13#Keinginan

5 1 0
                                    

Dito duduk menghadap arah Timur, menikmati matahari yang memunculkan diri nya inchi demi inchi, Sunrise.

Dia menduduki seonggok batu yang mulai terkikis oleh panas nya pasir dan hembusan-hembusan angin yang kencang.

Panorama yang sangat indah dengan kolaborasi warna senada rasa semangat yang mulai berkobar, kelopak mata itu manatap tajam lurus kedepan.

Di bawah sana seorang gadis dengan hijab nya sedang mengangkat sebuah batu digenggamannya yang berbentuk love ke arah matahari yang ingin menampakkan wujud nya.

Dito memicingkan mata nya dan mulai memperhatikan dengan seksama. Dapat darimana dia?

Di dekat tempat duduknya banyak kerikil kecil, tangan nya mulai nakal untuk melemparkan benda itu ke arah bibir pantai yang ada di bawah sana.

"Bukannya berbahaya ngelempar-ngelempar batu, Bang?"

Dito terdiam. Kedua kaki nya ditekuk dan mulai membenamkan kepala nya di sela itu.

Rohid mengambil tempat tepat disamping nya, dengan posisi yang sama.

Tak lama kedua nya saling menatap sejenak, lalu bernafas perlahan bersamaan.

"Abang beneran?"

"Apa?" Dito menoleh ke arah kiri. Rohid menaikkan sebelah alisnya.

Dito diam sejenak. "Salah, ya?"

"Engga sih. Cuma, lebih baik Abang tanya dulu sama dia."

Dito mengulurkan tangan kanan nya ke arah Rohid. "Thank's, ya, Hid." Rohid memandangi nya, tetapi dia menerima salaman tangan nya.

"Sama-sama, Bang."

Kini hembusan nafas Rohid sedang marathon, namun ia tak ingin membuat orang lain mengetahui gerak tubuh nya yang sedang memburu nafas.

Sebenarnya aku ga ikhlas, Bang. Dia berhasil mengambil perhatian ku.

Mereka kembali berkumpul untuk mendiskusikan sekaligus demo kegiatan yang akan mereka hadapi tiga hari lagi.

Skip

Hari sudah semakin siang, mereka beribadah, makan, dan istirahat. Tidak jarang mereka mengambil sela kegiatan untuk merasakan air itu menyentuh kaki-kaki mereka.

Sesekali terdengar teriakan atas apa yang mereka lakukan hari ini. Melupkan rasa syukur dengan benar akan memberikan dampak yang positif pula. Wajah yang tidak pernah menampilkan aura gelap, tersinari oleh cahaya dari Sang Pencipta.

"Ara!"

Ia menoleh ke sumber suara, tubuh yang berdiri tegap setengah berlari dengan angin yang menerpa dengan sangat kencang itu membuat blouse putih nya melilit dirinya dengan sempurna.

"Ikut aku, yuk?" jari-jari tangan nya seakan mengajak wanita cantik yang ada di depan nya.

Mata Ara memicing sembari tersenyum, raut wajah nya menampilkan sebuah tanda tanya. "Kemana?"

Ia diam sejenak, mata Rohid tertuju lembut padanya. "Nanti juga kamu tau."

Ara mengangguk penuh semangat, seakan ia tidak ingin lagi bersikap sinis pada pria itu.

Langkah kaki yang tidak berirama itu membawa mereka pada suatu tempat di balik batu karang yang besar. Rumput itu sebagai warna yang tepat untuk gradasi suasana.

Saat Ara menghadap depan, di balik nya telah berdiri Dito dengan blouse putih dan celana pendek jeans nya.

Rohid tahu pasti orang yang berada di samping nya akan segera bertanya, lalu ia berjalan mundur dan meninggalkan dua sejoli itu untuk berbicara.

"Bang Dito ngapain disitu?" tanya nya bimbang.

"Sini," tangan nya yang berkulit coklat dengan hiasan urat yang menonjol di bawah kulit mengajak nya untuk duduk di kursi kayu yang entah darimana mereka dapatkan. "Disitu panas."

Ara hanya berjalan lunglai dan seakan tidak ingin berada di posisi saat ini.

"Ada yang mau di omongin, Bang?"

Dito menggeser setengah badan nya menghadap Ara. Namun, wanita itu semakin merasa tidak nyaman.

"Ada," mata Dito memicing. "Kamu suka sama Rohid?"

Ara membelalak kaget dan deru nafasnya menjadi tidak teratur, ia tidak menyangka seseorang akan mengungkap rahasia yang ia pendam beberapa bulan ini.

Tapi ia tidak berkutik, ia hanya ingin menjadi mendengar untuk sekarang.

"Kok diam?"

Ara mengulum bibir nya sendiri, Dito tahu itu adalah ciri seseorang saat merasa gugup dan bingung.

Arah pandang Dito berubah menghadap ke arah laut, ia mendahulukan dentuman air laut itu mengenai sang karang dan mendengar suaranya sebagai irama jeda.

"Tiap orang pasti punya keinginan, benar?"

Ara mengangguk pelan.

"Abang cuma ingin lebih akrab sama kamu, ngobrol tuh yang santai kaya sama Rohid, trus -"

"Tapi aku suka berantem loh sama Rohid." ku acungkan jari telunjuk padanya.

"Ya tapi kan keliatan nya sweet aja gitu. Abang sebenarnya gak mau ganggu, sih. Cuma, kamu bisa ga, ngasih kesempatan untuk buka hati untuk Abang?"

Kepala Ara seakan nyut-nyutan memikirkan hal ini, pertanyaan macam apa ini?

Ara membiarkan pertanyaan itu menggantung tidak mendapat jawaban untuk sekarang. Hati nya kini terlalu lemah karena perasaan nya pada Rohid sedang dalam masa pertumbuhan.

Sore berganti malam, api yang sudah berkobar disana menjadi tanda bahwa itu adalah api terakhir yang menyala.

Tidak ada terdengar dari Rohid dan Dito perihal masalah yang Ara hadapi siang tadi. Seolah menutup mulut dan tak ingin membuat kekacauan.

"Baik, semua nya silahkan istirahat. Besok kita pulang pagi." seru Dito.

Ara mencoba memejamkan mata untuk beberapa kali, namun keikut sertaan nya malah membuat hati nya tidak tenang.

Batu itu digenggam nya erat, menemani tidur nya.

***

Pritt*

Babak terakhir telah usai.

SMAN 26 VS SMAN 45
3 4

Gio berlari ke arah team dan guru nya yang ikut bangga atas prestasi mereka, "Alhamdulillah akhirnyaaa!!"

"Lexo bakal nangis melihat ini, hahaha" teriak Dery.

"Biar aja dia. Toh, yang berkualitas akan kelihatan sendiri tanpa harus memaksakan diri."

"Selamat untuk kalian. Bapak bangga, tidak sia-sia latihan yang kalian lakukan 3 hari berturut-turut." ujar pak Gun.

"Oh, iya. Kita hari ini jadi kan makan-makan??" tanya Dery yang sangat antusias padahal dia sendiri hanyalah pemain cadangan.

"Sorry ya, guys. Aku ga bisa ikutan. Mau bikin surpraise ke Mbak. Haha."

"Ahh ga asik, lu Gio!!" teriak teman-teman nya.

Namun, senyuman Gio begitu membuat mereka langsung paham dan mengerti. Itu adalah senyuman 'maklumin, dong'.

Mereka saling berpamitan dan menyudahi acara malam ini, sedang pikiran Gio masih berkecamuk bingung, harus menyiapkan apa di rumah.

tbc

Agustus 12, 2020

LensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang