8#Keputusan

11 5 0
                                    

"Kau lagi ngapain, sih, Ra? Sibuk bener kaya nya sama kamera mu."

Aku mengambil keripik kentang pedas dari tangan Nina. "Ini, loh. Aku lagi liat-liat objek yang aku take di belakang rumah Tante ku."

Nina tidak kalah cepat mengunyah chiki-chiki yang ia beli di kantin fakultas tadi siang. "Trus, sore ini kita mau ngapain?" tanya nya.

Kamera nya ku turunkan dari pandanganku, mendongak seperti memikirkan sesuatu. "Oh, iya!" Jari ku menunjuk ke atas mendapatkan ide baru.

"Apaa??"

"Bantuin aku bikin konsep untuk project kating itu aja, yakan?? Yakan??" Alis ku naik turun seraya menggoda nya agar dia mau membantu ku.

Nina meneguk air mineral dan mengarahkan wajah kusut nya ke arah ku. "Itu sih project mu, harus ide mu lah. Lagian, aku lagi males mikir, sih. Dah, ah. Aku ke toilet dulu."

"Yahh" Aku langsung cemberut diabaikan seperti itu.

Tapi entah kenapa aku langsung teringat surat yang di titipkan oleh Ibu nya tiga hari lalu. Kalau ketemu dia hari ini, jawab apa, ya?? batin ku.

Langsung ku ambil surat itu, ku baca sekali lagi. Kebingungan ku semakin menjadi. Kepala ku pusing, aku memutuskan untuk pulang.

Ku bereskan barang-barang ku dan Nina, dan ku tunggu ia di toilet taman. "Kita pulang, yuk? Udah sore juga."

Nina tidak menaruh curiga pada ku. Ia langsung mengiyakan tanpa basa-basi lagi. Di sepanjang jalan, aku hanya menikmati angin yang menghantam wajah ku. Motor Nina terasa melaju dengan lambat.

Tiba di kamar, aku mengeluarkan surat itu lagi. Meletakkan nya di atas meja. Ku perhatikan, ku bolak balik lagi sehelai kertas yang beraroma mint itu.

To: Gujih

Belakangan ini aku tau, kamu sudah mencari tau tentang aku.
Sepupu mu, Gio. Dia banyak cerita banyak tentang mu.
Ku kira, tak ada salahnya mengajak mu untuk ikut camping ke pantai bersama ku. Tenang saja, bukan hanya kita berdua, kok.
Aku tunggu jawaban mu, segera.

Rohid,

"Arggh. Tante bakal ngizinin ga, yaaa??" Aku mengacak rambut ku yang tadi nya rapi menjadi seperti anak singa jantan.

"Pokoknya harus ngomong sama Tante malam ini. Gak mau tau gimana caranya. Aku pengen banget camping," ucap ku pada diri sendiri.

Rentetan mobil lalu lalang di jalanan kota. Malam ini aku di ajak Gio untuk menemani nya mencari martabak. "Kamu ngidam, Gio?"

Gio yang sedang antre di samping penjual itu hanya bertingkah konyol berekspresi seperti senam wajah.
"Mbak, mau, gak?" tanya nya.

"Mau, dong. Tapi traktirin" jawab ku cepat. "Heleh, cepet banget kalo minta traktiran. Yaudah deh."

Aku butuh makanan manis malam ini. Kepusingan ku menguras energi lebih. "Gio," panggil ku.

"Kenapa, Mbak?"

"Rohid ngajak camping bareng."

Gio langsung menoleh cepat ke arah ku. Menggaruk kepala nya yang entah kenapa. "Waduh. Gimana, ya, Mbak? Mama bakal ngizinin ga, tuh?"

Aku hanya menaikkan kedua bahu ku tanda tidak tahu. "Mbak takut mau ngomong ke Tante."

Gio menepuk dagu nya berkali-kali dengan jari telunjukkan, seakan sedang memikirkan mencari jalan tengah. "Aha! Aku punya ide, Mbak."

"Apa, tuh??" jawab ku semangat. "Tapi nanti kalau udah di rumah, yee. Sabarrr"

Aku mengelus dada menahan kesabaran namun tetap saja jantung ini berdegup sangat cepat. "Oke, kalau begitu"

Om Frans ternyata pulang lebih larut. Aku bisa membicarakan ini dengan Gio dan Tante tanpa Om Frans tahu. "Ma, Gio boleh ikut camping, gak?"

Aku yang tengah menyuapkan satu potong martabak pun kesedak kaget, tidak percaya. Aku langsung memplototin nya.

"Boleh, dong." jawab Tante. "Tapi Mbak Ara ikut juga, Ma."

Martabak itu masih berada di tangan ku, menunggu keputusan Tante. Kaki ku yang sedari tadi dihentak-hentakkan ke lantai, kini ikut menunggu keputusan Ibu Negara di rumah.

Tante melihat ku dan Gio secara bergantian. Begitu pun aku dan Gio saling bertatapan. Malam itu menjadi malam yang tegang.

"Engga." jawab Tante.

"Hah, boleh lah, Ma. Plisss" pinta Gio yang memegang tangan Mama nya yang berlumur cokelat dan susu.

"Kalau sama kamu, Mama ga percaya." Gio menarik nafas, "Kalau sama Ka Rohid, juga?"

Dahi Tante mengernyit, seakan menatap ku meminta penjelasan. Aku hanya nyengir tidak karuan. "Rame, kok. Tante. Temen-temen organisasi Fotografi doang."

"Hm, oke kalau gitu. Tapi ada syaratnya." Dua jari Tante Lusi diangkat. "Satu. Tidak boleh lebih dari tiga hari. Kedua. Saat pulang, tidak boleh kurang apapun."

"Hanya itu, Ma?" Dengan kesenangannya, martabak itu seketika di lahap nya dengan semangat.

"Iya, hanya itu." Jawab Tante. Yess, akhirnya. Lega juga. Bisa kirim surat, yeay, batin ku.

Selesai makan, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku dengan pena cantik ku dan kertas yang berwarna warni, dilapisi amplop sederhana. Siap untuk dikirim ke tuan nya.

Hari-hari berjalan dengan baik. Aku dengan Senior Dito yang semakin kelihatan saja dia mendekati ku, membuat ku risih. Ingin segera ku akhiri jika project ini selesai.

Tapi, ide hanya sebatas ide. Kita bisa berencana dengan baik, tetapi jika alam tidak memberikan restu. Apa mungkin kita dapat melaksanakannya?

tbc

Mei 12, 2020

LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang