p r o l o g

380 25 9
                                    

"Kok jelek, ya?," Pantulan dicermin menunjukkan wajahku yang menekuk karena kecewa terhadap penampilanku sendiri. Heran. Mengapa aku tak bisa cantik seperti gadis-gadis di luaran sana.

Ceklek.

Kutolehkan kepala menengok ke arah pintu. Muncul Bang Dayat di sana. Dia menatapku datar sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Membuatku merasa bersalah saja dia itu.

"Kamu mau bikin tugas kelompok atau ke kondangan? Dandannya ... lama amat," Bang Dayat, saudara kandungku yang satu ini memang suka mengataiku seperti itu jika dia kelamaan menunggu untuk mengantarkanku ke manapun yang ku pinta. Padahal aku hanya sekadar mematut diri di depan cermin. Tak ada poles sana poles sini. Karena ku tahu, bahwa bagaimana pun tebalnya dandananku, aku akan tetap jelek seperti ini. Tak ada yang berubah. Hm, maafkan Dinda ya Allah.

Setelah sampai di tempat tujuan, yaitu rumah Faza, teman dudukku di sekolah, Bang Dayat berlalu dengan kuda besinya usai memenuhi tugasnya yang tak lain dan tak bukan ialah mengantar jemput adiknya yang berbakti ini.

Segera ku langkahkan kaki ke arah gerbang rumah Faza dan bertepatan dengan kakiku yang telah sempurna menapaki keramik teras rumahnya, suara pecahan terdengar dari dalam rumah putih kuning ini. Bola mataku memelotot karena terkejut.

Bham!

"Dinda?."

"Faza?," bersamaan dengan kata itu yang keluar, kepalaku kembali menatap lurus ke depan. Faza dengan mata sembap yang sudah memerah menatapku dengan berkaca-kaca. Dia seperti ingin menumpahkan sesuatu namun ditahan.

"Saya ke sini dengan tangan kosong. Jadi, Faza itu seharusnya ikut sama kamu! Saya nggak mau bawa anak kemana-mana!."

Mataku kembali membulat tak percaya mendengar gema suara yang berasal dari dalam rumah Faza.

Tanganku ditarik oleh Faza setelah beberapa menit menghabiskan waktu dengan ketidakpercayaan terhadap kejadian yang baru saja kulihat. Dan kini kami berakhir di gang kecil yang ada di samping rumahnya.

"Mamah ... kenapa ngomong kayak gitu tadi?," tanyaku pada Faza yang sudah mulai sesenggukan.

Tak ada jawaban. Melainkan hanya gelengan yang kudapat. Faza masih menangis di sampingku dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah.

Hening yang lumayan panjang dibaluti oleh isak tangis Faza. Aku yang belum memperoleh jawaban apapun, hanya bisa menenangkannya dengan cara menggusuk bahu Faza seraya berkata "Sabar ya, Za."

Hingga tiba lah Faza membuka suara, "Aku nggak mau lagi tinggal di rumah itu."

Dan ... seketika satu kata menyambangi naluri manusiaku, "Kenapa?."

*

Mulai detik itu aku tahu satu hal, bahwa cantik tak menjamin kesempurnaan. Cantik bukan lah segalanya.

****

Author's note;
Tinggalkan jejak, sobat. Jgn lupa vote ya... komen nya juga🤗

Dear Allah Am I Beautiful(?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang