"Faza. Gawat gawat. Lo musti samperin si Andika. Dia di kelas nya Saffat!," ucap seorang siswi dengan rambut sebahu berupa nada titahan.
Kulihat Faza di samping yang kini dengan raut bingungnya menatap siswi tersebut, "Lho ... kok gue?," tanyanya.
"Mereka berantem gara-gara elo!," seorang siswi dengan rambut tergerai hingga punggung menyahut tepat saat kedatangannya di sini. Badge name di seragamnya memaparkan nama Kalila Nafara.
Sepertinya dia tidak menyukai teman sebangku ku. Dapat dilihat dari caranya menatap Faza. Remeh.
"Hah?!," hanya itu respons Faza sebelum dia melangkah keluar kelas.
"Sok kecantikan jadi orang," kutatap orang yang berkata barusan.
"Apa?!," Kalila membubuhi saat sadar aku menatapnya tak biasa.
Ingin ku tanggapi perkataannya, namun malas. Aku takut tersulut emosi jika lebih lanjut menggubrisnya. Maka, kupilih saja menyusul Faza di kelas ... kalau tidak salah kelas X11 MIPA-2. Kelasnya Saffat.
"Kalian ngapain sih pagi-pagi bertengkar gini!? Kayak anak kecil tau, nggak?!," suara Faza menggema di dalam kelas hingga terdengar olehku tepat saat aku tiba di ambang pintu dan memilih untuk tetap berdiri di sini. Menyaksikan dari jauh perdebatan antara Faza dan dua lelaki yang setau aku menaruh rasa suka padanya.
"Faza. Lo jangan mau didekatin dia. Dan buat lo, Saffat, jangan coba-coba ngerayu Faza buat lo jadiin kelinci peliharaan lo," kata Andika datar namun sarat dengan nada mengancam. Mataku membulat usai mendengarnya.
"Maksud lo apa? Ini ... kursi gue. Ngapa jadi lo yang dudukin?," aku kembali mendengar suara yang berbeda. Dalam nada bicaranya, tak sedikit pun terdengar nada yang penuh emosi. Padahal Andika sudah lewat batas mengatainya, kelinci peliharaan pula. Namun, Saffat tetap tenang menghadap si Andika itu. Hmm ... dari penampilannya saja, terlihat bahwa dia memang orang dengan pembawaan yang tenang. Atau dengan istilah kerennya ... kalem. Pantas saja.
"Berdiri jangan di pintu. Orang nggak bisa lewat," aku menoleh begitu mendengar suara baritone yang berasal dari belakang.
"Maaf," kataku sebagai respons. Lalu, geser dua langkah ke bagian kiri hingga tubuhku dapat ku letakkan di kayu penyangga pintu.
Ammar. Dia begitu benci denganku. Lihat lah, bahkan dia melewatiku begitu saja. Aku di sini hanya dapat menatap punggungnya. Dia berjalan ke arah kerumunan Faza. Tunggu, jadi, apa yang kuharapkan sih sebenarnya?! Bagus lah kalau dia melewatiku. Tanpa berbalik lalu mencelaku lagi seperti biasanya dengan mulut tajamnya itu karena berdiri di tengah sumber lalu lintas. Walau pun dia memiliki mulut yang tajam, herannya, aku tetap tak bisa menyanggah bahwa perasaanku terhadap dia masih sama. Belum pernah terkikis dengan lontaran kata-kata tajamnya yang menyakitkan hati.
🥀🥀🥀
"Duhh ... sakit sakit, woi. Dinda!," Faza meringis lantaran tangannya yang tergores bangku tengah bersentuhan dengan kapas yang sudah kubasahi oleh air alkohol pembersih luka yang ada di UKS.
"Tahan dikit woi," kataku yang masih fokus pada bagian telapak tangannya dimana terdapat garis-garis lurus yang memerah.
"Lagian gimana ceritanya, kok lo bisa jatuh tadi?," lanjutku berupa pertanyaan. Sekilas melirik Faza. Walau pun aku melihat kejadian tersebut, namun aku tetap bertanya untuk memastikan jawaban yang diberikan Faza.
Aku heran. Hanya karena satu perempuan Andika dan Saffat sampai bertengkar nyaris bangku hantam. Dan itu lebih dominan pada Andika yang emosian. Saat kejadian beberapa menit yang lalu, sebelum bel masuk jam pelajaran pertama berbunyi, Andika hampir melayangkan tangannya ke arah Saffat. Namun, Faza menahan dengan cara menggapai tangan Andika. Alih-alih berhasil, Faza justru kesandung kursi yang ada di antara mereka. Hingga tangannya tergores dengan ujung kursi tersebut. Alhasil meninggalkan luka di telapak tangan kirinya. Tidak berat, sih. Hanya luka ringan. Syukurlah.
Memikirkan itu menambah kesyukuranku terhadap rupa yang telah Allah beri untukku. Dengan ini, aku dapat hidup dengan lebih tenang dibanding Faza. Maksudku, tanpa ada bombardir pernyataan dari orang yang mengagumi. Tentu, tak ada yang rebut sana-sini sampai berkelahi seperti dua lelaki yang menyukai Faza.
Huft ... ternyata, menjadi cantik tak seindah seperti apa yang aku perkirakan. Jelek pun tak seburuk dengan apa yang selama ini sering aku pikirkan. Terlebih mengherankan lagi, kenapa dulu ada orang yang mau menjadikan ku pacar? Padahal aku tak cantik. Hal ini patut ku pertanyakan sepertinya.
"Kambing, kambing, kambing! Eh, hush hush. Pergi. Pergi. Dinda cicak jatoohh," Faza menepis-nepiskan tangannya di udara berharap dengan begitu cicak jatuh yang ada di hadapannya bisa musnah dalam pandangan mata.
"Ih ... kasian. Ekornya copot," kataku. Lalu beralih mengambil kapas di dalam kotak P3K sebagai media memegang cicak tersebut untuk kubuang ke luar. Tapi, sebelum itu, aku mencoba menakuti-nakuti Faza dengan mengancang-ancang cicak tersebut ke wajah Faza. Dia menjerit heboh. Lebay si Faza. Aku tertawa. Baru lah cicak itu betul-betul musnah karena telah berpindah tempat ke tong sampah.
Aku kembali dengan menarik kerudung Faza sambil menjulurkan lidah, mengejeknya. Dan, lagi-lagi suara nyaring keluar dari mulutnya. Hal itu berhasil membuatku terpingkal-pingkal. Lucu sekaligus iba melihat ekspresi wajahnya dengan kerudung yang sudah maju ke depan.
"Senyum," kataku dengan seyum termanis yang kupunya. Dia mendumel tak jelas. Haha biarkan. Mengolok Faza memang sudah menjadi suatu hobi bagiku.
🥀🥀🥀
Ku ambil smartphone yang sengaja ku taruh di dalam lemari. Karena bosan, sepulang dari sekolah tak tahu apa yang ingin ku kerjakan, jadinya, aku memilih untuk berselancar di media sosial dengan membuka instagram.
Ibu jariku menscroll tiap postingan. Lalu, karena semakin bosan, aku mengklik tombol love di bagian bawah instagram yang biasa memaparkan aktivitas-aktivitas penggunanya seperti ; komentar dan menandai.
Mataku terpaku pada bagian paling atas laman tersebut. Di sana tertera orang-orang yang meminta untuk mengikutiku. Jariku mengklik tulisan 63 has ben requested followed you. Semua yang ada di dalam daftar permintaan mengikuti tersebut, keseluruhannya para lelaki. Dan salah satu dari enam puluh tiga para calon pengikut ig-ku, satu nama berhasil mencuri perhatianku. Mataku hanya terpaku pada nama itu.
Izyandinangga has requested followed you.
Sejak putusnya hubungan, ehm. Hubungan, sungguh, aku berat sekaligus malu mengakuinya. Izyan sering bertanya tentangku kepada teman-temanku seperti informasi yang pernah ku dapat dari Yumna, teman semasa SMP, melalui whatsApp. Dia satu sekolah sekarang dengan Izyan.
Aku heran, tujuan Izyan menanyaiku apa, sih? Padahal, dia sendiri yang memutuskan hubungan tidak jelas itu. Katanya begini, "Bilang sama Dinda, kayaknya gue sama dia udahan di sini aja. Gue mau fokus," dan itu pun ku dengar melalui perantaranya yang tak lain Yumna. Sebegitu jelek kah aku hingga detik-detik putus pun dia tak mau berhadapan langsung denganku. Huft ... ditambah dengan pernyataan Nisa dua hari lalu yang membuatku panas dingin memikirkannya. Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran si Izyan.
Dan permintaan untuk mengikuti di instagram pun sudah lama dia lakukan. Namun, aku tetap teguh pada pendirianku untuk tidak mengizinkannya mengikutiku. Selama apa pun namanya bertengger di situ, aku tetap tak akan luluh dengan mengingat masa lalu!.
Beruntung lah akun instagram ku privat. Jadi, hanya yang kuizinkan saja yang dapat melihat postinganku.
🥀🥀🥀
To be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Allah Am I Beautiful(?)
Tâm linhAdinda merupakan siswi biasa di sekolahnya. Dia tak cantik, jelek pun tidak. Dapat dikatakan siswi yang memiliki image dibawah standart. Namun, ada seorang lelaki yang menaruh hati padanya. Lelaki itu melihat Dinda dari sudut pandang yang berbeda. M...