Dalam sebuah ruang gelap, di mana hanya terdapat satu buah lampu sebagai sumber pencahayaan. Lampu itu menggantung rendah di langit-langit, menyinari satu titik, yaitu satu-satunya tempat yang dapat terjangkau oleh cahayanya. Terdapat sebuah kursi di sana, di bawah cahaya lampu gantung tersebut; sebuah kursi yang mengikat sosok seorang gadis. Gadis itu tertunduk, dengan seluruh tubuh yang terikat kuat, menempelkannya kepada kursi yang telah diduduki selama ia berada di situ, mungkin satu atau dua hari. Bahu si gadis bergetar, ditambah dengan suara isakan pelan yang keluar dari mulutnya, terkadang menggumamkan kata maaf, demi menyembah pengampunan. Nihil, tak membuahkan apa pun. Bagaimana tidak? Ia jelas berada dalam sebuah ruang bawah tanah yang terisolasi saat ini, ruangan di mana setiap akses untuk sembarangan orang akan ditutup, kecuali untuk orang-orang yang berkepentingan.
Suara langkah kaki perlahan memasuki pendengaran si gadis—walau hanya ditangkap samar-samar, membuat gadis itu perlahan mengangkat kepala dan memperhatikan bagian ruang yang terpampang di hadapannya. Meski pandangannya belum mampu menangkap siluet apa pun akibat kegelapan pekat di sana.
"To-tolong aku... Lepaskan aku..." lirih gadis itu, memohon pertolongan kepada siapa pun yang kini berada bersamanya. Ia kembali terisak, menjatuhkan berbulir-bulir air mata, entah untuk ke berapa kali.
Perlahan, orang yang sedari tadi berdiri dalam sisi gelap ruangan melangkah mendekat menuju cahaya. Pentofelnya mengetuk lantai, seiring dengan langkah kaki yang semakin dekat.
"Selamatkan aku... Tolong—" Mata gadis itu membulat sempurna tatkala mengetahui sosok yang berada di hadapannya: seorang pria tua dengan perawakan besar, menatapnya dengan tatapan kejam. Serta, jangan lupakan seringai bengis di wajah itu.
"Tu-tuan..." lirih si gadis lagi. Air mata semakin deras mengaliri pipinya, namun tanpa isakan. Gadis itu terlalu takut untuk sekadar mengeluarkan suara lebih.
Pria itu tampak berlutut di hadapan si gadis, mengelus pelan pipi yang kini telah basah berkat air mata yang tiada henti. Seringainya semakin melebar. "Kau ingin bebas dari sini?" tanyanya dengan nada rendah, terkesan menakutkan. Namun, gadis itu berusaha mengesampingkannya, lalu mengangguk dengan cepat.
"Lepaskan aku. Kumohon, Tuan."
Si pria tua bangkit dari hadapan gadis itu, ia berjalan pelan menuju sisi ruangan, lalu mengambil sesuatu yang berada pada meja yang ada di sana: sebuah cambuk. Ia kembali menyeringai dengan lebar, lalu melangkah mendekati gadis yang masih berada di ikatan kursi dengan tubuh yang semakin bergetar.
"Jika kau tak pernah ingin berada di sini..." Pria itu menggantungkan kalimat, memandang si gadis dengan tatapan meremehkan, sebelum kemudian mengangkat cambuk menggunakan lengan kanan, bersiap melayangkan cambukan perih pada gadis tersebut. "Jangan mencari masalah denganku maupun istriku!"
Tepat setelahnya, terdengar suara cambukan dan pekikan sakit yang mengenaskan. Cambukan terus diayunkan berkali-kali, tanpa memedulikan nasib gadis yang terkena jilatan pedih itu. Si pria hanya tertawa sambil terus mengempaskan cambuknya dengan rasa puas yang mendalam.
. . .
Lelaki dengan perawakan tinggi dan rambut cokelat hazel itu terlihat tengah berdiri di depan sebuah kedai yang masih tutup. Sesekali ia akan berdecak, memperhatikan waktu yang ditunjukkan oleh arloji setiap satu menit sekali, lalu kembali berdecak dan mengentak-entakkan sebelah kaki, sementara kedua tangannya melipat di dada. Ia sudah menunggu selama satu jam lebih di sana, bahkan koper yang ia bawa telah dijadikan sebagai tempat duduk tatkala tungkai ramping itu terasa benar-benar linu.
"Sudah jam segini, kenapa belum buka juga?" Ia merungut kesal, tak jarang mengerucutkan bibir dengan lucu. "Apa kuhubungi saja?" gumamnya, lalu kemudian menggeleng cepat. "Tidak! Nanti kejutanku gagal."

KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Vampire (The Curse Creature) [Bahasa]
FanfictionTentang kisah yang pernah hilang.... []