Selama jam pelajaran berlangsung, otak Laska tak menangkap apapun materi yang diberikan guru. Ia sibuk melamun sambil menatap papan tulis yang penuh oleh coretan rumus Matematika dengan pandangan kosong.
Mungkin, orang-orang akan melihat jika Laska sungguh fokus pada apa yang sedang dijelaskan guru di depan, tetapi jauh dari itu, pikiran Laska jatuh pada surat yang ia terima kemarin. Surat dari mamanya. Tadinya ia berniat untuk cerita pada Dinda mengingat gadis itu selalu ada banyak ide dalam otaknya, tetapi Dinda ijin tidak masuk sebab menghadiri acara saudaranya selama dua hari, dan Dinda memberitahunya tadi pagi.
"Baik. Pertemuan kita hari ini sampai di sini, jangan lupa pahami lagi di rumah dan kerjakan tugasnya. Sebentar lagi istirahat, kalian jangan keluar sebelum bel berbunyi. Mengerti?"
"Mengerti, Bu!" jawab semua murid kompak, termasuk suara Laska yang hampir seperti sebuah bisikan.
Laska membereskan alat tulisnya. Ia berniat pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam.
"Laska!" panggil Raga. Cowok berperawakan sedang serta senyuman yang selalu menghiasi wajahnya itu berlari mendekati Laska yang sudah berdiri di ambang pintu. "Mau kemana?"
"Perpus," jawab Laska. Ia kembali melangkahkan kakinya menjauhi Raga yang sedang mengacak rambutnya.
"Ikut, La!" Raga menyusul dan berjalan beriringan dengan Laska yang memegang sebuah buku tebal yang Raga yakini jika ia sendiri yang membacanya, maka otaknya akan meledak.
Laska melirik Raga. Ia mengangguk pelan. "Gak ke kantin?" tanyanya.
Raga terkejut. Tentu saja. Apakah tadi Laska bertanya padanya? Senyumnya semakin lebar. "Nanti. Kalo abis dari perpus, sama lo," ucapnya. Jika boleh jujur, Raga sedikit malu saat mengatakannya. Apalagi kini Laska tengah menatapnya. Sungguh kemajuan yang cukup mengesankan, bukan?
Bibir Laska tertarik tipis. Ia tak menjawab dan segera masuk ke ruangan perpustakaan karena mereka sudah tiba. Ia segera mengembalikannya.
"Mau pinjam lagi, Laska?" tanya bu Tiur, penjaga perpustakaan, ramah. Ia cukup mengenal Laska karena gadis itu sering datang mengunjungi ruangan penuh buku ini.
"Nggak, Bu." Ia mengambil kartu perpustakaan dari tangan bu Tiur. "Terima kasih."
Bu Tiur tersenyum. "Sama-sama. Otak kamu juga perlu istirahat, ya," ujarnya membuat Laska tersenyum tipis.
"Mari, Bu." Laska mengangguk pamit dan keluar. Ia mendapati Raga yang berdiri menyandar pada pilar. Memang, cowok itu tidak ikut masuk ke perpustakaan. Malas katanya. "Ga?" panggilnya pelan.
"Ah, iya." Ia berdiri tegak. "Udah? Cepet banget?"
Laska mengangguk.
"Ke kantin, yuk?" ajak Raga.
Laska terdiam. Sebenarnya ia lapar, ingin pergi ke kantin. Mumpung ia juga sedang punya uang. Bukan uang yang diberikan mamanya, bahkan ia belum menyentuhnya sama sekali. Uang itu merupakan penghasilan dari kerjaan sampingannya, yaitu menjadi guru les privat anak tetangganya dua minggu sekali. Tak terlalu besar memang uangnya, tetapi itu sudah cukup untuk kebutuhannya.
"La?" panggil Raga. Ia memerhatikan Laska yang malah terdiam.
"Ya?"
"Jadi, ke kantin?"
Laska mengangguk. Ia tersenyum tipis saat melihat Raga yang bersorak riang. Lalu, tanpa aba-aba, cowok itu menggandeng tangan Laska untuk pergi ke kantin.
"Mau makan apa? Biar gue yang pesan nanti," ucap Raga setelah keduanya sampai di kantin. "Tapi, kayaknya kita gak bisa makan di sini, deh, La. Rame banget soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Laskara Alinea
Teen Fiction"Ketika seseorang sudah mengenal sebuah pertemuan, maka suatu saat nanti pasti akan merasakan antara beratnya meninggalkan atau sakitnya ditinggalkan." *** Pergi dan ditinggalkan. Dua kata yang paling dibenci oleh gadis bernama Laskara Alinea. Trau...