05 || Keceplosan

45 7 1
                                    

[Tinggalkan jejak jika ada typo, ya, guys!]

\\Happy Reading//

---

Setelah keinginan Cahaya agar mengizinkan untuk kembali bersekolah diangguki Laksa, gadis kecil berusia tujuh tahun itu segera bersiap dan sekarang ia sudah duduk di kursi ruang tamu. Menunggu Laska yang masih menyiapkan sarapan dengan wajah yang berbinar.

Sedangkan di dapur, Laska kerap menghela nafas ragu untuk mengiyakan permintaan sang adik. Tapi, jika tidak, mungkin Cahaya akan marah padanya dan tidak mau minum obat seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Laska memasukkan tempat makan lengkap dengan sendok dan sebotol minum ke dalam tas jinjing kecil. Ia mengambil dua lembar roti dan menambahkan susu kental manis di dalamnya. Ia tak memiliki cukup uang untuk membeli selai. Tak apa, yang penting Cahaya menyukainya.

"Cahaya, jangan lupa saat istirahat bekalnya dimakan," ucap Laska setiba di ruang tamu. Ia menyerahkan roti itu pada Cahaya. "Kalau sudah kenyang, uang jajannya disimpan saja. Tapi, kalau masih lapar, Cahaya bisa jajan."

Cahaya mengangguk.

"Jajannya jangan—"

"Iya, Kak Lala. Caca gak bakal jajan sembarangan, kok."

Laska terkekeh kecil. "Bagus." Ia menyerahkan tiga butir obat pada Cahaya serta segelas air putih. "Makan obatnya, biar cepat sembuh."

Meneguk habis segelas air putih diakhiri dengan hembusan nafas. Cahaya tidak suka obat pahit itu. Tapi, siapa orang yang suka obat? Tidak akan ada, kecuali orang itu sedikit agak 'waras'.

Setelah membereskan obat-obatan dan disimpan rapi di rak kecil yang ada ruang tamu, Laska mengajak Cahaya untuk segera berangkat sekolah karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh kurang sepuluh menit.

***

Hembusan nafas lega keluar dari hidung Laska. Hampir saja ia terlambat masuk karena tadi setelah mengantar Cahaya sampai gerbang sekolah ia berjalan kaki sampai di kelas, demi menghemat pengeluaran uang. Meski jaraknya tidak terlalu jauh, tapi tetap saja akan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di sekolah.

Laska mendudukkan bokongnya di bangku paling belakang, bersama Dinda, teman sebangkunya yang selalu rajin tiba di kelas. Ia menyapa Dinda yang sedang membaca novel, kemudian ia mengeluarkan buku paket dan membacanya sambil menunggu guru masuk.

"Gurunya gak masuk kali, La."

Kepala Laska menoleh. "Kenapa?"

Dinda mengangkat bahu. "Kata yang lain, sih, gitu. Untuk tiga hari ke depan katanya."

Laska mengangguk. Ia kembali menyimpan buku paket ke dalam tas. Mungkin, ia akan merehatkan sejenak otaknya dengan tidak membaca buku-buku tebal setiap harinya demi mempertahankan nilainya agar tidak menurun, dan tentu saja agar beasiswanya tidak dicabut.

"La, ke kantin, yuk? Belum sarapan, 'kan?" ajak Dinda. Ia sudah menutup novelnya dan menyimpan di kolong meja.

Laska menggeleng. Memang ia belum sarapan tadi, padahal jika mau ia memakan roti sama seperti Cahaya, tapi sepertinya ia akan puasa. Stok roti tadi tinggal sedikit, beras juga sepertinya sudah habis, jadi lebih baik ia mengalah supaya Cahaya bisa makan. "Kamu aja. Aku—"

"Ayolah, La. Gue tahu lo dari semalam belum makan, 'kan?" tanya Dinda. Ia menatap teman sebangkunya itu dengan ramah.

Laska mengerjap. Bagaimana Dinda bisa tahu?

Kisah Laskara Alinea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang