Cahaya sudah bisa dipulangkan. Laska senang akan hal itu. Tapi, yang ia pikirkan kini ialah, bagaimana membayar administrasi rumah sakit? Pasti jumlahnya tidak sedikit. Untungnya, ia ada uang simpanan. Tapi, itu pun hanya setengah dari tarif seluruhnya.
Pinjam?
Entahlah. Mungkin bisa saja ia meminjam pada tetangganya, tapi mana mungkin ia meminjam dengan jumlah yang besar?
Laska bingung. Apalagi ia tidak memiliki teman dekat. Namun, meski ada juga ia tak yakin jika akan meminjam uang pada seorang teman.
"La?" tanya Raga, membuat Laska yang tengah melamun terlonjak kaget. "Ada masalah?"
Laska mengerjapkan matanya. Ia baru sadar jika masih ada Raga di sampingnya. Bagaimana kalau ia meminjam saja pada Raga? Raga anak orang kaya. Tapi, itu tidak mungkin. Ia tidak seberani itu bilang bahwa ia akan meminjam uang untuk bayar rumah sakit. Apalagi ia tidak mengenal siapa Raga yang sebenarnya. Hanya sebatas tahu nama saja. Tidak lebih.
"La ... kalo lo ada masalah, cerita sama gue. Ada apa?" tanya Raga lembut. "Atau, ini tentang administrasi?" tebak Raga hati-hati. Takut menyinggung Laska. Karena ia tahu, bahwa Laska hanya tinggal bersama adiknya saja. Entah kemana kedua orangtua Laska.
Laska menggigit bibirnya. "Bukan," dustanya.
"Terus? Masih ada masalah sama kesehatan adik lo?" desak Raga.
Laska menghembuskan nafasnya pelan. "Mendingan kamu pulang. Terima kasih sudah antar saya. Permisi."
Alis Raga mengkerut. Pasti ada yang disembunyikan Laska. Ia menatap punggung Laska yang perlahan menghilang dan masuk ke dalam kamar adiknya dirawat.
Raga sungguh penasaran dengan sikap Laska yang terlihat sangat jelas bahwa gadis itu tengah gelisah.
Tapi apa?
Raga menghembuskan nafasnya gusar. Mending, ia pulang dulu karena ibunya sudah menyuruhnya untuk segera pulang tadi.
¤¤¤
Saat Laska kembali masuk ke dalam ruangan Cahaya, ternyata semua barang-barang sudah dibereskan oleh pihak rumah sakit. Cahaya juga sekarang sudah tidak memakai selang infus lagi. Dia kini tengah berdiri menatap ke luar jendela.
"Cahaya ...," panggil Laska. Ia berjalan mendekati adiknya.
Kepala Cahaya menoleh. "Ya?"
"Kamu tunggu sebentar di sini, ya. Kakak mau pulang dulu. Mau ambil uang."
"Kakak ada uang?" tanya Cahaya. Alisnya mengerut. Meski dirinya masih kecil, tapi ia juga mengerti akan kehidupan mereka berdua yang serba pas-pasan.
"Tenang saja. Kamu tunggu di sini sebentar, ya." Laska tersenyum menenangkan. Meski jauh dalam lubuk hati, ia juga tidak tahu harus bagaimana mencari uang dalam jumlah yang besar.
Cahaya kembali mengangguk.
Laska berbalik dan berjalan keluar kamar rumah sakit.
Ingin sekali ia menangis saat itu juga. Percuma saja ia pergi ke rumah. Ia sudah tidak ada uang lagi kecuali untuk makan Cahaya beberapa hari ke depan.
Ya Allah ... harus bagaimana saya sekarang?
Laska mengacak rambut frustasi. Mending sekarang ia ke bagian administrasi dulu untuk menanyakan apa boleh ia membayar dengan cicilan.
"Permisi, Sus," panggil Laska setelah sampai di bagian administrasi rumah sakit.
"Iya, Dek? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Suster itu ramah.
Laska berdeham. "Saya mau bertanya, apa boleh saya membayar biaya rumah sakit dengan cicilan?" tanya Laska pelan.
Suster itu terdiam. "Maaf, atas nama siapa?"
"Cahaya Alinea. Ruangan Melati nomor 445," jawab Laska.
Suster itu mengangguk. Ia mengetikkan sesuatu di komputer yang ada di depannya. Namun, alis suster itu berkerut. "Tapi biaya rumah sakit atas nama Cahaya Alinea sudah terbayar lunas, Dek."
Lho? Bagaimana bisa?
"Bagaimana, Sus?" tanya Laska kaget. Pasalnya, ia tidak tahu menahu soal itu.
"Iya, Dek. Biaya rumah sakit sudah di bayar lunas oleh seseorang." Suster itu tersenyum.
Laska masih tidak mengerti. Siapa yang akan membayarkan biaya perawatan Cahaya yang begitu mahalnya?
"Siapa?"
"Dia tidak menyebutkan nama dan siapa, Dek. Tapi, ia memberikan ini untuk saudara Laska. Apa itu Adek sendiri?"
Laksa mengangguk. Ia menerima amplop yang diberikan suster tersebut. Ia berjalan dan duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Dengan rasa penasaran yang besar, ia membuka amplop tersebut.
Secarik surat?
"Laska!"
Laska terkejut oleh panggilan mbak Ratna. Dengan buru-buru, ia kembali memasukkan secarik kertas itu ke dalam amplop dan memasukannya pada tas.
¤¤¤
Bagaimana?
Siapa yang membayar biaya perawatan Cahaya?
Apa isi surat tersebut?
Raga kah?
Atau, orang lain?
Next!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Laskara Alinea
Teen Fiction"Ketika seseorang sudah mengenal sebuah pertemuan, maka suatu saat nanti pasti akan merasakan antara beratnya meninggalkan atau sakitnya ditinggalkan." *** Pergi dan ditinggalkan. Dua kata yang paling dibenci oleh gadis bernama Laskara Alinea. Trau...