11

218 50 11
                                    

"Qian-sialan-Kun, kau minum obat semalam. Mana bisa aku keluar?" Gon berkata dengan agak ngegas, "sebenarnya, kau itu kenapa sih?" lanjutnya sedikit bingung. Pasalnya Kun terus saja melancarkan pertanyaan sejak ia baru saja bangun.

"Aku ... " Kun menggigit mulut bagian dalamnya, pantulan yang sekarang tidak lagi mengikuti gerak-geriknya itu mengerut melihat tingkah gugup sang pemilik tubuh asli.

"Mencium pipinya ... " Kun melanjutkan ucapannya dengan suara mencicit.

"Hmph? HAHAHA!" Gon meledakkan tawanya--yang hanya bisa di dengar si pemilik tubuh asli tentu saja.

"Kau seperti ini hanya karena itu?"

"Hanya?!" Giliran Kun yang ngegas, "bagaimana jika dia merasa dilecehkan?"

"Apa dia menendangmu?"

Kun menggeleng.

"Menonjok?"

Kun menggeleng lagi.

"Jika begitu, dia sama sekali tak merasa di lecehkan." Gon menyeringai, "Jeongyeon model perempuan yang bereaksi keras jika merasa dilecehkan, selama dia mampu. Dan jika ia tak melakukannya, berarti ia juga menyukainya."

Kun terdiam.

Jeongyeon ... menyukainya? Jeongyeon, membalas perasaannya?

"Dia menyukai kita, Kun! Bukan kau saja!" Gon berseru sebal, dengan perempatan imajiner di dahi setelah mendengar suara batin Kun.

Kun mendengus, "Kau baru muncul sekali, Gon. Ingat?"

"Itu juga karena kau, sialan!"

Tadinya Kun tidak akur dengan alter ego nya. Sama seperti penderita DID lainnya. Kun selalu merutuki eksistensi Gon, dan Gon juga selalu menekan mental Kun yang saat itu sudah buruk. Tapi setelah kemunculan perempuan itu, semuanya berubah.

Walaupun memang, masih sering bertengkar kecil seperti ini.

***

"Menurut Saem, apa pesan moral dalam suatu cerita itu harus ada?" Serim yang berjalan di sisi kanan Jeongyeon, bertanya. Di tangannya terdapat beberapa buku tugas teman-temannya tadi.

"Sebenarnya, ada tidaknya pesan moral dalam suatu cerita tergantung pembacanya, Serim," jawab Jeongyeon. "Bisa saja penulis berniat memberikan pesan moral, tapi pembaca tidak bisa menangkapnya, atau mungkin juga sebaliknya. Penulis hanya berniat memberikan hiburan dari cerita menarik, pembaca malah mendapat pesan yang sangat banyak dari karyanya."

Serim ber-oh ria sambil manggut-manggut. Membenarkan penjelasan Jeongyeon dalam hati.

"Siapa penulis favoritmu, Saem?"

"Klasik, William Shakespeare sama Agatha Christie. Penulis sekarang, Lisa Kleypas mungkin. Memang kenapa?"

"Mau coba baca," jawab Serim. "Tapi kalo roman kuat macam punya Kleypas, aku nggak berani."

"Jadi Yoo Saem adalah penggemar novel-novel seksi Lisa Kleypas?"

Jeongyeon tersentak dan Serim terlonjak.

"Astaga, Kim Saem. Kau mengagetkanku," ucap Serim sedikit menggerutu.

"Maaf, Jo Serim." Kim Taehyung, yang muncul tiba-tiba di belakang mereka itu menyengir.

"Apa kau juga suka membaca, Saem?"

"Tentu saja! Aku--"

Di samping Taehyung yang terlihat mengobrol seru dengan Serim, Jeongyeon tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sedikit laki-laki yang bisa membuatnya benar-benar nyaman ketika berdekatan atau mengobrol, dan Taehyung jelas bukan salah satunya. Meskipun memang ia dan pria itu tak terlalu awkward juga.

"Hei ... kenapa kau malah diam, Jeongyeon?"

"Eh?" Jeongyeon tersenyum, "nggak papa."

"Kau suka novel-novel Kleypas?"

Perempuan itu mengangguk, "Iya. Memangnya kenapa? Kau mau membelikanku satu?" candanya.

"Boleh, jika kau menemaniku membelinya." Taehyung tersenyum, balas bercanda.

Jeongyeon terkekeh, "Aku tak serius, Taehyung."

"Mending kau membelikanku saja, Saem. Sekalian agar lebih hemat bulan ini," ucap Serim. Taehyung menoleh, "Kau tinggal minta ke Renjun-mu itu saja, Serim. Ku jamin, pasti langsung dituruti!"

"Ih, apa maksud Saem?" gerutu Serim. Taehyung terkekeh.

"Memang benar kan?"

"Renjun hanya sahabat baikku, Saem."

"Ah ... friendzone ... "

"Saem!"

"Perempuan sekarang banyak yang tak peka ya ternyata ... " Taehyung manggut-manggut sendiri. Serim mendengus, menahan diri untuk tidak menimpuk pria dewasa menyebalkan yang sayangnya adalah salah satu gurunya ini dengan tumpukan buku di tangannya.

"Jeongyeon! Hei, kenapa tiba-tiba buru-buru begitu?!" Taehyung berseru ketika melihat Jeongyeon tiba-tiba mempercepat langkah, meninggalkan mereka. Ia menegang ketika tersadar sesuatu.

Ucapannya pada Serim, tidak malah membuat perasaan Jeongyeon dan Kun semakin 'dekat' kan?

"Jeongyeon Saem hanya ingin membantu dia, Kim Saem. Tenanglah," ucap Serim sedikit mencibir, sambil menunjuk seorang gadis yang terduduk di lantai ujung koridor. Di sekelilingnya terdapar beberapa buku. Sepertinya habis terjatuh.

"Ooh ... kukira kenapa." Taehyung cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya.

***

Perempuan sekarang banyak yang tidak peka ya ternyata ...

Jeongyeon melamun, menatap kosong pemandangan dari balik jendela sambil bertopang dagu. Pikirannya melayang kemana-mana. Tentang perkataan Taehyung tadi ...

"Jeongyeon?"

Ia selalu menghindari ge-er duluan.

"Jeong?"

Tapi kenapa sekarang rasanya sulit sekali? Hanya karena beberapa perlakuan Kun dan kalimat dari Taehyung?

"Hei, Jeongyeon?"

Ah, ini malah membuatnya pu--

"Kun?" Jeongyeon tersadar dari lamunannya ketika punggung tangan Kun menyapa dahinya dengan lembut.

Pria itu tersenyum, "Kau tidak menjawab saat kupanggil. Kukira kau tiba-tiba sakit atau bagaimana," ucapnya. "Kita sudah sampai."

"Eh?" Jeongyeon menatap sekeliling. Benar, mereka sudah berada di parkiran gedung apartemennya. Ia merutuk dalam hati.

"Kau tak apa kan?"

"Aku baik-baik saja," Jeongyeon tersenyum. "Terima kasih, Kun."

Ia membuka pintu, dan baru saja menapakkan satu kaki ketika pria di balik kemudi itu menahan satu tangannya. Jeongyeon menoleh,

"Selamat malam. Istirahat cukup dan mimpi indah ... "

Blush!

"K-kau juga, Kun. Tidurlah dengan baik dan ... mimpikan aku," Jeongyeon melemparkan candaan, untuk menutupi kegugupannya. Kun terkekeh.

"Tentu saja."

Sial, dia tambah gugup jika begini!

***

Halo!

Maaf lama menghilang😅

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang