Dito mondar-mandir tidak karuan dengan beberapa tumpukan kertas project yang sudah di coret-coretnya. "Rohid udah dihubungi lagi, ga? Ini udah lewat lima belas menit."
"Udah, terakhir di hubungi sepuluh menit yang lalu katanya tunggu bentar." Bian memeriksa layar ponsel nya, mengecek kapan terakhir Rohid online.
Dito terduduk gusar, tumitnya bergerak naik turun menandakan kesabarannya kian habis. Kemana tuh anak? Semoga aja ga kenapa-kenapa sama Ara. Batinnya.
Basecamp terasa ramai dan pengap karena menunggu dua personil lagi yang belum hadir, padahal saat itu hanya ada empat orang.
Kertas itu dimasukkan nya ke dalam tas ransel nya, ia berjalan keluar untuk merasakan beberapa saat angin yang berhembus di area sejuk itu.
Ia berkacak pinggang, tubuh nya di busung kan ke depan, merenggangkan beberapa otot. Satu menit kemudian, terlihat dari sana tampak sepeda motor Rohid melaju menuju parkiran basecamp milik mereka.
"Kurang lama kau datang!" teriak Dito.
Rohid segera menemui sang ketua, menatap mata nya dan menepuk pundak kiri Dito. "Santai dong, Bro! Tadi Ara nih yang lama."
Ara yang masih mengatur nafasnya yang turut ikut menghadap Dito seketika menoleh ke kanan memasang wajah kesal, "Eh, kok aku?? Gak!"
Ara menoleh kembali ke depan, mengarah ke wajah Dito. "Dia bohong Bang. Aku gak lama, kok. Dia aja yang asyik ngobrol sama Gio tadi."
Kini wajah Ara menjadi merah namun Dito malah mencolek pipi kanan nya. "Udah, ga apa-apa, kok. Ya udah yuk kita langsung berangkat aja. Entar takutnya macet atau apa."
Mereka bergegas mengambil barang-barang yang sudah di siapkan sebelumnya, kemudian di angkut ke dalam mobil pick up empat bangku milik salah seorang teman kami.
Dito menyetir dan Rohid ada di depan bersama nya. Tiga puluh menit berlalu namun belum ada tanda-tanda mereka membuka pembicaraan.
Bian mendehem, membuka snack miliknya dan sengaja membuat keributan karena Dito tidak menyalakan musik di dashboard.
"Ya udah sih kalau pengen ngobrol, ngobrol aja." Ucap Dito dengan mata yang masih fokus ke jalanan.
Ara melihat spion dalam mobil, dan tidak disangka Dito juga sedang menatapnya kini. Ara langsung memalingkan wajah nya ke luar jendela dan seakan tidak mengetahui apapun.
Perjalanan menempuh dua jam lewat tiga puluh menit namun perjalanan terasa sangat lama karena beberapa meter jalanan yang dilewati rusak dan banyak pasir nya sehingga memperlambat laju ban.
Bian yang masih memegang bungkus snack nya tertidur pulas dengan remah-remah yang masih menempel di pipi nya. "Woii bangun! Molor mulu lu, ah!" teriak Dito di samping jendela yang sudah di buka nya setengah.
"Kak Riri, tas yang tadi Kakak letakkan dimana, ya?" ucap Ara lirih karena barusan juga terbangun karena teriakan Dito.
Riri yang berada di bagasi mobil, tidak mendengar dan mengabaikan sahutan Ara.
"Nih. Kalau punya barang dijaga baik-baik." ucap Rohid.
Ara menerima nya ragu, "I-iya makasih."
Entah kenapa Rohid berubah drastis sejak Ara meninggalkan nya sejenak saat ke kamar mandi sebelum berangkat tadi.
Matahari seakan semakin bergulir ke sisi Barat menandakan sudah semakin sore. Dan tenda untuk tidur nanti malam pun sudah rampung kami dikerjakan.
Dito mencoba menyalakan api kayu bakar untuk menghangatkan kami dan untuk memasak.
"Ara, sini." panggilnya.
Ara segera mendatangi Dito yang sedang berjongkok di depan kayu bakar itu. "Tolong ambilkan kayu itu, ya?"
Cuma nyuruh gitu doang? Ck, dia juga bisa sendiri, kan? Batin Ara.
Ara yang hendak memberikan kayu itu, tidak disangka langsung menyambar lengan Ara sehingga kayu itu terjatuh di dekat kayu Dito.
"Kamu gak papa, kan?"
Ara yang terheran lalu memandang intens iris mata itu, "Hah? Apanya yang gak papa, Bang?"
"Waktu perjalanan ke basecamp tadi, emm-"
Ara menunggu Dito menyelesaikan kalimatnya, tetapi Rohid sudah berada di belakang tubuh Ara.
"Udah beres belum? Kok lama Bang?" ucap Rohid sambil memandang sinis Ara.
"Iya ini mau dikerjain, kok. Ara kamu tunggu di dekat tenda aja, ya?"
Ara mengangguk, "Iya, Bang."
Suasana malam ini cukup dingin, tetapi tidak dengan pikiran Ara. Hati dan pikiran nya saat ini sedang berantem tidak karuan, tidak akur, saling gulat dan entah bagaimana lagi ia akan mendeskripsikan nya.
Api mulai berkobar disana, suasanya mulai hangat, di dalam tempat yang tidak terbuka sehingga angin tidak berhembus dengan kencang.
"Temen-temen, kita kumpul sebentar, ya?!" teriak Dito.
Saat Ara hendak bangkit dari bangku plastik kecil itu, kaki nya tersandung pasir sehingga kedua dengkul dan tubuhnya menubruk tumpukan pasir itu.
Semua mata tertuju pada nya, tak lama suara mereka bersorak ria menertawakan Ara yang hampir mencium pasir itu. Kecuali Dito.
Dito berlari kecil ke arah Ara dan membantu mengangkat tubuhnya. "Makanya kalau mau jalan itu hati-hati."
Ara menunduk malu dan tidak berani menatap teman-teman yang berada disana untuk beberapa saat.
Rohid kok diam aja? Apa dia udah ga suka sama aku? Eh, emang kapan dia bilang suka sama aku? Ih, kok kesel, sih?! Pikir nya.
Saat sudah berkumpul, Dito mengarahkan Ara untuk duduk di sampingnya karena sedang dilanda malu.
Saat breefing dan renungan malam telah usai, mereka dibebaskan untuk berjalan-jalan sebentar untuk mencari ide lain dari hasil yang di diskusikan.
Saat semuanya sedang tidak di area tenda, diam-diam tanpa diketahui siapapun, Rohid telah menaruh sebuah batu berbentuk love di dekat tenda Ara. Dengan balutan daun mirip rumput laut.
tbc
Mei 24, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Lens
Teen Fiction[On Going] Niara yang hanya seorang yatim piatu bisa mendapatkan perhatian dari seorang pendaki. Hijaber yang baby face itu telah mengambil alih perhatian pria itu dengan lensa nya. "Aku belum pernah mengatakan hal penting apapun kepada seorang pria...