklat yang menutupi wajah manis Binar membuat Maha gemas setengah mati, rasanya ia ingin menyentuh rambut Binar. Maha ingin tau, bagaimana tekstur rambut perempuan yang sedang di pelukannya saat ini.

"Binar, kita naik taksi aja ya??" Maha bertanya dengan pelan.

"Iya, boleh." Ujar Binar sambil mengangguk pelan.

"Yaudah, ayo." Maha kembali menuntun Binar dengan lembutnya.

────୨ৎ────

AFTER RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang