Prolog

60 8 0
                                    

Scarlett PoV

"So it will shine brighter~('$")*-@':" gadis itu terbatuk-batuk setelah menyenandungkan sebaris lirik bernada tinggi. Sial, voice crack terus. Kapan selesai?

Produser musik yang ada dibalik pembatas kaca terlihat membanting pelan headphone-nya ke meja. Scarlett meringis, lalu melirik ke arah managernya, Alfi yang menatapnya prihatin.

"Perlu berapa kali kamu harus ulang bagian ini?!" tanya produser itu galak melalui mic di depannya yang tersambung ke speaker ruang rekaman. Scarlett menghela nafas. Rekaman ini sudah berlangsung 1 setengah jam, dan ia baru merekam bagian chorus. Rekaman baru selesai 25%. Nada yang ada di baris itu sangat tinggi, dan Scarlett sendiri sedang tidak dalam keadaan prima.

"Mungkin saya butuh istirahat sebentar." ucap Scarlett yang tidak diindahkan produser itu, malah ia duduk dan menghela nafas panjang, terlihat kecewa. Tanpa menunggu jawaban, Scarlett melepas headphone-nya dan keluar dari bilik rekaman.

"Mau kemana?" tanya Alfi. Scarlett mengatupkan bibirnya lalu menggeleng. Selagi membuka pintu studio, matanya melekat pada produser yang tidak peduli Scarlett keluar ruangan. Gadis itu menutup pintunya perlahan dan berlari kecil menjauhi studio rekaman.

Dari belakang, terdengar pintu studio terbuka dan tertutup kembali. "Scarlett! Mau kemana?" ucap Alfi.

"Bye Alfi!" ucap Scarlett sambil tertawa kecil, lalu berlari ke lift di ujung ruangan.

Terdengar derap langkah kaki di belakang, yang tidak lain adalah derap kaki manajernya. Scarlett berjengit lalu melepas heels tingginya dan berlari lebih cepat ke arah lift.

Sampai di lift, ia menekan tombol G secara cepat sambil berdoa manajernya tidak sampai tepat waktu. Lift menutup ketika Alfi sudah berada 2 meter di depan pintu lift. Scarlett menghela nafas lega sambil menyandarkan punggung di sisi lift. Tenggorokannya sakit akibat bernyanyi tanpa henti selama 90 menit.

Ia cemas manajernya akan menyusulnya lewat tangga, namun menyadari bahwa lantai yang harus ia lewati adalah 5 lantai, ia pikir itu mustahil, kecuali kalau dirinya berjalan santai.

Begitu lift terbuka di lantai dasar, Scarlett berlari menuju parkiran dan masuk ke mobil kuningnya. Ia menyalakan mobilnya dan pergi dari gedung La Artista Ent.

Ponselnya berdering berkali-kali, namun Scarlett tidak peduli. Ia fokus menyetir mobilnya, membelah keramaian ibukota ke arah cafe favoritnya.

?¿?¿

Ares PoV

Dilain sisi, seorang laki-laki sedang bersantai sambil membaca majalah, ditemani kucing peliharaannya. Tangan kanannya mengganti halaman majalah sedangkan tangan kirinya mengelus bulu kucing persianya yang mendengkur damai di bagian sofa sebelah kirinya.

Namun, kedamaian itu berakhir ketika sebuah pintu yang dibuka kasar (mungkin engselnya hampir lepas) oleh seorang pria paruh baya berjas hitam. Kucing peliharaannya yang terkejut langsung lari dari sofa, dan Ares, laki-laki yang sedang bersantai tadi tidak terkejut sama sekali. Telinganya sudah otomatis bersiap mendengarkan ocehan yang menurutnya adalah omong kosong yang tidak penting.

"ARES!" seru pria itu murka. Ares menghela nafas, lalu berdiri dan menghadap ke ayahnya sendiri. "Kamu dari tadi santai-santai terus! Seperti pengangguran saja! Malulah kamu pada dirimu sendiri!"

"Seriously? Dari pagi aku udah kerja, dan aku baru aja istirahat selama setengah jam. Pengangguran ayah bilang?" Ares mendengus tidak percaya. "Yang benar saja!"

"Selama setengah jam itu, kakakmu bisa menghasilkan ratusan juta! Dan apa yang kamu lakukan selama itu? Membaca majalah tidak penting dan mengurusi kucingmu yang merepotkan!" bentak ayahnya, wajahnya memerah.

Ares kembali duduk, tidak mengacuhkan ayahnya yang berceramah dibelakangnya. Ia lebih memilih melihat-lihat majalah tadi. Isinya membosankan memang, tapi lebih baik daripada mendengarkan ocehan ayahnya yang lebih membosankan.

"Beraninya kamu mendiamkan ayah saat berbicara!" ayahnya merebut paksa majalah itu dan membantingnya ke lantai. Ares memejamkan matanya lalu menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Ia bangkit dan menghadapi ayahnya.

"Terus, ayah mau aku bagaimana? Kerja 24 jam?" Ares berusaha tidak memasukkan nada jengkelnya di ucapannya, tapi sekeras apapun ia mencoba, ucapannya terasa sangat dingin didengar.

"Sekarang kamu berani menantang ayah? Hah?! Diam kalau ayah sedang berbicara!"

"Haaaahh..." Ares menghela nafas panjang dengan malas, lalu mengambil dompet dan ponselnya yang tergeletak di meja lalu berjalan keluar rumah, tidak peduli dengan ayahnya yang masih berteriak-teriak memanggil namanya untuk kembali menghadapnya. Siapa pula yang mau diceramahi seperti itu? Ngomong salah, diem salah. Serba salah.

Ares masuk ke mobilnya dan memegang kemudi dengan erat, seolah-olah itu bisa menyalurkan amarahnya dan membuat perasaannya semakin baik. Ia pun menyalakan mesin mobil dan membawa mobil itu ke arah salah satu tempat yang bisa membuatnya tenang.

Di perjalanan, ia membawa mobilnya penuh emosi, dengan kecepatan tinggi ia menyalip banyak kendaraan, hingga tidak hanya sekali ia dihadiahi suara klakson pengendara lain. Hingga di persimpangan jalan, tiba-tiba lampu lalu lintas berubah menjadi merah, membuatnya mengerem mendadak, dan membuat pengendara dibelakangnya menyenggol plat mobil dibelakangnya.

Ares tidak mau menambah masalah hidupnya, namun pengendara motor yang menabrak mobilnya turun dari motornya dan mengetuk-ngetuk kaca mobilnya.

Ares menurunkan kaca mobilnya. "Heh, kalau menyetir jangan seenaknya bisa? Dikira jalanan ini punyamu?"

Ares menatap orang itu tajam, membuat orang itu terlihat sedikit ciut. "Kalau saya mau, saya bisa beli jalanan ini. Gimana?"

Orang itu terkejut. "Dasar orang kaya belagu. Lihat saja, kuburannya dikencingin sapi, baru tahu rasa!" gerutu orang itu yang tidak diacuhkan Ares. Ares menaikkan kaca mobilnya. Lampu lalu lintas berubah hijau, dan Ares menginjak pedal gas, meluncur kencang ke cafe yang biasa menjadi tempat pelariannya, Chella's Cafe

------------------------------------------------------
-Author P

Beautiful GoodbyeWhere stories live. Discover now