01. Hanya Sekadar

194 18 5
                                    

"Dinda. Gue mau bilang sesuatu sama lo," pupil mataku refleks melurus tepat ke bola matanya. Tak percaya bahwa yang mengatakan itu adalah orang yang sudah lama aku sukai. Ammar namanya.

Perasaanku campur aduk saat ini. Bahagia, tak sangka, malu, terharu, tentu juga sedih karena tak seharusnya aku berhadapan dengan Ammar seperti posisi kami saat ini. Dia lawan jenis. Bertatapan hingga menimbulkan suatu prasangka dalam hati itu akan menjadi sebuah dosa!. 

Ah ... hati dan pikiranku sedang tak bisa berkompromi. Kalau sudah begini aku bingung ingin mengalihkan dengan apa. Tapi, sebagain dari dalam diriku menyuruh untuk tetap berada di sini. Di posisi semula guna mendengarkan kalimat lanjutan Ammar.

Aku hanya bisa menunduk setelahnya. Tak lama sorak-sorai dari teman-teman yang ada di kelas seakan menusuk indera pendengaranku dan perkataan yang menyakitkan pun menggema hingga mengaung-ngaung sampai saat ini di telingaku.

"Jadi, sebelum semuanya terlambat, gua cuma mau ngasih tau ke elo. Tolong jangan banyak ngarep ke gue. Gue tau selama ini lo suka gue, 'kan?...," dia menjeda dan aku masih tak berani untuk sekadar mengangkat kepala, kebas karena kelamaan menunduk.

"Cukup jaga hati lo buat cowok yang lebih pantes lo sukai. Gue nggak pantes untuk lo sukai. Dan ... lo, lo nggak pantes sukai gue," imbuhnya. Bersamaan dengan sepatu berles putih yang kian hilang dari pandangan mataku. Dia sudah pergi.

Ya. Ammar betul. Aku memang tak pantas menyukainya. Ya! Aku tak pantas menyukai semua orang. Aku, si jelek ini memang selalu dilihat sebelah mata. Ya, aku maklum.

Aishh ... aku tak boleh menjadi gadis yang melankolis. Ini bukan drama ataupun sinetron galau dengan tokohnya yang tak ada bosan-bosannya menangis.

Aku adalah aku. Si Adinda Swarai Akbar. Walaupun tak secantik gadis populer di luaran sana, namun aku tetap percaya bahwa kepopuleranku dimata Allah jauh lebih penting jika dibandingkan dengan dunia dan seisinya.

Nafasku lolos begitu saja dari mulutku. Ya, aku tahu hal itu. Populer dimata Allah jauh lebih penting. Namun, tetap saja tak mudah untuk menerapkan dan menanamkan hal itu di dalam hati.

"Oi! Bengong aja. Kesambet saiton ntar," aku menoleh sedikit ke samping. Faza baru datang dan duduk di sampingku.

"Faza," panggilku. Ku perhatikan Faza lamat. Mungkin dia bingung kenapa aku melakukan ini. Aku mendambakan kehidupan seperti Faza. Berasal dari keluarga yang berada, cantik, pintar, dan populer. Huft ... kenapa sih aku tidak seperti itu saja? Ya Allah ... aku benar-benar hamba yang tidak bersyukur. Ah, sudahlah.

"Ada apa sih, Din? Gaje tau nggak. Hahaha," Faza tertawa.

"Lo kok gendutan, Za. Padahal baru sehari nggak ketemu. Signifikan amat dah puber nya," kataku berdalih sambil terkekeh.

"Kelebihan asupan gue di rumah."

🥀🥀🥀

[Author's P.o.V]

"Mar. Lo kenapa sih suka banget gue liat ngedrama di depan si Dinda. Heran gue. Kalo suka istimewakan dia. Bukan malah ngejatuhin gitu. Ck ck ck. Beda lu beda," Fauzan berdecak kecewa sambil menunjuk-nunjuk Ammar. Dia heran, disaat orang-orang menyatakan perasaanya karena ketertarikan terhadap seseorang, Ammar malah menjatuhkan orang yang dia sendiri menyimpan rasa padanya. Dinda. Ya, perkataan Ammar tadi saat di kelas gadis itu merupakan suatu kebohongan besar yang jika dikuak akan tercium semerbak wanginya ke seantero sekolah. Tidak, hal itu wangi bagi Dinda. Namun, tidak tentu pasti dirasakan oleh para pengagum Ammar. Siswa populer yang sering melangkahkan kakinya ke mushalla tiap jam istirahat dimana yang lainnya lebih memilih untuk ke kantin. Namun, Ammar berbeda. Entah untuk apa, padahal sedang waktunya makan. Begitulah yang terpikirkan oleh beberapa siswa maupun siswi di sekolah itu saat tak sengaja melihat Ammar di dalam mushalla.

"Lo nggak ngerti aja," balas Ammar singkat hingga tak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya, "kalo gue mau, gue bisa," lanjutnya yang kini beralih menatap Fauzan.

"Lha, terus?," Fauzan mengernyit.

Lama Ammar menatap Fauzan. Seolah lewat tatapan itu ia dapat menyalurkan apa yang sedang dirinya pikirkan. Namun, percuma. Ammar malas menjelaskan panjang lebar mengenai jodoh, rezeki, dan kematian yang pernah dia pelajari. Takut terkesan menceramahi. Biarlah teman sejawatnya itu memahami sendiri hakikat suatu hubungan yang baik dan benar dimata Tuhan.

[Author's P.o.V End]

🥀🥀🥀

KRIIING!

Bel pertanda usainya kegiatan pembelajaran hari ini berbunyi. Setelah membenahi alat tulis ke dalam ransel, aku dan Faza bergegas meninggalkan kelas dan berjalan seperti biasa hingga sampai di depan gerbang sekolah guna menunggu bus yang lewat yang bisa kami tumpangi.

"Eh, lu! Ditolak ya sama Ammar tadi. Hahaha kasian banget ya, lu. Makanya jangan banyak ngalu deh jadi orang," kata salah satu dari dua siswi yang tiba-tiba menghampiri kami namun sepertinya perkataannya itu tertuju hanya untukku.

"Percuma dong kerudungan kalo HA-LU~," timpal satunya lagi. Kentara sekali oktaf mengejeknya. Aku hanya bisa mengembuskan nafas pelan. Ingin sekali ku berteriak di depan muka mereka berdua ini, memberitahu bahwa aku tak ada urusan apapun dengan keduanya. Namun, niatku itu urung seketika tergantikan oleh perasaan bingung sekaligus terkejut saat tiba-tiba Ammar datang dan berhenti di antara kami.

"Gue tanya sama lo berdua," jeda sesaat sebelum dia melipat kedua lengannya di dada, "berhubung gue baru tau nih ya. Emang percuma ya kalo orang pake kerudung tapi sifatnya masih buluk?," Ammar menaikkan kedua alisnya menatap dua siswi ini yang tampaknya sudah layu ditanyakan hal seperti itu.

Keduanya diam namun rautnya masih garang. Bibirnya komat-kamit. Pfft ... kurasa dia kesal dan berakhir dengan mengumpat orang. Pada akhirnya, dua siswi itu pun berbalik arah dan melangkah meninggalkan tempat semula.

Kini tinggal kami bertiga. Aku, Ammar dan Faza yang sedari tadi diam menyaksikan.

"Kalo digituin lagi, sabar aja. Nggak usah perduliin," kata Ammar tanpa ekspresi. Datar seperti biasa, "oya, gue kesini karena nggak sengaja denger. Gue nggak enak gara-gara omongan gue yang pas di kelas, lo jadi diginiin orang," ia memperjelas kedatangannya kemari. Sejak awal seharusnya aku tak perlu jatuh hati terhadap lelaki yang satu ini. Niatnya hanya ingin membantu. Bukan membela apalagi melindungi aku yang tidak ada apa-apanya dimata dia.

"Strong, strong!," Faza tersenyum penuh semangat sambil menepuk-nepuk pundakku yang ku balas dengan senyuman pula.

🥀🥀🥀

To be Continued....

Dear Allah Am I Beautiful(?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang