Page 13 | Pembantaian

112 11 0
                                    

"Sudah beres semua?" Lu-Han memperhatikan Ji-Hoon yang baru saja selesai merapikan seluruh pakaian ke dalam koper berwarna biru tersebut, menatap wajah tak bersemangatnya yang terpampang sejak dua hari kemarin. Sejak kejadian Jin-Young meninggalkannya, serta kedai yang hancur, ia telah seperti itu. Seakan seluruh kebahagian telah terserap secara penuh oleh kepergian hal-hal yang amat penting dan berarti, menyisakan kesenduan. Lu-Han mendesah pelan sebelum akhirnya kembali mengomel.

"Aku sudah selesai, Ge. Berhentilah mengomel," ujar Ji-Hoon malas, yang mana langsung membungkam lelaki manis itu, walau dengan sedikit gerutuan dalam hati.

Ji-Hoon kembali bergerak untuk memasukkan barang-barang yang masih tersisa ke dalam boks cokelat—yang memang telah disediakan untuk kepindahannya, hingga keseluruhan barang pun berpindah ke sana. Ia kemudian menatap ruang pastel yang kini telah kosong, hanya terdapat sebuah meja, ranjang, dan lemari, serta beberapa jejak di tembok yang menandakan pernah adanya sebuah benda yang bersanding di situ. Ji-Hoon menarik napas, menghirup aroma cat tembok dan kayu yang perlahan menguar, serasa menyesakkan. Ruang itu telah kosong, dan anehnya, rasa kosong itu menjalar hingga ke relung hatinya, membuat ia merasa sedikit sesak dan tak nyaman. Ji-Hoon menyentuh dada bagian kiri, menekannya, berusaha meredakan rasa sesak yang melanda. Namun alih-alih berkurang, rasa itu malah semakin kentara.

"Akh..." Ia meringis pelan, merasa bahwa dadanya benar-benar sesak.

"Kau kenapa?" tanya Lu-Han yang langsung menghampiri tatkala menyadari gelagat adiknya tersebut. Sedikit terkejut, Ji-Hoon menghentikan kegiatannya, lalu menatap ke arah Lu-Han dengan senyuman, walau masih tersirat jelas raut tak nyaman di wajahnya.

"Aku tak apa."

Ji-Hoon melangkah cepat keluar dari ruang kamar, kemudian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Ia berjalan menuju dapur, berniat untuk mendapatkan segelas air.

Ji-Hoon berusaha berpikir rasional, bahwa rasa aneh yang dirasakan hanyalah rasa sesak akibat aroma cat dan kayu, bukanlah dari sesuatu yang lain—yang bahkan Ji-Hoon sendiri tak mengerti. Tetapi, pikiran yang tak dimengerti dan pahami itu malah yang paling mendominasi, membuat ia merasa aneh sendiri.

. . .

Jong-Hyun berada di ruangannya, tengah mengenakan kemeja hitam dengan gerak merapikan sedikit bagian kerah, sebelum akhirnya membalikkan badan, hendak melangkah keluar setelah semua dirasa siap. Baru beberapa langkah berjalan, tungkai itu sontak terhenti tatkala kedua matanya menangkap sosok lain di ambang pintu: Joo Jin-Woo.

Jong-Hyun meneguk saliva, lalu berusaha bersikap senormal mungkin, sebelum akhirnya kembali melangkahkan kaki dan berdiri tak begitu jauh di hadapan Jin-Woo.

"Ada apa, Tuan?" tanyanya.

"Mau pergi lagi? Berkumpul bersama para Mier itu?" Terdengar jelas bahwa nada bicara Jin-Woo selayak tak nyaman, membuat Jong-Hyun menundukkan sedikit kepala. "Jawab aku, Jong-Hyun! Setelah Jin-Young yang pergi ke sana, sekarang malah kau? Apa yang si Park Sung-Woo itu berikan pada kalian?" Nada tak suka semakin kentara, bahkan aura mencekam bertambah kuat tatkala Jin-Woo maju beberapa langkah.

"Maaf Tuan." Hanya gumaman itu yang mampu keluar dari belah bibir Jong-Hyun, terlalu takut untuk berkata lebih. Jin-Woo kembali memperhatikan pemuda itu, tanpa membalas perkataan barusan. Sorot matanya terus mengarah pada sosok itu, namun tak begitu jelas apa yang tersirat di sana. Tak berapa lama, Jong-Hyun mendengar helaan napas gusar, membuat ia mengangkat sedikit kepala dan menatap Jin-Woo memejamkan mata dengan kedua alis bertaut, menampakkan kegusaran.

"Sampaikan salamku pada Jin-Young."

Sontak ucapan itu membuat Jong-Hyun terkejut. Ia kembali menatap wajah Jin-Woo, yang awalnya menampilkan raut menyeramkan, kini terganti dengan raut wajah gusar penuh kekhawatiran. Jong-Hyun berkedip.

[✔] Vampire (The Curse Creature) [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang