Part 9 Ia Tersenyum

952 67 2
                                    


Lois tidak masuk sekolah hari ini. Sakit katanya--padahal tidak, jadi aku harus berjalan kaki dengan langkah gontai menuju sekolah. Zie bolos untuk hari ini. Lagi-lagi malas ada pelajaran olah raga. Ckckck.... bilang saja tidak suka.

"Naiklah...." Suara sepeda berderit berhenti di depanku.

"Apa?" Aku terkejut mendengarnya.

"Aku hitung sampai tiga jika tidak naik. Kutinggal dirimu," ujarnya tanpa menoleh padaku. Pandangannya lurus ke depan.

Tumben nih anak. Kerasukan apa ia setelah pulang dari Indonesia?

"Satu ... dua ... tig---"

Aku langsung duduk di boncengannya. Anson segera melajukan sepedanya dengan pelan. Aku tersenyum geli karena ini pertama kalinya ia menawarkan tumpangan. Sepanjang perjalanan kami hanya membisu dengan menikmati pemandangan pepohonan. Sesekali ia meminta maaf jika ada tanjakan dan hampir membuat oleng sepeda. Aku tidak mengira ia berubah, tidak seperti Anson yang dulu.

"Mana adikmu?" tanyanya memecah keheningan.

"Eh? Oh, mereka sakit," jawabku gugup. Kok aku jadi seperti ini, sih?

"Nanti pulanglah bersamaku," sahutnya lagi. Aku menunduk malu mendengarnya.

"Zie memintaku untuk mengantarkanmu pulang."

Senyumku berubah masam. Kukira ia berubah. Ternyata ini atas perintah Zie. Pantas saja ia bersikap tidak biasanya. Mulutku komat kamit menahan kesal.

"Turunlah...." perintahnya, "nanti tunggu aku di sana sepulang sekolah," tunjuknya di pos satpam.

"Terima kasih," jawabku malas.

Anson menuntun sepedanya dan meninggalkanku berjalan sendiri. Memangnya aku ini apa? Disuruh menunggu di post satpam.

"Hayo ... diantar siapa?" Aile bertanya sambil menyikut lenganku.

"Tumben pemuda aneh itu mau memberimu tumpangan?"

"Ia dapat perintah dari Zie," jawabku dengan menendang kerikil.

"Zie kakakmu yang tampan itu, ya?" Saat mengatakan 'Zie' wajahnya berubah memerah.

"Heum..."

"Boleh tidak minta nomer teleponnya?" tanyanya menaikkan alis.

"Lebih baik kamu tanyakan sendiri, ya."

"Memangnya kenapa?" Ia berhenti dan memegang tanganku.

"Ia tidak suka ada orang yang menyimpan nomernya. Benci, lebih tepatnya, ujarku dalam hati.

Ada guratan kecewa di wajahnya, tetapi ia berusaha mengerti.

"Akan kuminta sendiri sama Zie,"katanya mantap. Aile segera menggandengku menuju kelas. Bunyi belnya memekikkan telinga.

Zie memang tidak pernah menyimpan nomer teman-temannya. Ia mengatakan melakukan hal itu sia-sia belaka. Di ponsel pun hanya terdapat nomer keluarga saja. Kalau aku? Ambil praktisnya saja. Jika mau berteman denganku maka nomernya tersimpan.

*****

Lima hari sudah aku tidak bertemu Coraline, ia menghilang bersamaan dengan keberangkatan Anson. Kukira hantu centil itu mengikutinya, tetapi siang ini dia tidak menampakkan wujud padaku. Biasanya dia senang menatap Anson dari samping hingga pulang sekolah. Saat kupanggil namanya, tidak sahutan apapun. Apa dia sudah pergi, ya?

"Kamu lihat apa sih? Dari tadi kuperhatikan matamu terus memandang jendela," celetuk Aile sambil melihat arah jendela.

"Hanya ingin menikmati pemandangan saja," jawabku dengan berbohong.

Keluarga Amari ( Terbit Di Dreame/Innovel Hingga Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang