3

300 56 2
                                    

Jeongyeon keluar dari bilik kamar mandi, mencuci tangan dengan sabun dan mencuci muka, kemudian melenggang melintasi koridor lantai satu yang memang sepi, karena kebanyakan siswa sudah pulang. Ini hari Sabtu, ngomong-ngomong. Jadi para siswa hanya bersekolah setengah hari.

"Bibi Jung?" Ia melangkah mendekati salah seorang tukang bersih-bersih sekolah yang terlihat sedang membawa sebuah kotak kardus yang cukup besar, dan berat.

Wanita pertengahan empat puluhan itu mendongak. "Seonsaengnim ... boleh saya minta tolong?"

Jeongyeon mengangguk, "Tentu saja, Bibi. Apa yang bisa ku bantu?" jawabnya cepat.

"Tolong taruh kardus ini ke gudang belakang, Saem. Saya ... perlu ke toilet."

Jeongyeon menatap kardus yang telah di letakkan Bibi Jung ke lantai. "Baiklah, Bibi."

"Terima kasih, Seonsaengnim." Bibi Jung menyodorkan sebuah kunci, kemudian berjalan cepat menuju toilet. Jeongyeon menerimanya, kemudian mulai mengangkat kardus dihadapannya.

"Berat."

***

Jeongyeon menepuk-nepuk telapak tangannya setelah meletakkan kardus tadi untuk menghilangkan debu. Uh, jiwa clean freak nya meronta-ronta sejak memasuki gudang ini tadi.

"Aku harus cepat keluar sebelum kelepasan membersihkan ruangan berdebu ini," Ia bergumam pelan, berbalik dan melangkah keluar dari gudang. Kemudian mengunci ruangan itu.

"Kau sudah berani melawanku, hah?!"

Suara samar itu membuatnya mengerutkan dahi.

"Apa ada yang melakukan bullying?" ucapnya pelan. Kemudian melangkah menuju suara yang kelihatannya berasal dari halaman belakang. Jika benar-benar ada yang melakukan bullying, Jeongyeon harus menghentikannya.

Dan benar saja, di depan sana, ada tiga orang siswa kelas 12 yang sedang mem-bully salah satu anak didiknya, Lee Chaeryeong. Jeongyeon melangkah cepat mendekati mereka.

"Choi Gye--"

"Dasar anak haram!"

Matanya melebar. Umpatan yang ditujukan pada Chaeryeong itu membuat bayangan-bayangan acak terputar di kepalanya. Tanpa bisa ditahan, tangannya melayang. Menimbulkan suara tamparan yang cukup nyaring disana.

"Jeong-Jeongyeon Saem," Chaeryeong terkejut.

Jeongyeon tersentak ketika tersadar. Ia mengerjab, didepannya Choi Gyeri menatapnya tak percaya sambil memegangi sebelah pipinya.

"Gye-Gyeri, Saem tak bermaksud--" Jeongyeon berusaha menjelaskan walaupun terbata. Gyeri melemparkan tatapan benci padanya, kemudian berlari pergi bersama kedua temannya tanpa mendengarkan.

Perempuan itu menghela nafas. Merutuki dirinya sendiri yang terlalu emosional. Apalagi orangtua Gyeri cukup berpengaruh di sekolah. Pekerjaannya disini bisa saja terancam.

"Sa-saem ... "

Jeongyeon berbalik, tersenyum lembut dan membantu Chaeryeong berdiri. Ia menatap prihatin seragam gadis itu yang basah kuyup. Kelihatannya gerombolan Gyeri tadi menyiramnya dengan air.

"Saem bawa baju ganti di loker. Nanti kamu pakai dulu, terus Saem antar pulang ya?"

Chaeryeong mengangguk, "Terima kasih, Saem. Maaf, karena telah merepotkan."

Jeongyeon menggeleng, "Enggak kok. Saem kan wali kelasmu, jadi, ini sudah kewajiban Saem." ucapnya, "ayo, nanti kamu sakit karena kedinginan."

***

Jika ada yang bicara soal keluarga, sisi emosional Jeongyeon selalu keluar. Kenapa?

Karena keluarganya begitu ... berantakan.

Sejak kecil, Ayah Jeongyeon selalu jarang di rumah. Ibunya berkata Ayahnya sibuk bekerja, dan Jeongyeon percaya begitu saja.

Sampai kemudian, sewaktu Jeongyeon baru berusia 13 tahun, ketika seorang wanita tua tiba-tiba datang ke rumah mereka. Menampar dan memaki Ibunya. Saat itulah, Jeongyeon mengetahui jika Ayahnya sebenarnya sudah mempunyai keluarga sebelum menikahi Ibunya. Singkatnya, Ibu Jeongyeon adalah istri simpanan.

Ibu Jeongyeon sama syok nya dengan dirinya. Wanita penyayang itu kemudian jatuh sakit, dan meninggal satu tahun kemudian.

Istri pertama Ayah Jeongyeon, Gaeun namanya, tidak membenci mereka. Sebaliknya, dia malah sangat baik pada Jeongyeon dan Ibunya. Gaeun bahkan membiayai biaya pengobatan Ibu Jeongyeon. Wanita itu bukan meninggal karena penyakitnya, melainkan karena aksi bunuh diri tidak langsung yang ia lakukan, dengan cara berpura-pura meminum obat, tapi kemudian membuangnya. Jeongyeon baru tahu hal itu ketika perawat menemukan banyak pil di sarung bantal bagian bawah Ibunya. Terpukul? Jelas.

Jika sang Ayah membuatnya percaya jika iblis berbentuk manusia itu ada, maka Gaeun membuat Jeongyeon percaya jika malaikat berbentuk manusia itu nyata ketika wanita itu mengajaknya untuk tinggal di rumahnya.

Tapi, hidup di rumah Gaeun tidak seperti yang ia kira. Neneknya--Ibu dari Ayah--serta tiga saudari tirinya terlihat sangat membencinya.

"Mau apa kau, anak haram?"

"Anak haram sepertimu itu tak pantas makan bersama kami!"

"Emangnya buat apa kau bersekolah? Lebih baik melacur saja seperti ibumu sana!"

Ayahnya tak pernah berniat membelanya ketika para saudara tiri Jeongyeon mengumpati gadis itu. Sekali lagi hanya Gaeun, sosok yang sebenarnya paling tersakiti, tapi paling peduli dan sayang padanya.

Menginjak SMA, Jeongyeon memutuskan keluar dari rumah untuk hidup mandiri dengan pegangan tabungan hasil uang jajan yang selalu ia tabung, dan akan bekerja paruh waktu nanti untuk bertahan hidup. Ia sudah tak tahan dengan suasana di rumah. Walaupun Gaeun sempat melarang, tapi akhirnya mengizinkan dengan syarat dia yang membelikan apartemen untuk Jeongyeon dan akan mengirimkan uang untuk gadis itu beberapa bulan sekali.

Dan karena semua itu lah, Jeongyeon lepas kendali ketika mendengar ucapan Gyeri pada Chaeryeong tadi.

Ting ... tong ...

Jeongyeon tersadar dari lamunan ketika bel apartemennya berbunyi. Ia beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Membukanya.

"Taehyun-ah?"

Sosok dibalik pintu, Kang Taehyun menunjukkan senyumannya.

"Ada apa?"

"Aku mau menggoreng telur, Noona. Tapi garamku habis. Boleh aku minta?" tanya pemuda kelas dua SMA sekaligus tetangga apartemennya itu.

"Tentu bolehlah, ayo, masuk dulu." Jeongyeon berbalik, melenggang mendahului. Taehyun menggumamkan kata permisi kemudian mengekori perempuan yang lebih tua enam tahun darinya itu.

"Ini," Jeongyeon menyodorkan sebungkus garam belum dibuka. "Aku masih punya dua kok."

Taehyun mengangguk, menerimanya. "Terima kasih, Noona." ucapnya, "apa Noona sudah makan malam? Jika belum, aku juga bisa menggorengkan telur sekalian. Noona kan pasti capek."

Jeongyeon menggeleng, "Aku sudah makan, Taehyun-ah. Tak perlu."

"Ehm ... apa sekolahmu ada kekurangan guru?" Ia bertanya pelan. Taehyun mengerut, kemudian mengangguk.

"Salah satu guru Bahasa Korea seminggu lalu pensiun, Noona. Memangnya kenapa?"

Jeongyeon tersenyum kemudian menggeleng, "Bukan apa-apa."

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang