03. Problematika Kehidupan

106 15 1
                                    

Kenapa aku jelek?

Kapan aku bisa cantik. Setidaknya, enak untuk ku pandang sendiri.

Aku mengembuskan napas. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjang berkasur empuk ini. Sisi positifku mulai mensugesti. Mensuplai perasaan optimis ke dalam otakku agar tidak melulu berpikir negatif tentang diriku sendiri.

Makanya Dinda! Kamu jangan malas-malas buat skincare-an! Gini kan jadinya. Kamu kelihatan dekil, kumel! Pakaian apa pun yang kamu pakai, itu tuh rasanya enggak ada yang cocok sama kamu.

Tanganku mulai beralih menutup gendang telingaku. Berusaha menghalau sugesti buruk itu, yang berpotensi menyudutkan diriku sendiri hingga hal-hal yang tak diinginkan dapat terjadi setelah ini.

Ah, sepertinya aku tak boleh lagi bertemu dengan cermin. Baiklah, akan ku singkirkan cermin yang ada di kamarku.

"Kakak. Ada teman tuh di luar udah nungguin," suara Ummi terdengar dari luar kamar. Aku bergegas menghampirinya.

"Siapa, Mi?," tanyaku setelah pintu kamar terbuka lebar. Kucondongkan kepala untuk mengetahui siapa gerangan orang tersebut walau jarak pandangku tetap tak akan sampai ke ruang tamu sana. Namun, begitulah karena spontan.

"Itu ... nggak tau Ummi siapa. Coba aja deh kamu lihat sendiri," Ummi menyengir dan menepuk pundakku pelan, menginterupsi untuk segera melangkah.

"Nisa? Wah ... lama nggak ketemu yee... ciee udah cantik ya sekarang," kusambut Nisa, teman semasa SMP dengan canda. Tapi, serius, dia tampak cantik dari lima tahun yang lalu.

Nisa tertawa renyah. Jari telunjuknya diarahkan pada lenganku hingga aku terdorong ke belakang ketika dia mendorong, "Padahal lo deh kayaknya yang makin cans. Lihat tuh muka, mulus gitu. Mana makin putih lagi," katanya yang menurutku terkesan berlebihan. Aku tak secantik itu. Aku buruk rupa.

"Lihat kan, Wi. Jilbabnya lebar gitu," Nisa berbicara dengan satu orang temannya yang berdiri agak jauh dari kami. Perempuan itu tampak sedang asik dengan gadget-nya.

"Bidadari surga banget dah lo," Nisa menggeleng. Kemudian rautnya berubah serius.

"Dinda," panggilnya yang kujawab dengan, "ya. Kenapa, Nis?."

"Si  Izyan, masih kenal kan?," walau berat untuk mengangguk, namun, tetap kulakukan. Rasanya tak ingin lagi mendengar nama itu. Nisa mengingatkanku pada mantan yang sama sekali tak ingin ku kenang. Perasaan bersalah sekaligus malu menghampiri ketika mengingat masa-masa masih menjalin hubungan tak jelas itu atau yang biasa disebut pacaran. Kalau bisa mengulang waktu, akan kuubah alur dalam kisah masa laluku untuk tidak mengenal apa itu pacaran!.

Bersalah karena secara tidak langsung aku telah mengikutcampurkan Abi dalam menanggung dosa yang seharusnya aku pikul sendiri akibat pacaran yang menyebabkan zina hati dan pikiran karena selalu mengingat si 'dia'.

Malu akan Allah. Padahal Dia lah sejatinya si pemilik cinta itu sendiri. Allah lah sang pemilik hatiku. Allah yang berhak atasku. Seharusnya hanya Allah yang ada di dalam hatiku. Bukan 'dia'. Namun aku ... Aku malah membagi dua hati dengan menambahkan nama 'dia' yang bukan siapa-siapa di dalam hidupku.

Dia, orang asing yang menjerumuskan tiap-tiap orang tua ke dalam dosa yang diperbuatnya karena mengajak pada salah satu dari segelintir maksiat yaitu pacaran.

"APA!?," aku memekik setelah mendengar penjelasan Nisa. Apa dia bilang? Tidak mungkin. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai dia kembali. Terlebih untuk.... pokoknya tidak! Aku tidak mengharapkan itu!.

Nisa tertawa melihat reaksiku. Temannya pun ikut tersenyum. Hah ... mungkin dia segan untuk ikut menertawai.

Kakiku lemas seketika. Rasanya sudah seperti jeli yang tak sanggup menopang berat tubuhku lagi. Jantungku berdegup tak karuan. Jangan salah, ini bukan degupan yang berasal karena perasaan bahagia. Melainkan degupan yang berasal dari ucapan Nisa yang lebih cocok jika disebut sebuah ancaman.

🥀🥀🥀

Keesokan harinya aku terbangun dalam keadaan masih sama terancamnya seperti kemarin setelah mendengar kalimat yang keluar dari bibir Nisa hingga tanpa sadar aku membayangkan hal itu. Decakan kesal keluar dari mulutku. Segera kuenyahkan pemikiran itu. Pokoknya itu tidak boleh terjadi.

🥀🥀🥀

Aku berjalan di koridor sekolah menuju kelas dengan arah pandang tertuju pada keramik putih yang sedang kutapaki serta kedua tangan memegang tali ransel yang ada di pundakku.

BRAK!

"Eh, eh, maaf maaf," kataku spontan dan heboh sambil beralih menatap orang yang kutabrak.

"Punya mata dipakek!," responsnya disertai decakan dan ekspresi dingin sampai membuatku membeku di tempat. Dia berlalu setelah mengatakan itu. Sempat kulihat tangannya menepis bagian dari sisi seragamnya yang tak sengaja kutabrak. Seolah itu hal yang menjijikan. Seolah virus yang ada padaku akan tertular padanya jika dibiarkan.

Aku menoleh ke belakang. Terlihat dari lalu lalang siswa lainnya, punggung Ammar sudah menjauh. Hal itu menekankan bahwa dia tak akan pernah bisa kugapai. Batu tak akan pernah bisa mencapai rinai hujan kalau bukan hujan yang menghampiri batu dengan bulir-bulir rintiknya. Begitupun aku yang bagaikan batu ini. Tak kan dapat meraih Ammar, si hujan itu, kecuali hujan itu sendiri yang  menghampiri.

🥀🥀🥀

To be Continues

Dear Allah Am I Beautiful(?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang