Aku selalu sabar menghadapi kata kata kasar dari para pembaca. Yah, aku seorang penulis di salah satu web online.
Tidak sedikit yang mendukung juga tidak sedikit yang mencela karya tulisku. Rasanya aku sudah cukup sabar menghadapi mereka yang kerap memaki dan menghina kemampuan menulis ku.
Apa yang salah? Apa ceritaku membosankan?apa aku tidak memahami cerita ku sendiri? Apa plotnya sedikit membingungkan?
Aku selalu bertanya kepada diriku sendiri, ingin membalas pun tak bisa, aku tak mengenal satu pun dari mareka.
Perlahan lapak ceritaku semakin sedikit di kunjungi para pembaca. Kolom komentar hanya terlihat satu dua orang saja yang masih memberi dukungan.
Bahkan ceritaku mulai tertimbun, bahkan sudah tak muncul lagi di pencarian. Rasanya usahaku sia-sia. Harapan ku kian pupus. Tak akan pantas menjadi penulis, pikirku.
***
Sudah seminggu ini aku hanya berdiam diri di rumah, tak berniat mencari pekerjaan. Toh, aku hanya ingin menjadi penulis yah walapun sekarang keinganan itu sudah sedikit pupus.
Tapi aku masih ingin terus menulis, menuangkan semua ide-ide ku. Daripada terus berdiam diri dirumah, lebih baik aku ke perpustakaan umum sekalian mencari dan membaca panduan dasar menjadi seorang penulis kan?
Sudah sejam lamanya aku duduk sambil membaca beberapa buku tentang dasar penulisan. Ah, sangat meletihkan.
"Lebih baik aku segera pulang, hari sudah larut. Sepertinya perpustakaan juga akan tutup."
"Ahhh, seharusnya aku datang lebih awal,"
Aku berguman, melirik arlojiku sebentar lalu bergegas ke halte menunggu bus terakhir tiba.
Saat di halte, aku tidak sengaja mendengar seseorang mengumpat tepat di samping ku.
"Sialan, kenapa dia tidak muncul lagi? Harusnya dia membuat cerita baru! Aku sudah tidak sabar melihat reaksinya jika ia kembali di hina setelah membuat cerita baru."
Aku mengernyit. Menatapnya dengan tatapan sedikit tak suka. Sedetik kemudian aku terkejut dan sedikit marah dengan ucapannya.
"Kemana perginya penulis jalanan bodoh ini? Si Merah jingga?"
Dia! Selama ini dia yang menghina setiap tulisanku. Aku menghampirinya, lalu menyapanya.
"Permisi tuan? Apa yang kau maksud itu penulis Merah jingga dengan karya death in the night?" pertanyaan ku membuatnya sedikit terkejut.
"Oh, kau tau dia? Bukankah dia penulis yang tidak berguna? Tidak satu pun karyanya yang sesuai selera ku."
Aku hanya tersenyum, dan berguman dalam hati.
"Apakah seorang penulis harus membuat cerita berdasarkan keinginan pembaca? Lalu apa gunanya ide-ide mereka?"
"Tuan tidak kah kau sedikit takut dengan judul ceritanya? Bagaimana jika hal itu terjadi pada mu?"
Nampak raut bingung tercetak jelas di wajahnya. Belum sempat ia bersuara, aku kembali berbicara dan melangkah menepis jarak.
"Tidakkah kau sedikit menghargai usaha para penulis? Tidakkah kau pikir betapa susahnya mendapatkan ide dan inspirasi? Tidakkah kau tau betapa sakitnya membaca komentar yang buruk tentang usahamu?"
Dia terpojok pada tiang halte, aku melepas peniti yang terkait pada kerah baju ku. Perlahan membuat peniti itu menjadi lurus, lalu menusuk mata pria tua menjengkel itu. Ia menjerit meminta ampun, namun ku abaikan.
"Kalau tidak suka, jangan dibaca."
Kembali aku menusuk matanya, lalu menusul bibir atas dan bawahnya.
"Biasakan memberi komentar yang mendukung bukan menjatuhkan, tiap orang punya mental yang berbeda,"
Sentuhan terakhir, aku menusuk urat nadi pada lehernya, dan
Srut
Darah segarnya mengalir, sangat banyak. Aku tersenyum senang melihatnya.
Selamat, ini adalah Death in the night for u.
***
Hey yo!
Wkwkwkw
Paham maksud dari chapter ini kan? 😉😂Jangan lupa vomentnya!
Vote dan comment!Gimana gimana? Nyambung gak?
Ada creepy²nya gak?
Komen dong! Biar saya semangat nulisnya.
Saya maksa nih!Wkwkwkwkkw. G
Canda kok
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Snack
Korku"Hey kenapa kau marah pada ku? Bukankah aku sudah membawakan makanan kesukaan mu?" aku hanya bisa terkikih nyaring melihat wajah pucatnya. "KAU GILA!!" "Apa? Apa yang salah? Aku membawakan makanan dengan bentuk yang bulat sesuai kesukaan mu, selain...