8

253 54 8
                                    

Tingkah aneh sahabatnya nyatanya benar-benar membuat Jeongyeon kepikiran, hingga keesokan harinya. Meskipun hari ini Kun sudah berubah menjadi Kun yang biasa, juga sama sekali tak mengungkitnya, kejadian kemarin sama sekali belum beranjak dari kepala Jeongyeon.

"Saeeeeem! Tolong aku!!" Choi Beomgyu tiba-tiba muncul, berlari kencang ke arah Jeongyeon, bersembunyi di belakang perempuan itu dengan sedikit membungkuk karena ia sebenarnya lebih tinggi.

"E-eh?"

"Ryujin akan memutuskan telingaku!"

"Chooooi! Kesini kau!" Sebelum Jeongyeon dapat merespon, teriakan lain terdengar. Matanya beralih, melihat sosok Shin Ryujin yang berlari kencang ke arah mereka.

"Maju kau Beomgyu! Tanggung jawab!"

"Nggak mauuuu!"

Jeongyeon sweatdrop melihat tingkah mereka. Sebenarnya disini yang perempuan siapa yang laki-laki siapa?

"Hei--ini ada apa, Ryujin?" tanyanya.

"Beomgyu menumpahkan susu ke buku catatanku hingga robek, Saem!" Beomgyu sedikit bergidik ketika melihat gadis 'sangar' itu merengut. Bukan rahasia lagi memang jika yang bisa menjinakkan Ryujin selain Ibunya hanya guru Bahasa Korea ini.

Dan pas sekali, buku catatan yang dirusakkan Beomgyu adalah buku catatan pelajaran Bahasa Korea milik si gadis Shin.

"Beom--"

"Aku tidak sengaja, Saem! Beneran!"

"Tapi kau harus bertanggung jawab! Sini, biar ku jewer telingamu!"

"Nggak mau! Kau bukan hanya menarik tapi juga akan memutuskan telingaku!"

Jeongyeon kebingungan sendiri. Ia harus bagaimana?

Siswa-siswa di sekitar mereka juga terlihat cuek saja karena Beomgyu dan Ryujin memang sudah biasa kejar-kejaran macam kucing anjing begini.

"Kau masih ingat sebagian isi catatanmu?" Sebuah suara membuat mereka bertiga menoleh. Menemukan sosok Kim Taehyung yang entah sejak kapan ada di dekat mereka.

Ryujin mengangguk sebagai balasan, "Masih, Saem."

"Jika begitu, kau tinggal menyuruh Beomgyu mencatat ulang semuanya dengan sebagian sumber dari ingatanmu. Bagaimana?" usul Taehyung dengan senyum khas miliknya.

"Semuanya?" ulang Beomgyu tak percaya. Catatan Bahasa Korea kan ... sangat banyak!

"Pilih itu atau telingamu benar-benar ku putuskan?" ucap Ryujin mengancam. Beomgyu meringis, menarik nafas panjang.

"Iya deh. Aku akan mencatatkanmu ... "

"Tapi harus sesuai syaratku, Choi. Jika tidak, kau akan mengulangi lagi."

"Iya Ryujin ... "

"Buku yang di gunakan juga kau beli pakai uangmu pokoknya."

"Baiklah ... " Beomgyu menjawab dengan lemas. Ryujin tersenyum senang, "Ya sudah, aku permisi Saem!"

"Aku juga pergi dulu, Yoo Saem, Kim Saem," Jeongyeon berbalik, memandang Beomgyu yang berjalan lesu ke arah yang berlawanan dengan Ryujin.

"Ah, makasih karena sudah memberikan solusi, Taehyung." Ia beralih pada Taehyung, memberikan senyum terimakasih pada pria itu.

"Sama-sama. Kau mau ke kantor?"

Jeongyeon menggeleng, "Tidak. Aku mau ke perpustakaan dulu."

"Ah ... jadi tujuan kita beda." Taehyung terdengar sedikit kecewa, "tapi tak apa. Aku duluan, Jeongyeon!"

"Iya!"

***

"Eomma?" Jeongyeon yang baru pulang terkejut ketika melihat Gaeun di depan pintu apartemennya.

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tersenyum, "Baru pulang?"

Jeongyeon mengangguk, "Iya. Apa Eomma sudah lama disini? Kenapa tidak pangsung masuk? Eomma tahu sandi nya kan?" tanya Jeongyeon bertubi-tubi sambil mengetikkan sandi apartemennya.

"Eomma baru sekitar lima belas menit disini, Jeongyeon-ie. Itu tidak lama."

Ceklek ...

"Itu lama, Eomma," Jeongyeon menjawab sambil berjalan masuk. Gaeun mengikutinya, lalu menutup pintu apartemen.

"Mau minum apa?" tanya sang perempuan Yoo ketika ia dan Gaeun sudah sama-sama duduk di sofa ruang tengah.

"Air putih hangat saja. Malam ini cukup dingin."

"Kenapa bukan teh?" tanya Jeongyeon.

"Hanya sedang tidak ingin minum teh." Gaeun tak mungkin bilang ia tak ingin merepotkan Jeongyeon yang baru pulang dari sekolah. Karena jika ia mengatakannya, perempuan itu pasti akan bersikeras membuatkannya teh dengan dalih Gaeun tidak merepotkannya.

"Baiklah."

Beberapa menit kemudian, mereka telah duduk bersisian dengan dua gelas berisi air putih hangat di meja.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Eomma?" Jeongyeon bertanya balik, menyandarkan kepalanya ke bahu perempuan itu.

"Juga baik." Gaeun mengelus lembut surai yang lebih muda, "ingat tiga hari lagi tanggal berapa?"

Jeongyeon mengerutkan dahi, mengingat-ingat. Ia memang kerap lupa soal tanggal.

"Hari ini dua puluh, berarti tiga hari lagi dua ti--" Matanya membola ketika mengingat hal lain, kepalanya menegak kembali, "astaga, tiga hari lagi Eomma ulang tahun? Kenapa aku bisa lupa?"

"Sudahlah, Jeongyeon-ie. Kau kan hampir sepanjang pekan sibuk, wajar jika lupa." Gaeun tersenyum, "nanti akan ada pesta kecil-kecilan di rumah."

Merasa dapat menebak kalimat Gaeun selanjutnya, tubuh Jeongyeon sedikit menegang.

"Eomma harap, kamu datang."

Simalakama.

Jika Jeongyeon datang, ia akan bertemu dengan Nenek, Ayah, dan saudara-saudara tirinya. Ia dulu kerap di permalukan oleh saudara-saudara tirinya, tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukannya lagi, didepan para tamu. Apalagi, beberapa bulan lalu tunangan salah satu saudara tirinya menyatakan perasaan pada Jeongyeon dan memutuskan pertunangan.

Tapi jika Jeongyeon tak datang, Gaeun pasti akan sangat kecewa.

"Kau juga boleh mengajak Kun, Jeong-ie. Dia sahabatmu kan?"

Ucapan selanjutnya dari wanita disampingnya seakan memberi Jeongyeon pencerahan. Yah ... setidaknya jika mereka kembali mempermalukannya, entah dengan cara apa kali ini, ia punya teman kan?

"Baik, Eomma. Aku akan datang."

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang