6#To : Gujih

18 6 0
                                    

Gio membalikkan lembar demi lembar buku novel fiksi nya. Dengan bersenderkan bantal dipunggung nya, buku setebal dua ratus halaman itu telah rampung dibaca nya hingga separuh halaman.

Gubrakk

"Hoi! Gabut amat di kamar, Yo! Keluar yuk! Mbak gak ada temen."

Aku duduk di sisi kasur big size Gio yang ditata rapi tidak terkesan nyemak di kamar.

"Males ah, mbak. Mbak aja" jawabnya tanpa berpaling dari buku kesayangannya itu.

"Males mulu!" aku bengong sendiri di posisi duduk ku. Lalu memilih untuk duduk di lantai bersender kan sisi samping kasur. "Padahal mbak mau cerita.." ucap ku.

"Ya cerita aja kali, mbak. Aku dengerin."

Dengan duduk bersila di lantai, rasanya pun masih kurang nyaman. "Mbak kemaren ketemu sama bocil"

"Hah?" Gio menoleh ke arah ku setengah rebahan. "Siapa tuh bocil?!"

"Ya bocil! Si Rohid, siapa lagi?"

"Oh. Kirain siapa." Ku lihat dia kembali menghadapkan wajah nya ke buku dan bersender tegak kembali.

"Ih, dia itu ternyata kenal sama senior mbak itu loh..Yo.. Yang pernah mbak ceritakan."

"Oh, dia kan suka fotografi juga, mbak. Wajar aja dong."

"Kok gak ngomong?"

"Ya mbak gak nanya!!" Gio meletakkan buku nya di atas kasur nya dan duduk di meja belajar, membuka laci nya.

"Ngapain Yo?" tanya ku penasaran. Ku hampiri dia ke meja belajar kayu itu.

Gio menyodorkan beberapa cetak foto kepada ku. "Ohh." Namun, dalam hati ku berbisik, 'ya tcakep cuma ngeselin.'

"Terus? Ketemu, ngobrol?"

Lamunan ku tersadar Gio mengambil kembali foto polaroid itu. "Enggak. Mbak kabur sama Nina." jawab ku datar.

"Oalah, mbak! Justru itu kesempatan emas biar mbak gak merasa terkesali lagi sama senior mbak itu." Gio mengambil kursi lain untuk ku.

"Terus mbak harus gimana? Ya kan kemarin itu mbak lgi syok gitu. Kayanya hidup mbak itu sial kalo ketemua mereka berdua."

Gio menghela nafas panjang, tangannya seakan memberi arahan. "Gini ya, mbak. Orang, kalo mau menilai kita itu baik, ya kita jangan pernah nunjukkan sikap nethink dong, mbak. Jadi mereka gak ganggu kita terus..-

Mbak harus ingat omongan dari mbah kita ini."

"Tapi, mbak kaya di bully gitu sama dia, senior mbak ini aneh bin koplak tau ga, dek!" ucap ku tidak sabaran.

"Kalem, mbak. Mbak itu ayu, ndak usah biasakan hal yang ndak bagus kaya gitu."

Aku terenyuh mendengar semangat dari sepupu kandung ku yang begitu mirip dengan Alm. Ayah ku yang begitu memiliki darah Jawanese nya.

"Ya udah mbak istirahat dulu, entar sore kita keliling komplek." ujarnya.

"Naik apa? Ndak ada kendaraan, sepeda rusak, sepeda motor juga lagi di pakai mama kamu kan, dek?"

"Kita naik *sekel, mbak."

***

Aku duduk di pinggiran kasur ku dan mata ku beralih ke meja belajar ku. Beberapa mini notes berwarna mengingatkan ku bahwa ada tugas yang harus aku selesaikan.

Entah kenapa rasanya tidak bersemangat, makanya aku mengajak Gio.

"Yahh yahh, everything's gonna be oke, Ra!! Let's do it!"

Ku cari kembali buku Manajemen Pemasaran lama ku yang telah tersusun rapi di pojokan, "Dapat!", ku telusuri setiap bab nya, "Disuruh menganalisis, ya? Huff, semester lima yang membosankan!"

Aku mendengar suara ricuh di ruang tengah, rasa penasaran ku memuncak, tingkat ke-kepo-an ku meningkat.

Ku dekat kan telinga ku ke pintu kamar, 'Oh, suara tante dan temannya.' pikirku.

Masih sibuk dengan buku tebal di tangan ku, pendengaran ku teralihkan, 'Kok nyebut-nyebut si bocil??'

Aku memberanikan mengintip sedikit hanya untuk tau siapa tamu tante.

"Araa..!" teriak tante dari luar, membuat jari ku hampir terjepit pintu karena tindakan tidak sopan ini.

"Iya tantee.." sahut ku.

Aku keluar dengan merapikan pakaian ku, dan hijab ku. Karena hanya untuk berjaga-jaga saja.

"Eh, bu Rohma datang..heheh"

Tante mengajak bu Rohma untuk duduk di sofa ruang tamu. "Ini, bu Rohma tadi udah cerita, katanya ada yang mau disampaikan dari Rohid, ya bu, ya?"

Aura ceria tante kini berpindah pada ku. Entah karena memang bawaan lahir tante atau nama yang disebutkan itu.

"Oh iya, ada apa bu Rohma?"

Bu Rohma mengeluarkan surat berwarna coklat krim bercorak bunga yang belakangnya ditempel dengan stiker mini bergambar kamera.

"Apa ini, bu?"

"Ya itu surat toh, ndok. Heheh, maksud ibu kata Rohid tolong dikasih kan ke Niara Nasir yang pernah ngantar kue ke rumah ibu." jelas bu Rohma.

"Ohhh, hehe. Terimakasih ya, bu.."

Bu Rohma tersenyum, "Iya sama-sama. Gitu aja ya buat Ara.."

"Hehe iya, bu, tante. Ara masuk dulu.." aku pamit meninggalkan mereka berdua yang tengah asyik mengobrol, terlebih bagi tante yang terkadang butuh teman curhat.

Begitu di kamar, aku melihat tulisan kecil di pojok surat, ditulis menggunakan tinta warna senada dengan kertasnya. "To: Gujih? Maksudnya apa nih?!"

---

*sekel : Kaki.

tbc

Sept 23, 2019

LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang