Ingat bagaimana takdir dengan seenaknya mempermainkan kita? Menarik ulur tiap benang merah kehidupan, membuat ilusi seolah akan terputus. Tetapi nyatanya, takdir hanya memporak porandakan perasaan, pandangan, merefleksikan 'hal itu', pun seyogianya ingin memberikan 'hal ini'—sesuatu paling baik.
. . .
SATU TAHUN KEMUDIAN
Ji-Hoon menjalani kehidupan baru setelah pindah ke Beijing, bekerja di suatu perusahaan pemasaran terbesar bersama dengan Lu-Han. Melakukan kegiatan sehari-harinya tanpa hambatan, maupun ingatan-ingatan atau perasaan yang membuatnya merasa aneh. Ia mengenal begitu banyak orang baru, baik dari dalam atau luar perusahaan (yang mana sebagian besar adalah teman-teman Lu-Han).
Semua berjalan tanpa hambatan, membuat Lu-Han merasa lega. Walau sifat asli Ji-Hoon belum benar-benar kembali, tetapi ia bersyukur, sebab lelaki itu tak melulu larut dalam rasa 'sakit'-nya.
Siang itu, Ji-Hoon sibuk dengan berkas-berkas yang menggunung di mejanya. Jari-jemari pun menari cepat di atas permukaan keyboard, dengan pandangan yang sesekali teralih antara layar komputer dan berkas-berkas yang menumpuk, membuatnya benar-benar tampak sibuk.
"Ji-Hoon!" Seseorang tiba-tiba datang dengan langkah riang, berdiri di samping kursi Ji-Hoon dan memperhatikan pekerjaannya. Tak ada respons dari sang empu, lelaki manis itu masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya, membuat sosok yang tadi menghampiri pun berdecak sebal, sebelum kemudian kembali memanggil nama lelaki itu.
"Ji-Hoon,"
"Hm." Berhasil! Perhatian Ji-Hoon sedikit teralih padanya, membuat sosok itu tersenyum penuh arti.
"Sudah jam makan siang, ayo ke bawah!" ajaknya.
"Pekerjaanku belum selesai, Jun-Ge," balas Ji-Hoon dengan mata yang tak sekali pun beralih dari komputer maupun berkasnya. Jun-Hui—sosok yang dipanggil Jun-Ge—pun menghela napas kecewa. Bukan sekali-dua kali Ji-Hoon menolak pergi bersama seperti ini, bahkan hampir setiap hari. Lelaki manis itu selalu mengelak bahwa ia belum lapar atau akan mendapatkan makan siangnya nanti. Padahal jelas-jelas, Ji-Hoon terlalu asik dengan kertas-kertasnya, hingga membuat ia sering kali melewatkan makan siang.
Jun-Hui melenguh kesal. "Ayolah! Kertas dan komputer itu akan tetap pada tempatnya, bahkan saat kita selesai makan nanti."
"Sedikit lagi. Jika kau lapar, kau bisa pergi lebih dulu," balas Ji-Hoon lagi, sekenanya.
Jun-Hui mendecak, lantas mengetuk-ngetukkan ujung sepatu pada permukaan lantai secara tak sabaran. Tak ingin kehabisan akal, ia pun memikirkan kalimat yang sekiranya pas, sehingga membuat lelaki robot ini menghentikan kegiatan sejenak, dan memperhatikan tubuhnya sendiri.
Seketika seringai Jun-Hui mengembang tatkala ia mengerti harus mengucapkan apa. "Baiklah, aku akan makan siang sendiri. Jika aku bertemu dengan Lu-Han gege yang menanyakanmu, akan senang hati kukatakan bahwa kau masih sibuk dengan kegiatanmu dan melupakan jam makan siang untuk kesekian kali."
Mendengar itu, Ji-Hoon sontak berdiri dari duduknya. "Kau lapar kan, Ge? Ayo, cepat! Atau kita akan kesulitan mendapat bangku." Lelaki itu melangkahkan kaki lebih dulu, membuat Jun-Hui tersenyum penuh kemenangan, dan berlari kecil demi menyamakan langkah yang sempat tertinggal.
Mengancam Ji-Hoon dengan nama Lu-Han memanglah ampuh! Bagaimanapun juga, walau Lu-Han adalah kakaknya, ia tetap tak ingin berurusan dengan lelaki itu di tempat kerja. Lu-Han adalah manajer dari bagian distribusi, sementara Ji-Hoon hanyalah karyawan biasa yang mengurus segala rekap tentang pengeluaran dan pemasukan perusahaan; terlihat jelas betapa jauh perbedaan jabatan mereka. Apabila sang kakak mengetahui ia melewatkan makan siang lagi kali ini, lelaki itu tak segan-segan akan menghampiri dan mengomelinya. Secara otomatis akan membentuk urusan antar mereka, dan menjadi perbincangan hangat bagi rekan-rekan kantor. Jadi, Ji-Hoon memilih untuk benar-benar tak mencari masalah dengan kakaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Vampire (The Curse Creature) [Bahasa]
FanfictionTentang kisah yang pernah hilang.... []