"Akhirnya kita bertemu, Nona Amari."
"Bagaimana kabarmu?"
"Kurasa kita akan sering berjumpa nantinya."
Mimpi itu datang lagi. Sudah lama aku tak memimpikan hal tersebut. Apakah makhluk yang ada di rumah Anson sama dengan makhluk yang kutemui beberapa tahun lalu? Otakku tak bisa berpikir sementara.
"Sudah sadar, Nak?" tanya Ibu sambil menyodorkan segelas air padaku.
Aku meminumnya sampai tandas. Segarnya air mampu melegakan tengggorokan yang kering.
"Sudah lama kau tak seperti ini. Apa ada sesuatu di rumah tetangga sebelah?" Ayah bertanya dengan cemas.
"Di sana ada makhluk yang tak ingin aku lihat. Makhluk yang sama yang pernah kutemui dulu, Yah."
Refleks, Ibu menjatuhkan gelas dan wajahnya pias. Ibu adalah orang yang paling khawatir jika makhluk itu kembali datang. Bukan karena ada permusuhan melainkan mahluk itu pasti membawa kabar buruk atau baik.
"Apa dia mengganggumu, Dik?" Zie dengan sikap cueknya masih bisa menanyai keadaanku.
"Dia hanya mencoba berkomunikasi denganku melalui mimpi. Apa yang dia inginkan lagi dariku, Yah?"
Dari semua makhluk tak kasat mata, hanya dia yang paling kusegani. Dia makhluk yang berbeda dengan yang lainnya.
"Ayah akan mencoba menemuinya dan berbicara dengan makhluk itu," sahut Ayah tanpa ekspresi.
"Bagaimana kau bisa menemuinya, Greg? Dia tak bisa kau temui seenaknya." Ibu menentang perkataan Ayah.
"Tenanglah, Gle. Aku masih punya alat itu untuk menemuinya."
Alat yang dimaksud Ayah merupakan bola kaca biru di mana benda itu bisa mendatangkan makhluk yang ingin kau ajak bicara. Ia sudah lama memiliki benda itu dan hanya digunakan untuk hal yang mendesak.
Aku memegang tangan Ayah, "Biar aku yang menemuinya, Yah."
"Ibu tidak setuju, Nak. Biar ayah dan Henzie yang melakukannya," perintah Ibu tidak setuju.
"Kamu yakin?" celetuk Lois tak percaya.
"Bu, aku tidak bisa selamanya bersembunyi dari makhluk itu. Aku yakin dia tak menyakiti atau melukai. Percayalah kepadaku, Bu."
Aku yakin makhluk itu memiliki alasan untuk menemuiku lagi setelah pertemuan kami beberapa tahun lalu.
"Tapi----"
"Aku baik-baik saja, Bu. Percayalah padaku," potongku sembari memeluk Ibu.
Sebenarnya Ibu tak mengijinkan, tetapi Ayah menenangkannya jika semua bisa diatasi.
"Aku dan ayah akan menjagamu dari luar. Jika ada masalah, teriaklah," kata Henzie pelan.
"Terima kasih, Zie."
Henzie hanya berkedip dengan sunggingan senyumannya. Lois berlari ke kamar. Anak itu bisa pipis di celana jika bertemu dengannya.
*****
Aku berada di ruang kerja Ayah sendirian. Beberapa lilin menerangi ruangan ini. Jujur, aku takut, tetapi harus siap untuk menghadapinya. Kami sudah lama tidak bertemu, jika dia menampakkan wujudnya maka ada sesuatu yang akan terjadi lagi.
"Datanglah. Hai ... kau makhluk tak kasat mata," ucapku sambil menggelindingkan bola itu ke lantai.
Bola itu terus menggelinding tak tentu arah kemudian berhenti di bawah jendela. Bersamaan itu juga jendela terhempas dan terbuka. Angin bertiup kencang hingga membuat beberapa lilin mati. Sekujur tubuhku sudah basah karena keringat. Jelas sekali wajah ketakutan ini saat kulihat di cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Amari ( Terbit Di Dreame/Innovel Hingga Tamat)
Fantasía"Jangan mendekat atau memanggil namaku dengan bibirmu itu. Aku tidak mau berteman dengan monster seperti kalian." Bibirku terkatup rapat dan tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan seseorang yang ada di hadapanku. Ia tidak berani melihatku dan...