Maha menggigit bibir bawahnya, ia tidak sadar pipinya memerah begitu saja. Perkara dipanggil dengan panggilan 'kakak' oleh Binar membuat bibirnya ingin membentuk senyuman yang sempurna. Binar menunduk, ia juga mengatupkan bibirnya.
"Kalian kenapa belum berangkat??" Tanya Ala keheranan saat mereka masih berdiam di depan pintu.
"Oh, iya tante, tadi macet sebentar hehe." Maha kembali salah tingkah, gayanya yang sedikit cengengesan membuat Binar sendiri kembali berpikir apa laki-laki yang sekarang di depannya ini adalah gurunya. Masalahnya kemarin-kemarin Maha terlihat begitu berwibawa dan bijaksana di mata Binar.
"Macet gimana??" Pernyataan Maha kembali membuat Ala kebingungan.
"Otak saya macet tante liat Binar, terlalu cantik soalnya."
Sontak Binar langsung membulatkan matanya, ia ingin melayangkan sebuah pukulan kecil tapi ia tahan mengingat kembali Maha tetaplah gurunya. Tidak sopan rasanya apabila ia melayangkan pukulan pada seorang guru, walaupun mungkin pukulannya tidak akan berdampak apapun pada Maha.
"Mau mukul saya?? Ngga masalah kali, pukul aja." ujarnya saat melihat pergerakan tangan Sera yang tertahan.
Binar menggelengkan kepalanya, lalu Maha tersenyum kecil kembali menatap Ala.
"Tante saya izin bawa Binar keluar ya?? Nanti saya balikin dalam keadaan sehat walafiat kok tante, kalau sama saya aman." Maha mengacungkan jempol pada Ala, memberi sebuah jaminan yang membuat Ala tersenyum.
"Oke, hati-hati ya. Awas aja, dia enggak sekalem yang kamu pikir." Goda Ala, kemudian berlalu kembali ke dapur.
Wajah Binar sejak tadi sudah tidak enak menatap Aliya, ia membulatkan kedua matanya lalu menjatuhkan pandangannya pada Maha yang kebetulan sedang menatapnya juga.
"Apa??"
"Ayo jalan."
Maha menarik tangan Sera keluar dari rumahnya, lalu membawanya ke samping motor yang terparkir rapi sejak tadi.
"Saya cuman bawa motor, gapapa kan??" tanya Maha tak yakin, karena jujur saja ia takut Binar akan menolaknya. Tapi kalaupun Binar akan menolaknya ia akan memberi alasan kenapa ia lebih suka naik motor ketimbang naik mobil.
"Gapapa, kak." Binar hanya mengangguk kecil.
"Bisa naik kan, Binar??" Tanya Maha tak yakin, entah kenapa ia merasa bahwa tubuh Binar terlihat lebih kecil dibandingkan saat pertama kali ia membonceng Binar.
"Iya, bisa kok. Aku ngga sekecil itu kali." Binar berucap seakan tau isi pikiran Maha. Ia memegang pundak Maha kemudian naik ke atas motor Maha, ternyata cukup tinggi, batinnya.
"Siap??"
"Iya, siap."
"Binar sebelum jalan, kamu tau gak alasan saya kenapa lebih pilih bawa motor??" Tanya Maha sambil menatap Binar dari kaca spionnya.
"Enggak." Jawab Binar diiringi gelengan kepala yang begitu khas.
"Biar bisa gini." Tangan Maha meraih kedua tangan Binar lalu mengaitkannya satu sama lain di pinggangnya, jadi posisinya Binar sedang memeluk Maha.
"Peluk yang erat ya, biar gak jatuh."
Layaknya dejavu yang menampar Binar, ia pernah merasakan ini. Hari dimana ia di serang oleh cowok brengsek di belakang sekolahnya dan menjadi hari pertama Maha memiliki ketertarikan pada Binar.
Binar hanya bisa bungkam selama perjalanan, tidak sedetikpun ia melepaskan pelukannya. Ia berusaha menikmati selama perjalanan, tapi sepertinya tidak perlu usaha yang begitu keras karena Maha sukses membuat Binar nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER RAIN
Teen Fiction"Kamu indah, tapi penuh misteri." - Mahatma Sadewa Binar memiliki trauma yang berasal dari pengalaman masa lalu yang gelap, membuatnya enggan menjalin hubungan dekat dengan pria. Kehadirannya di kelas Maha tampak dingin dan menutup diri, tetapi Maha...