I. Pulang ke Jogja
Aku bergerak cepat membereskan meja kerja, memasukkan semua alat tulis ke laci, merapikan berkas yang berceceran dimeja. Aku sedang berburu dengan waktu, tak mau ketinggalan kereta malam ini. Setelah selesai cepat kupesan ojeg online menuju stasiun Gambir, aku akan naik kereta Taksaka menuju Jogja.
"Jadi balik ke Jogja malem ini Din?" tanya Sarah yang saat itu juga berada di lobby menunggu ojeg onlinenya. Sarah adalah temanku satu ruangan dikantor.
"Jadi Sar, lu mau balik kosan ini?"
"Iya, nanti malem mau jalan sama Nino, gua mau siap-siap dulu lah biar nggak kucel n bau"
"Baru juga malem sabtu, nggak besok tah malem minggu?" godaku pada Sarah, "kayaknya bakal jadi beneran nih sama Nino, bakal kehilangan temen satu ruangan gua, tapi entah lu yang pindah kantor atau Nino yang bakal kepental sih ya Sar"
"Iya Din, gimana coba? Semoga setelah nikah, toh salah satu dari kami dipindah, tetap di sekitar Jakarta aja, gua nggak mau LDR-an" katanya memasang muka galau "Eh, ojeg gua datang, gua duluan Din! Lu hati-hati dijalan ya, salam buat keluarga"
Aku mengangguk sambil melambai. Memang begitu peraturan dikantor kami, tak boleh ada suami istri dalam satu kantor yang sama, guna menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Aku berkantor di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Gatot Subroto. Aku cukup beruntung bisa ditempatkan disini setelah menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dua yang lalu, sementara teman-teman seangkatanku ditempatkan di seluruh Indonesia, dari ujung Aceh hingga ke Papua di bawah naungan Kementerian Keuangan. Memang sejak memilih kuliah disana, kami sudah tahu resikonya. Tapi bagiku tidak masalah, pendidikan adalah cara tercepat, termudah dan termurah merubah nasib. Aku sudah membuktikannya.
***
Sampai di Gambir waktu menunjukkan pukul 19.13 WIB, aku bergegas membeli makanan dan minuman untuk mengisi perut di kereta. Aku lebih suka begini, ketimbang harus memesan makanan di kereta dan menunggu lama, lebih baik aku beli duluan sebelum naik ke kereta.
Tempat dudukku sesuai tiket berada di lorong, ketika memesan aku tak lagi memperoleh tiket tempat duduk yang dekat jendela, tapi aku sudah berniat akan mengajak rekan satu barisku untuk bertukar tempat, tentu bila dia bersedia.
"Maaf mas, tempat duduk saya disebelah anda"
"Oh iya, silahkan" balas laki-laki berbadan tegap yang akan menjadi rekan dudukku.
"Maaf, boleh nggak kalo kita tukeran tempat duduk mas? Saya sebenarnya mencari tempat duduk yang dipinggir jendela, tapi waktu beli tiket keburu kehabisan" kataku dengan sopan sambil sedikit nyengir, memperlihatkan barisan gigiku.
"Oh boleh, nggak masalah" lalu laki-laki itu bangun dari tempatnya, mempersilahkan aku masuk ke barisan kami baru dia duduk kembali.
"Makasih ya mas" kataku sambil tersenyum. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum juga.
"Mbak mau ke Jogja? tanyanya kemudian.
"Iya, menghadiri nikahan sahabat saya sekalian pulang kampung"
"Oh, mbak aslinya dari Jogja, dimana?"
"Iya, saya tinggal dekat pasar Lempuyangan" yang dijawab lelaki itu dengan mulut membentuk huruf 'o' saja
"Berarti dekat dengan lah nanti setelah turun dari stasiun" kujawab hanya dengan anggukan."Mas sendiri mau kemana?" tanyaku ganti.
"Saya juga mau menghadiri nikahan saudara, kalau aslinya saya dari Lampung, tapi dulunya orang tua saya asli Jogja, yah lumayan lah hitung-hitung pulang kampung juga sambil liburan tipis-tipis"
"Kayak crepes aja mas tipis" kataku menimpali, dia tertawa.
Tak lama kemudian dia menjulurkan tangannya "Namaku Satria, kalo boleh tau, nama mbak siapa?"
Aku menyambut juluran tangannya, bersalaman "Saya Dinda" jawabku sambil tersenyum.
Jika dilihat-lihat sepertinya Satria ini belum begitu tua, tapi pasti usianya lebih tua dariku, mungkin hampir tiga puluh tahunan. Kami terus mengobrol sambil aku menghabiskan makananku, membahas berbagai hal mengenai Jogja dan Jakarta mulai dari kulinernya, wisatanya bahkan orang-orangnya. Rupanya Satria juga PNS, dia bekerja di Kantor Gubernur di bagian protokoler, menjadi salah satu ajudan gubernur Jakarta saat ini.
"Udah malam Din, tidurlah, istirahat" katanya sambil memperhatikan arloji ditangannya. Aku hanya mengangguk, kupasang masker penutup hidung yang selalu tersedia ditasku dan mulai memejamkan mata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anan-Dinda, first love should be end
RomanceKadang orang yang tepat datang diwaktu yang salah, kadang kau merasa bukan dia orangnya tapi dia yang hadir diwaktu yang tepat. Perkara hati memang tak pernah sederhana, selalu rumit. Anan mencintai Dinda tapi tak dapat memilikinya karena keadaan. D...