Rumah

6 0 0
                                    

II. Rumah

Ketika terbangun rupanya kereta sudah memasuki stasiun kota Yogyakarta. Jam menunjukkan pukul 05.20 pagi. Terdengar suara dari load speaker yang membantu mengarahkan calon penumpang dan yang baru turun dari kereta untuk berada di jalur sebelah mana sesuai keberadaan keretanya.

Kebisingan yang lumrah ketika berada di stasiun. Satria tidak ada di sebelahku, mungkin dia sudah turun, atau pergi kemana aku tak tahu. Aku turun dari kereta, keluar dari area stasiun dan lebih memilih becak untuk pulang ke rumah. Mumpung masih pagi, masih sepi, aku ingin menikmati sejuknya angin kotaku dengan santai.

Ibu sedang menyapu halaman rumah kami saat aku datang. Beliau langsung meletakkan sapu lidinya dan berjalan cepat menghampiri becak yang kutumpangi kemudian memelukku.

"Sampe kamu ndok, alhamdulilah.. Ibu nggak dikabari udah sampe mana sampe mana, tahu-tahu wes tekan" katanya mencampur bahasa jawa dan indonesia sekaligus.

"Iya maaf Bu, semalam Dinda tidur nyenyak di kereta, lupa nggak ngabari ibu"

"Wes nggak popo, sing penting anake ibu sehat, selamat sampe rumah" katanya sambil memegang pipiku "ayo masuk!"

***

Aku rebahan di kamarku, memang tiada tempat senyaman rumah. Rasanya aku bisa tidur lagi jika ibu tidak berteriak menyuruhku mandi dengan air hangat yang sudah beliau siapkan. Inilah enaknya jadi anak tunggal, aku tak perlu membagi perhatian dengan siapapun. Semua perhatian dan kasih sayang ibu dan bapak sungguh milikku seorang.

"Kamu tuh loh ndok, kalo udah dirumah kok kolokannya nggak hilang-hilang. Mosok ibumu ini suruh teriak-teriak kayak zaman kamu masih sekolah, kan kamu udah besar, udah kerja, mbok berubah sedikit-sedikit jangan kolokan lagi, nanti gimana kalo punya suami tapi kelakuannya masih begini" kata ibu mengomeliku panjang lebar.

Aku cuek saja, duduk didepan meja makan dapur kami sambil menyesap teh manis yang dibuatkan ibu selagi tadi aku mandi. "Kan anak ibu aku seorang, jadi nggak apa-apa lah Bu aku manja sedikit, kan manjanya cuma kalo dirumah. Lagian kalo Dinda punya suami, Dinda akan pilih yang mau terima Dinda apa adanya bu, tenang aja"

"Lah,males ibu kalo ngomong sama kamu pasti dibantah. Lebih baik nggak usah ngomong."

Aku bangkit dari tempat dudukku menghampiri ibu dan memeluknya dari belakang, "Maafin Dinda ibu, Dinda salah. Ibu jangan marah ya, jangan ngutuk Dinda jadi batu" kataku sambil menggelayutkan kepalaku di bahu kanan ibu.

Yang digelayuti hanya tersenyum lalu mengacak-acak rambutku dengan tangan kanannya.

"Aduh, ada apa ini kok pada peluk-pelukan?" Bapak datang dari balik punggung kami.

"Bapak baru pulang habis jaga malam?" tanyaku langsung

"Iya ndok, kamu sampai jam berapa?"

"Tadi jam 6-an, pak kan Dinda udah bilang, nggak usah jaga malam lagi di hotel Gumilang, Dinda bisa membiayai hidup ibu dan bapak dengan layak dari gaji Dinda, kenapa bapak masih kerja disana? Atau bapak mau Dinda buatkan usaha seperti ibu? Bapak mau buat usaha apa, Dinda akan siapkan uangnya"

"Bapak tetap disana karena senang ndok, ketemu teman, ketemu kenalan baru, bukan semata karena pekerjaan atau uang"

"Tapi kan nggak harus hotel itu, cari tempat lain saja, jangan disana"

Bapak diam saja. "Dinda nggak mau bapak direndahkan sama mamanya Anan lagi, sia-sia Dinda membuktikan kalau Dinda bisa mandiri, bisa sukses sebagai anak bapak dengan usaha Dinda sendiri pada mamanya Anan kalau bapak tetap merendahkan diri bapak disana. Tetap jadi penjaga malam di hotelnya. Untuk apa usaha Dinda selama ini membuktikan kalo dari awal Dinda memang nggak tahu Anan anak orang kaya, anak pemilik hotel tempat bapak bekerja? Dinda sayang Anan karena dia Anan, bukan karena hartanya, dia miskin pun Dinda tetap akan sayang Anan" aku menangis. Bapak tetap diam, ibu memelukku.

"Sudah sayang, jangan membahas masalah yang sudah berlalu. Kamu hanya menyakiti hatimu sendiri, ibu nggak mau kamu nangis ndok. Mungkin kalian memang tidak ditakdirkan bersama." Ibu memelukku " Pak, sudah lah pak, jangan kerja disana lagi, kasian anak kita, bapak bantu ibu saja ngurus karyawan dan rumah makan. Atau bapak cari pekerjaan lain, atau usaha yang lain seperti kata Dinda, ya pak ya, kasihan anakmu"

Bapak tetap diam kemudian berlalu. Aku tahu pasti bapak bingung, bertahun-tahun beliau bekerja disana dengan hati, tak pernah punya niatan buruk apapun seperti yang dituduhkan mama Anan pada kami. Beliau bekerja karena senang, tapi egoku tak mau kalah, aku mau bapak dilihat setara, bukan sebagai bawahan yang tak patut berbicara tanpa membungkukkan badannya dihadapan mama Anan.

Anan-Dinda, first love should be endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang