"Gio!! Tolongin mbak dong sini!"
"Apa mbak?" Gio terengah-engah dan gelisah melihat ku yang tengah kwalahan mengangkat pakaian yang dijemur di samping rumah ini.
Tangan ku masih sibuk memilah pakaian mana yang basah dan kering, "Lah ini buruan bantuin mbak-
"Iya-iya mbak ini tak bantuin"
Gerimis semakin mengguyur kami tetapi akhirnya dengan bantuan sepupu ku satu ini, aman terkendali!
Saat Gio menemukan satu set seragam futsal nya, wajahnya seketika panik.
"Mbak, ini gimana seragam ku??!" Disodorkannya seragamnya ke wajah ku.
"Eh, apasih ini, jangan ke wajah mbak dong!" Tanganku reflect meraba pakaian yang memang setengah lembab.
Ide kreatif ku langsung terlintas dengan menjemur nya di belakang kulkas dengan bantuan hanger seperti yang diajarkan oleh Almh. Ibu ku.
"Wih, keren mbak." Kedua jempolnya pun turut andil memberikan komentar.
***
Malam ini tante Lusi sedang keluar dengan om Frans, biasa-lah, layaknya bak sepasang kekasih di masa remaja dan kami hanya ditinggal berdua saja.Kulihat Gio yang asyik menonton televisi siaran kesukaannya, aku pun menghampirinya. "Gio, besok jadi mau futsal-an?"
"Iya, mbak. Jam 10 ya, mbak. Jangan lupa." ujar nya tanpa menoleh sedikit pun ke arah ku.
Jempol tangan kiri ku pun naik menandakan iya "Oke." ucap ku.
"Mbak, aku mau nanya."
"Nanya apa?"
"Mbak masih penasaran ga sih sama anak nya bu Rohma?"
Aku cuma bisa diam. Jujur saja, aku kaget dan sedikit tersedak. Aku harus jawab apaa??!
"Kok diem, mbak?" Gio menoleh ke arah ku. Dia menunggu jawaban.
"I-iy-yya mbak masih penasaran gitu kan mbak baru aja pindah kesini. Jadi belum kenal gitu orang sini." jelas ku.
Gio hanya mengangguk-ngangguk kan kepala nya. "Yakin, mbak?"
"Hah?"
Kini aku duduk dengan benar menghadap ke arahnya seakan meminta penjelasan lebih.
"Yaudah mbak, besok mbak bakal tau jawabannya."
"Jawaban apasih?? Emang mbak nanya apa?"
Dia masih saja fokus ke siaran televisi itu. "Lah, gimana sih, mbak? -
Mbak kan nanya dia siapa, ya pokoknya tentang dia lah, gitu kan?"
Aku hanya mengangguk kan kepala ku dengan cepat dan meraih keripik kentang di meja tempat kami menonton.
Aku menyuapkan satu keripik itu ke mulut ku, "Oke kalo gitu."
***
Malam itu menjadi hal yang ku habiskan berdiskusi tentang kehidupan kuliah ku dan cerita SMA nya.Hujan sudah berhenti sekitar 20 menit yang lalu, keripik kentang juga sudah ludes kami lahap. Tetapi jam masih menunjukkan pukul 8.30 malam.
Kami memutuskan untuk naik ke loteng, hanya untuk melihat bintang. Ya! Kenapa bintang? Biasanya orang pasti memilih untuk kembali ke kamar nya dan bergegas tidur.
Bagaimana dengan kami?
"Tumben nih ada bintang, pasti hujan nya cuma numpang lewat" katanya.
Gio merenggangkan tubuh nya menghadap langit yang tidak mendung lagi.
Aku berdiri di samping Gio, dia memang lebih tinggi lima senti dari atas kepala ku.
"Aku suka bintang, mbak."
"Mbak tau, dari kecil kamu suka bintang."
"Dan aku ingin jadi bintang."
Aku menoleh dan menopang dagu di pembatas loteng itu. "Kenapa?"
"Dia memiliki sinarnya sendiri. Dia bersinar walaupun sendiri. Dan lebih bersinar lagi bersama teman-temannya."
"Hmmm" Aku pun kembali melihat bintang yang masih memiliki sinar walau tak terlalu terang. Memikirkan makna dan filosofinya.
'Bener juga apa kata Gio, walaupun Bunda sama Ayah sudah tiada, aku juga harus bisa bersinar seperti bintang.' Aku berkata dalam hati ku.
Gio sedikit merunduk, seakan ingin berbisik. "Aku punya satu rahasia, mbak"
"Apa tuh??" Tingkat kepo ku seakan naik dan turut berbisik dengannya.
"Aku ngefans sama.."
"Sama siapa?"
"Gioo, Araa.." Terdengar suara tante Lusi sudah pulang dan memanggil kami.
"Nanti deh, mbak, hehe"
"Gioooo!!!"
Akhirnya rahasia itu masih tetap menjadi rahasia, entah kapan Gio akan melanjutkan.
tbc
Sept 17, 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Lens
Teen Fiction[On Going] Niara yang hanya seorang yatim piatu bisa mendapatkan perhatian dari seorang pendaki. Hijaber yang baby face itu telah mengambil alih perhatian pria itu dengan lensa nya. "Aku belum pernah mengatakan hal penting apapun kepada seorang pria...